‘Activity Approach’ Dalam Audit: Semangat Profesi = Rutinitas Profesi

-Yanuar Rizky-
Media Akuntansi, Edisi 21, September 1997:

Keluaran utama dari suatu proses audit adalah opini yang menggambarkan tingkat kewajaran (materialitas) dari suatu obyek audit. Kata wajar sering menjadi perisai diri bagi auditor dalam menjawab semua keterbatasan laporan keuangan, akan tetapi penggunaan materialitas sample dapat ditingkatkan kualitasnya dengan memberikan supervisi tentang pemahaman alur bisnis klien (understanding client business) kepada anggota tim audit. Tulisan ini mencoba menggagas ide ‘understanding business’ secara lebih terintegrasi dalam standar pekerjaan lapangan audit.

Industri Jasa Audit: Paradigma Rutinitas Profesi

Perkembangan pasar modal, pertumbuhan pendapatan negara dari sektor pajak, model akuisisi / merger serta peran unit usaha yang lebih strategik telah menimbulkan kebutuhan akan jasa audit semakin meningkat. Kata profesional sering menimbulkan masalah dilematis antara kualitas profesi itu sendiri serta tingkat profitabilitas sebuah kantor akuntan. Klien yang banyak serta beragamnya industri sering mengakibatkan sebuah pekerjaan audit menjadi terlampau klerikal dan cenderung mengejar target ‘deadline’, sehingga terkadang pekerjaan audit menjadi sesuatu yang rutin. Klerikal dan rutinitas dapat berakibat terhadap lemahnya supervisi. Beberapa kolega penulis (walaupun tingkatan junior / staf auditor dari berbagai kantor akuntan publik ternama) sering mengatakan bahwa sebagai ujung tombak proses audit mereka tidak dibekali oleh audit program yang cukup, sehingga berdasarkan ‘wangsit’ fungsi ‘tracing’ dan ‘vouching’ menjadi perangkat lunak sekaligus perangkat keras audit. Indikasi model staffing tersebut, apakah menunjukan tingkat supervisi audit kita lemah ? ataukah memang audit program itu penting ?, tentu kita mengetahui klien sebagai tolok ukur ‘market share’ adalah yang paling diharapkan oleh setiap kantor akuntan. Sebenarnya ada tidaknya audit program bukanlah jawaban utama untuk meningkatakan kualitas dari suatu rutinitas pekerjaan, karena terkadang audit program sekalipun tidak dapat menjadi perangkat keras dalam ‘profesional judgement’ kita, jawabanya ada di ‘understanding client business’.

Pemahaman auditor-auditor muda (baik dari segi pengalaman dan usia) yang lemah dapat diakibatkan oleh dua hal, yaitu (1) disparitas pendekatan kurikulum pendidikan, (2) tidak tercapainya transfer tehnologi. Disparitas dunia pendidikan akuntansi dapat diakibatkan oleh lemahnya pendekatan dalam memahami definisi audit menjadi sesuatu yang terlampau mengurusi bukti (evidence) sebagai keluaran utama mata kuliah auditing dengan menggunakan pendekatan kasus praktika (laboratorium audit) tanpa mengetahui pemahaman menyeluruh tentang mengapa diperlukan bukti tersebut (evidential matter). Pendekatan konseptual dalam mata kuliah auditing yang lebih menekankan kepada pemahaman bukti juga dapat berakibat timbulnya disparitas berupa kurang terlatihnya kemampuan praktik dalam penelusuran bukti itu sendiri. Dua model pendekatan ini sangat diperlukan dan yang ideal dunia pendidikan kita mampu mengintegrasikan keduanya secara simultan. Di negara maju mahasiswa banyak diarahkan kepada kemampuan diskusi dan mempertahankan pendapatnya dalam mengambil keputusan atas suatu kasus, sehingga tidak heran jika auditor mereka lebih adaptif dalam ‘understanding client business’. Kegagalan transfer tehnologi dari struktur kantor akuntan publik dari atas ke bawah (Top-Down Approach) diakibatkan oleh kebingungan akuntan muda kita, karena tidak terbiasa berpikir kritis serta terjebaknya dunia profesi kita dalam rutinitas pekerjaan.

