2-in-1: Solusi Syariah Untuk Globalisasi Pasar Modal Indonesia

-yanuar Rizky-
Republika, 17 Maret 2003: Kalau Amerika berhasil menanamkan kemasan dagang 1-for-all, atau 1 pasar yang dapat digunakan oleh semua bentuk prinsip dasar (fundamental) yang diyakini oleh kemajemukan pemodal global. Kemudian bagaimana, pasar keuangan Indonesia dapat melakukan positioning ?. Terkait dengan momentum penarikan dana investor timur tengah dari NYSE paska “ketersingungan” fund-manager kawasan tersebut yang dicurigai berlebihan sebagai tempat mobilisasi dana terorisme. Disamping alasan geo-politis tersebut, sebenarnya terdapat alasan lainnya terkait dengan tingkat kepercayaan investasi yang syar’i terhadap bursa Amerika sebagai akibat dari skandal korporasi enron-gate.

Aksi penegakan hukum otoritas pasar modal Amerika atas skandal koorporasi dan secara bertahap diikuti dengan perbaikan sistem di sana-sini (Aksani). Tentunya, jika dikaitkan bahwa larinya investor timur tengah sebagai akibat menurunnya tingkat kepercayaan atas tidak berlangsungnya gharar dan masyir setelah terkuaknya skandal koorporasi tersebut, maka dapat dipastikan sifatnya sementara saja (wait and see). Dari sudut pandang persaingan globalisasi, sudahlah sepantasnya bangsa Indonesia melakukan strategi yang akurat untuk dapat memanfaatkan sikap tersebut sesegera mungkin sebelum segala sesuatunya menjadi terlambat.

Reposisi yang pertama harus dilakukan adalah pemerintah perlu merubah mind-set untuk melakukan strategi pro-aktif. Aksi tersebut, kalau dengan melakukan “pertarungan” head-to-head dengan apa yang telah dilakukan oleh pasar modal Amerika, maka jawabannya mungkin kita akan mengalami kesulitan yang berarti. Sangatlah sulit merubah pandangan dari pemodal global tentang kondisi bursa fundamentalis. Bahkan, banyak negara gagal menerapkan sistem dealer NYSE (specialist) yang merupakan kunci sukses penerapan perdagangan yang merefleksi kondidi fundamental.

Sebagai gantinya, untuk lebih mengarahkan spekulasi masih dalam taraf wajar, banyak negara menerapkan konsep dealer yang diperkenalkan Nasdaq (Market Maker / MM). Secara filosofi, model MM lebih diarahkan kepada pasar yang ekulibrium pasarnya banayak terjadi dari tarikan dari fungsi permintaan yang besar (jumlah investor di pasar). Kesamaan tren pola perdagangan tersebut terjadi pula di bursa Indonesia, namun bedanya konsep transparansi MM tidak terjadi di bursa kita, yang ada hanyalah “bandar” yang tidak jelas identitasnya. Terhadap hal tersebut, yang paling layak untuk menggerakan pasar yang saat ini telah eksis adalah dengan menerapkan model MM yang lebih memberikan kepastian hukum bagi investor.

Masalahnya MM seperti yang dikenalkan oleh Nasdaq, yang juga telah diikuti oleh bursa negara lain, tidak terlampau diminati oleh investor syariah (fundamental). Namun, menerapkan konsep NYSE pun tidaklah mudah untuk dilakukan di bursa kita secara cepat, sementara terkait dengan pemanfaatan dana-dana investor timur tengah yang sedang cooling down di NYSE membutuhkan waktu yang cepat.

Globalisasi ATS. Aksi strategis yang perlu dilakukan, haruslah berbahasa sama dalam kemasan yang berbeda. Solusinya adalah dengan menghidupkan konsep ATS (Alternative Trading System) dalam struktur pasar modal Indonesia. ATS diperkenalkan Amerika Serikat pada tahun 1997 – 1999, sebagai akibat dari penerapan teknologi di pasar modal. Sehingga dalam struktur pasar modal Amerika, kemudian dikenal adanya Bursa Ordinasi (NYSE, Nasdaq, dll) dan juga Bursa Sub Ordinasi (ATS itu tadi, di antaranya Instinet, Global Net Trader, dll).

Secara regulasi, SEC (Bapepamnya Amerika) memperkenalkan struktur bentuk perdagangan di luar bursa (maksudnya NYSE dan Nasdaq). Perbedaan antara Bursa Ordinasi dengan Bursa Sub-Ordinasi adalah kewenangan bursa ordinasi dalam sistem pencatatan atau tempat perusahaan mencatatkan sahamnya, juga dimilikinya kewenangan untuk mengatur sistem perdagangan, sistem pengawasan dan mekanisme law enforcement (SRO / Self Regulation Organization Model), sedangkan ATS hanya memiliki kewenangan sistem perdagangan dan sistem pengawasan atas yang tercatat di bursa utama (Profit Model).

Tujuannya adalah terciptanya Arbitrase pasar, yang memungkinkan dealer mau melakukan fungsinya sebagai agen likuiditas tanpa mengaibaikan unsur keuntungan bagi dirinya yang diperoleh dari dua mekanisme perdagangan yang berbeda. Keuntungan tersebut diperoleh melalui penempatan transaksi pada dua mekanisme perdagangan yang berbeda. ATS telah membentuk struktur pasar modal yang beragam sesuai dengan kepentingan karakteristik investor, yang juga akan berakibat terjadinya likuiditas secara simultan dan terarah.

