Bandarnomics

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 20 December 2013:
Aliran ekonomi pasar meyakini bahwa harga adalah titik keseimbangan yang merepresentasikan kondisi ekonomi, sebagai titik temu penawaran (suply) produsen dengan permintaan (demand) konsumen.

Kondisi persaingan sempurna diyakini akan melahirkan pasar yang simetrik, produsen tidak bisa mengatur harga seenaknya karena akan ada produsen lain yang menyainginya. Sehingga, aliran pasar meyakini bahwa konsumen akan diuntungkan oleh iklim persaingan itu.

Tapi, apakah dunia sesempurna itu? Terlebih, manusia itu sifat manusiawinya serakah dan ingin berkuasa. Banyak literatur teori dan penelitian strategic management yang menerangkan bahwa pada dasarnya sebuah organisasi akan mengambil inisiatif (strategi) untuk menjadi organisasi yang dominan di pasar.

Dominasi itu diyakini sebagai jalan untuk mempertahankan keberlanjutan motif ekonominya, cari untung sebesar-besarnya dari keterbatasan sumber daya. Ada dua aliran yang saling mencari legacy di dunia strategic management sebagai sebuah teori persaingan, yaitu aliran Porterian (yang mendukung pemikiran Porter) serta aliran Resources Based (RBV(T) dari pemikiran Barney).

Porter meyakini bahwa kondisi eksternal (makro) dari organisasi adalah dinamis, sehingga suasana kompetisi menjadi dinamis (Competitive Dynamics), sehingga untuk jadi organisasi dominan haruslah menjadi episentrum dari perubahan itu sendiri. Dengan kata lain, menjadi inisiator di pasar (market maker, bandar) yang menjadi trend setter perubahan lingkungan ke arah yang dituju organisasi tersebut untuk menjaga dominasinya. Bahasa gampangnya, ini yang disebut soal teknikal dalam perekonomian.

Anti Porterian, penganut RBV(T) menganggap model porter lebih ke ‘perception building’ jika tidak menguasai sumber daya nya. Jadi, aliran RBV(T) meyakini strategi adalah soal ‘internal’, kemampuannya menguasai sumberdaya. Jadi, kalau bahasa gampangnya, ini yang disebut soal Fundamental ekonomi.

Jika sebuah harga yang dibentuk elastis (berubah) atau bergerak-gerak mengikuti isunya, maka itu artinya teknikal melebihi fundamentalnya. Tapi, itulah pada dasarnya pasar di abad modern ini, yang didominasi oleh pasar keuangan. Kenapa itu terjadi, karena pada akhirnya isu teknikal akan membentuk persepsi masa depan atas kondisi fundamental saat ini.

Nah, kalau anda menguasai isu, tapi fundamental (sumber daya) nya tidak anda kuasai, maka itu keropos. Dengan mudahnya akan dikalahkan pihak lain yang menguasai sumber dayanya. Di sisi lain, jika anda menguasai sumber dayanya tapi tak memiliki akses dan kemampuan dalam menggiring persepsinya, maka anda akan diganggu oleh aspek-aspek volatilitas yang dibentuk para pemain teknikal.

Artinya, teori persaingan sempurna hanya akan berhasil jika antara pihak yang mengusasi ‘produksi isu’ dan ‘produksi sumber daya’ adalah pihak yang berbeda. Sehingga, bagi konsumen di sisi lain akan dapat perimbangan informasi dari sisi persepsi dan fundamentalnya (symetric information).

Nah, jadi kalau ingin efektif, efisien dan ekonomi untuk menjadi organisasi yang dominan dalam perekonomian (bandarnomics), maka harus menguasai dua hal sekaligus: (1) Pengendali isu di pasar; dan (2) Menguasai sumber daya di pasar.

Intro di atas, semoga dapat menjadi ruang bagi kita memahami kondisi kekinian terkait harga (kurs) rupiah atas US Dolar.

Ada dua hal yang dikuasai sekaligus oleh The Fed sebagai bandar (bahasa kerennya Market Maker), yaitu (1) Isu persepsi dikendalikan dengan manjemen Isu yang mrk produksi secara langsung (rapat-rapat kebijakannya, FOMC Meeting) maupun tak langsung melalui beragam seting opini; dan (2) Sumberdaya di negara-negara lain, khususnya emerging market spt Indonesia mereka kuasai juga, dengan kata lain uang beredar dikendalikan karena portpolio (barang) beredarnya pun mereka kuasai.

Kalau dilihat ke belakang, saat mereka membeli portpolio secara masif dari uang QE, itu jelas sekarang kita baca bahwa bukan Rupiah yang perkasa tapi US Dolar melemahkan dirinya sendiri. Saat itu, saya mengingatkan hal ini di banyak kesempatan, tapi Kubu mainstream di Indonesia meyakini bahwa itu baik bagi fundamental ekonomi Indonesia karena terjadi capital inflow.

Tapi, apa yang terjadi hari ini, jika itu settingannya bandar, maka akan terjadi pengaturan harga untuk kepentingan si bandar itu sendiri. Saat ini, akumulasi sumberdaya mereka kuasai dan isu juga mereka yang kendalikan. Inilah era dimana, otoritas moneter menjadi pelaku utama ‘penggorengan moneter’ itu sendiri, dengan tujuan mencetak uang di kuali negara lain.

Sehingga, coba dilihat dari isu fiscal cliff, tapering off, shutdown terus dimainkan. Di sisi lain, seperti memberi ruang untuk baik dengan bertanya berubah ke persepsi positif, lalu berubah negatif… silih berganti, karena fluktuasi (volatilitas) harga hanya bisa dijalankan dengan permainan isu dan penguasaan sumberdayanya… dan volatilitas itulah sarana untuk USD printing money.

Jadi, coba dilihat, kehebohan tapering off mereka tidak lakukan langsung jadi “NOL” tapi dikurangi dari sebelumnya USD85Billion jadi USD75Billion, jadi isu ini masih dipelihara oleh sang bandar. Kalau saja, kita punya keberanian, maka kita harus potong isunya dan rebut kembali sumberdayanya.

Kata Teori klasik orang Cina dalam peperangan ‘Kalahkanlah musuhmu dari energi terbesarnya’. Itu kenapa meski Cina juga tergolong emerging countries tapi bisa dianggap merepotkan juga oleh lawannya, karena mereka melakukan pengendalian sumberdaya (capital control) agar ruang persepsi menjadi terbatas. Itulah kekurangan kita, terlau polos mempercayai bahwa di pasar isinya orang baik semua :)

-yanuar Rizky

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.