‘Activity Approach’: Paradigma ‘Audit Inovation’

Inovasi merupakan kunci sukses kelangsungan hidup sebuah entitas dalam dekade persaingan bebas. Inovasi dalam jasa audit sangat dibutuhkan untuk mengatasi beberapa kelemahan yang dapat berakibat menurunnya kualitas serta kepercayaan terhadap profesi. Akuntansi manajemen kontemporer mencoba mendekati kebutuhan akan informasi akuntansi dengan memasukan konsep manajemen biaya strategik ke dalam perancangan sistem, sehingga akuntansi biaya berbasis aktivitas terintegrasi dengan manajemen berbasis aktivitas. Inovasi dalam dunia akuntansi manajemen kontemporer ini terkadang kurang dirasakan membumi. Peran akuntansi pada dunia usaha kita masih sebagai perangkat pelaporan keuangan (financial reporting) belum menjadi pelaporan manajemen strategik (strategic management reporting). Peran perancangan informasi pada entitas dunia usaha dengan pola manajemen kontemporer dalam beberapa kasus telah diambil oleh profesi lainnya. Tidur lelap profesi tersebut mungkin salah satu penyebabnya adalah terjebaknya kita dalam suatu rutinitas dan arti sempit akuntansi.

Idealnya pembahasan dengan pendekatan konsep kontemporer di dunia pendidikan dapat dijewantahkan secara praktis dalam mata kuliah profesi. Nada sisnis terhadap sulitnya konsep kontemporer diterapkan pada kondisi lingkungan bisnis dan lingkungan ekonomi negara sedang berkembang menyebabkan dunia profesi enggan dalam menggagas ide kontemporer untuk melakukan inovasi praktis. Inovasi praktis dapat tercapai dengan catatan profesi kita dapat mencontoh konsep kontemporer dari negara maju menjadi suatu aplikasi yang selaras dengan kondisi lingkungan, bukankah sistem merupakan perangkat pengendalian yang efektif untuk suatu perubahan ?.

Manajemen aktivitas adalah ide utama konsep kontemporer. Inovasi dari ide kontemporer dapat kita ambil sebagai pendekatan dalam metode pendidikan akuntansi maupun metode transfer tehnologi dunia profesi. Kondisi ideal perkulihaan yang kuat pada dataran konsep dengan dipertajam kemampuan analisa serta mengemukakan pendapat dalam diskusi kasus-kasus audit dapat lebih terarah seandainya saja kurikulum kita mampu memberikan ‘benang merah’ antar mata kuliah. Pendekatan aktivitas dunia usaha dapat dilakukan dalam melakukan proses pengajaran dengan memberikan gambaran umum aktivitas suatu badan usaha, sehingga secara umum gambaran pemahaman terhadap kunci sukses audit dapat lebih tergambarkan. Proses penelusuran bukti atas dasar aktivitas unit usaha akan memberikan makna lain dalam pemahaman tentang audit secara lebih baik. Kondisi ideal tidak dapat dipenuhi hanya oleh dunia pendidikan, karena keterbatasan waktu maupun infrastruktur masa perkuliahan hanya dapat memberikan gambaran umum saja, tetapi pendekatan aktivitas sejak dini dalam mata kuliah auditing akan membiasakan mahasiswa berpikir kritis terhadap konsep ‘understanding client business’. Terbiasa kritis dalam konsep audit dapat memberikan manfaat terbiasanya auditor muda kita mandiri dalam melakukan audit program, sehingga masa supervisi yang terlampau memakan waktu serta mengancam rutinitas pengejaran target suatu ‘audit report’ dapat lebih efisien dan efektif. Masalahnya adalah tinggal bagaimana transfer tehnologi dapat berlangsung dengan baik melalui prosedur audit yang tepat.