Menangkap isu globalisasi pasar modal dengan konsep ATS haruslah dengan cerdik, meneri pola negara maju hanyalah akan menjebakan bursa Indonesia akan berhadapan dengan ATS yang mungkin tumbuh di tanah air. Untuk itu, tindakan yang perlu dilakukan adalah menyerap filosofi lahirnya ATS, bukan menjiplaknya mentah-mentah. ATS yang di Amerika dibentuk oleh perusahaan sekuritas yang meningkatkan ijinnya menjadi bursa sub-ordinasi, maka kalau di Indonesia dengan pasar yang belum terlalu luas dan masih lesunya bursa utama, sudah selayaknya inisiatif pertama pendirian ATS tersebut diserahkan ke bursa utama yang telah eksis.

Re-listing. ATS tersebut, pada saat ini sebaiknya diarahkan sebagai sarana perdagangan yang dapat menjalankan syariah secara kafah. Untuk itu, perlu dilakukan penyesuaian dari konsep aslinya yang tidak memiliki kewenangan pencatatan (listing), menjadi memiliki kewenangan re-listing. Re-listing tersebut, diperlukan untuk memberi kepastian bahwa saham yang diperdagangkan secara syar’i terbebas dari unsur bisnis yang dilarang syariah.

Re-listing diarahkan sebagai proses pembersihan (cleansing) unsur-unsur non syar’i fundamental perusahaan tercatat. Caranya, bursa utama menetapkan ketentuan pengungkapan laporan keuangan yang detail, sehingga proses pemisahan unsur ribawi dapat dengan mudah dilakukan dalam proses re-listing syar’iah di ATS. Tentunya, hal ini bukan menciptakan model dual book keeping (manipulasi akuntansi). Prinsip dasar standar akuntansi yang dianut menggunakan pengungkapan yang lebih detail untuk kemudahan proses pemisahan operasi ribawi dan non ribawi.

Cleansing dengan cara re-listing tersebut, juga merupakan celah peluang baru re-financing hutang bank sektor riil yang macet dari perbankan konvensional (bunga bank = riba). Misalnya saja, Telkom menginginkan sahamnya dapat diperdagangkan secara syariah, maka dengan re-listing konsep tersebut pemisahan proporsional saham tercatat di bursa utama yang dapat diterima syariah dapat dilakukan, ataupun juga proses penerbitan saham baru. Dengan demikian, besar kemungkinan perbankan syariah dapat mengambil posisi strategis untuk mengerakan sektor riil yang macet.

Perbankan syariah dapat pula berperan aktif dalam intermediasi pemyelesaian transaksi syariah di bursa. Bahkan yang lebih jauh lagi, mungkin untuk menghindari resiko selisih kurs investor global, harga saham di ATS inipun dapat dikonversi kepada dinar, yang diyakini oleh umat muslim yang lebih terbebas dari spekulasi mata uang. Konsepnya sederhana saja, menyampaikan pesan kepada pemodal syariah global bahwa Indonesia memiliki pasar yang benar-benar menerapkan konsep syariah secara integral. Integrasi tersebut diperkuat pula oleh penerapan syariah dalam pengawasan dan penegakan hukum transaksi di ATS-syariah.

Optimasi dan Otonomi. Rasanya, solusi ini dapat pula dikawinkan dengan isu tuntutan menjalankan syariah secara kafah oleh masyarakat Aceh dalam otonomi daerah. Artinya, ATS syariah tersebut secara teknis dapat dijalankan melalui mekanisme off-shore di Aceh. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Hal tersebut penting, sejalan dengan otonomi khusus Aceh untuk menerapkan syariah dalam pranata hukumnya, perlu kunci sukses citra yang kondusif untuk tumbuh kembangnya ATS-syariah (rencana Gubernur Aceh mendirikan Mahkamah Syariah).

Sekali lagi, dengan konsep 2-in-1 ini kita mampu menarik pasar baru dan memberdayakan pasar yang lama (konvensional), tanpa ada gesekan satu dan lainnya. Atau dengan kata lain, melakukan proses re-positioning untuk 2 bentuk pasar yang berbeda secara substansi dengan memanfaatkan infrastruktur pasar yang telah ada (1 infrastruktur). Hal tersebut sangatlah penting, guna menghindarkan resiko dana investasi baru yang terlampau besar.

Bukankah kewajiban negara yang majemuk, seperti Indonesia, adalah memberikan kesempatan yang sama atas setiap keyakinan dan agama yang diyakini warganya. Dan juga, sangatlah penting membaca peluang pasar yang menganggur untuk direspon secara akurat di tengah kesempitan memperoleh ruang investasi baru di tanah air. Suksesnya Obligasi Syariah Indosat mendapatkan dana dari Timur Tengah merupakan fakta cerukan pasar syariah masih terbuka (walaupun sebenarnya lebih tepat dinamakan Efek Beragun Aset).

Kalau reposisi ini dipertanyakan oleh negara barat sebagai sebuah sarana untuk tumbuh kembangnya pengelolaan dana terorisme ?, maka sudah selayaknya pemerintah menyampaikan pesan global bahwa islam bukanlah terorisme !. Dan adalah hak umat muslim disediakan sarana untuk menjalankan syariatnya . Kalaupun ada oknum, baik bursa konvensional maupun ATS Syariah, akan memiliki resiko tersebut. Aksi perang melawan dana teroris adalah pengaturan dan penegakan regulasi (Undang-undang) Anti Money Laundring. Bukan dengan mematikan proses bisnis yang baik untuk globalisasi ekonomi Indonesia. Wallahu a’lam bishawab.

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.