Bauran Kebijakan Moneter-Fiskal Alternatif Untuk Melepaskan Jebakan Betmen Inflasi

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 29 Maret 2015:
Satu yang harus dipahami pemerintahan tentang ‘sinyal kenaikan Fed rate’ .. pertama harus paham dulu Fed rate adalah policy rate, atau bunga acuan yang akan mengarahkan ekspektasi inflasi di masa depan. Kalau di Indonesia, namanya BI rate.

Jadi, kalau Fed rate akan naik itu artinya ada ekpektasi dari Bank Sentral Amerika Serikat bahwa inflasi di negeri mamang Sam akan naik. Makanya, seperti telah lama saya tulis di blog ini The Fed akan melakukan normalisasi kebijakan moneter The Fed, yaitu (1) memberhentikan stimulus moneter (tapering off Quantitative Easing Fed) dan (2) menaikan kembali Fed rate.

Untuk mencapai kedua hal langkah normalisasi itu, ada 3 kriteria yang ditetapkan The Fed sebagai acuan, yaitu (1) turunnya angka pengangguran; (2) sinyal pertumbuhan ekonomi AS dan (3) long run ekspektasi inflasi.

Gini ceritanya, defisit fiskal (apbn) pemerintahan Amerika Serikat itu terkait dana pengangguran. Jadi, tekanan krisis dan PHK membawa konsukuensi fiskal. Ada 2 dimensi, jangka pendek mitigasi resiko pasar yang diserap anggaran pemerintah AS serta stimulus fiskal jangka menengah panjang untuk mendorong daya kerja sehingga penganggurannya berkurang.

Jadi, sumber defisit itu resiko sosial, yang berkurangnya kalau penganggurannya berkurang. Untuk mengurangi harus ada investasi yang mendorong pertumbuhan ekonomi berkualitas yang menyerap kembali daya kerja penganggur. Itu artinya ada duit jangka pendek untum mitigasi resiko pasar jangka pendek dan disaat bersamaan investasi belanja pemerintah untuk membuka lapangan kerja.

Ada yang menarik apakah lalu di negara mamang Sam muncul untuk melepaskan beban dari tekanan dana pengangguran? Seperti juga, tekanan politik ekonomi Indonesia agar melepaskan resiko pasar dalam bentuk subsidi BBM? Faktanya sih tidak terjadi, beda dengan Indonesia justru fiskal melepaskan diri dari soal resiko pasar bagi masyrakatnya.

Surat utang pemerintah AS muncul untuk biayai defisit, baik itu mitigasi resiko dana pengangguran maupun pembiayaa stimulus fiskal untuk mengurangi penganggurannya. MAKA, surat utang banyak dikeluarkan pemerintah AS yg pembiayaannya dileveraging dengan bauran kebijakan Moneter yang disebut Quantitative Easing. YAITU, operasi cash flow monetary baseline yang memutar surat utang dengan dana yang dimiliki otoritas moneter. Pusaran gorengan dana inilah yang kualinya dilakukan di pasar keuangan negara berkemgang seperti Indonesia.

Jadi, untuk tau soal kurs Rupiah dan US Dolar, tak bisa ditawar pemerintahan Indonesia harus punya peta teknikal atas arus uang beredar di masa lalu yang berdampak ke hari ini. Dan lalu, dari sana putuskan kebijakan hari ini untuk melindungi masa depan, bukan hanya soal ‘safety player’ yang penting APBN pemerintah aman, tapi melupakan tujuan negara melindungi rakyatnya dari gejolak resiko pasar terhadap harga pangan dan energinya.

Nah, balik dulu ke kriteria normalisasi kebijakan The Fed. KALAU pengangguran turun dan sinyal pertumbuhan ekonomi AS ada, maka uang beredar global mereka perlukan tarik balik ke perbankan AS, karena pertumbuhan akan butuh konsolidasi dana. TAPI, anda akan diketawain kalau jadi central bankers naikin bunga tapi tidak diikuti inflasi, karena policy rate itu untuk targeted inflasi yang ingin dicapai.