Prosedur audit dengan menggunakan pendekatan aktivitas memerlukan supervisi atas-bawah serta terinteraksi dari bawah-atas melalui metode diskusi, hanya saja bedanya dalam penyusunan audit program adalah tingkat supervisi lebih diarahkan kepada rangkaian aktivitas sesuai dengan spesifikasi industri dan lingkungannya, sehingga auditor memiliki kemampuan menarik sampel sesuai dengan tingkat resiko setiap aktivitas serta menilai kewajarannya atas dasar standar akuntansi keuangan secara lebih dini dengan efisien, efektif dan ekonomis. Dengan model supervisi atas dasar alur aktivitas diharapkan transfer tehnologi berupa metode audit dicapai dengan baik secara berkelanjutan, dimana kemampuan umum auditor muda dipacu melalui konsep pekerjaan audit yang inovatif. Masuknya unsur inovasi dalam penentuan alur aktivitas klien yang menentukan pendekatan audit yang akan dilakukan diharapkan mampu memberikan gambaran menyeluruh tentang fungsi, resiko serta tujuan audit, sehingga pekerjaan lapangan audit yang terkesan terlampau klerikal, rutin dan tidak menantang perkembangan wawasan manajemen akan terhapus. Rasanya inovasi mampu meningkatkan efektifitas motivasi auditor muda untuk melakukan pekerjaan secara efisien. Disamping itu, tujuan dari suatu pekerjaan yang diharapkan oleh klien, masyarakat dan auditor dapat lebih terjembatani secara berkelanjutan.

Komitmen: Paradigma Semangat Profesi

Kondisi ideal, hal-hal praktis sering berbenturan satu dan lainnya, sehingga terkadang terkesan sebuah kualitas tahapan audit dalam konsep teoritis terasa tidak selaras dengan pencapaian target (anggaran maupun waktu) dari sebuah obyek audit. Kita semua sadar bahwa kualitas adalah keluaran utama sebuah profesionalisme. Keahlian auditor muda cenderung didorong untuk memiliki kecakapan profersional karena terbiasa melakukan pekerjaan (rutinas) bukan secara konseptual, indikasi hal tersebut dapat dilihat dari tingginya ‘turn-over’ di kantor akuntan, kepercayaan unit usaha dan masyarakat pada kantor akuntan asing (atau paling tidak, ada atribut yang menunjukan hubungan kantor akuntan lokal dengan kantor akuntan yang mendunia) serta rendahnya apresiasi masyarakat (baik publik maupun manajemen) terhadap laporan auditor.

Ketimpangan maupun besarnya pertumbuhan kebutuhan akan jasa audit sebenarnya tidak perlu kita pertentangkan, karena pada dasarnya keduanya berbarengan sepanjang pendekatan yang dilakukan mampu mempengaruhi perilaku-perilaku unsur yang ada di dalamnya termotivasi dengan baik. Ancaman haruslah kita buat menjadi peluang untuk perkembangan profesi kita, karena profesi kita lambat laun mulai mendapat ancaman bukan saja dari auditor manca negara pada era pasar bebas akan tetapi dari profesi lainnya yang lebih peduli kepada alur data dan informasi. Untuk mengatasi hal tersebut rasanya diperlukan komitmen dari profesi kita, baik itu akademisi, praktisi maupun lembaga untuk lebih mengembangkan pendekatan-pendekatan audit menjadi lebih inovatif, sehingga setiap unsur di dalamnya dapat dipengaruhi (motivasi) menjadi perilaku yang selaras (goal congruance). Komitmen yang luar biasa sekalipun tidak akan berhasil jika tidak memilki jembatan struktural (pendekatan strukturalis). Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) rasanya perlu lebih mengoptimalkan fungsi lembaga sebagai jembatan komunikasi antar unsur dalam dunia profesi kita. Komunikasi diharapkan menghasilkan keselarasan kualitas, kuantitas maupun target rutinitas jasa audit sebagai suatu Industri. Ujian setifikasi akuntan publik (USAP) dan pendidikan berkelanjutan adalah salah satu perangkat komunikasi yang dapat dijadikan media profesionalitas, hanya saja perlu kita ingat bersama alat saja tidak cukup untuk mencapai satu tujuan, artinya jauh di atas USAP masih banyak pekerjaan rumah untuk menggagas ide dalam profesi kita. Quo vadis dunia akuntansi tercinta ?.

-yanuar Rizky, Akuntan Register Negara D-17788

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.