Makanya, ada kriteria ke 3 dari Fed, long run inflation. Ini, kuncinya akan ada kenaikan inflasi global kan? Artinya, harga komoditas yang sekarang turun itu, nantinya secara forecast akan kembali naik lagi dikarenakan Fed rate naik mentarget inflasi ikut naik. JADI, harga yg harus dibayar panggil US dolar balik ke mamang Sam itu bayar bunga lebih tinggi karena adanya konsukuensi inflasi untuk proses konsolidasi uang beredar di perbankan.

Menjadi menarik melihat langkah respon pemerintah dan otoritas moneter di Indonesia, jika tidak melihat sinyal jebakan betmen inflasi yang tampak dari policy rate global, maupun racun-racunnya dalam darah likuiditas perekonomian kita, yaitu yang sudah terasa adalah pelemahan Rupiah atas US Dolar.

Kalau pemerintah mengatakan deflasi, itu jelas bicara kurva yang telah terjadi.. sementara tekanan trennya global inflation.. kalau pemerintah bilang Rupiah tenang-tenang saja alias aman, maka adalah fakta hari ini pelemahan Rupiah membuat harga bensin naik kan?

Benarkah steril dari resiko pasar, lepas dari fragile country karena APBN melepaskan diri dari subsidi untuk melindungi resiko pasarbke masyarakatnya? Terlalu cepat menyimpulkan, karena apa masyarakatnya juga dapat menyerap racun pasar dalam kenaikan harga dengan menikmati madunya naiknya pendapatan ikut pasar? Tanpa keseimbangan madu dan racun, itulah kesenjangan sosial dan apa artinya pemerintah jika tak menjamin stabilitas?

Sebelum menjawabnya, saya kasih gambaran harga minyak dan komoditas akan naik nanti mengikuti tren inflasi yang akan dikerek oleh Fed rate.. apa sudah dikalkulasi jika besok ini rupiahnya melemah dan harga minyaknya juga naik.. sekarang baru sisi rupiahnya aja, besok bisa keduanya kan? Apa manajemen resiko pemerintahan ini untuk ekonomi rakyat yang jadi amanat konstitusi?

Kemarin saya diundang oleh teman-teman redaksi TV CNN Indonesia yang masih dalam persiapan mengudara. Di ujung diskusi peta perekonomian (dari kacamata analisa dan data saya tentunya), Pak Ishadi yang sudah jadi Dirut TVRI sejak saya masih SMA bilang kita juga harus mendorong suasana positive thinking agar suasana negara bergerak ke arah Optimis. Beliau mencontohkan soal paket krisis di Amerika Serikat partai demokrat dan republik bisa bersatu di isu negara.

Saya menjawab stimulasi ide dari Pak Ishadi dengan menjawab, waktu krisis Demokrat dan Obama dalam kampanye menyerang cara The Fed memberi stimulus, tapi yang menarik Obama mencalonkan kembali Bernanke ke Kongres dengan pidato pengantar untuk moneter tidal ada demorat atau republik, tapi pertahanan negara adalah kepentingan bersama.

Itulah lahir keputusan politik antara pemerintah AS, The Fed dan Kongres + Senat soal Quantitative Easing Fed sekaligus penyelamatan fiskal untuk mitigasi resiko rakyatnya.

DI DPR dalam workshop anggota DPR di hari Rabu sebelumnya, saya mengatakan jika mitigasi resiko bukan subsidi, maka manajemen inflasi, uang beredar dan logistik (barangnya) adalah arah strategi bauran fiskal – moneter yang harus dalam kerangka konsensus politik, seperti model Quantitave Easing The Fed.

FB_IMG_1427609495742

Apa ide saya
, menurut saya target inflasi saat ini adanya di Undang Undang Bank Indonesia, dimana BI menurut UU mengatur inflasi dari suku bunga terhadap uang beredar dengan satu tujuan menjaga stabilitas kurs Rupiah. JUJUR aja secara UU, inflasi kita saat ini dari sisi monetaris itupun desainnya importir, karena di UU BI dilekatkan dalam hal menjaga inflasi dengan kurs, apa artinya?

Inflasi dari sisi barangnya, mana ada UU yang ngatur? Kita pun sudah mengalami masa delegitimasi Bulog dari lembaga dibawah Presiden menjadi Perusahaan berbentuk perum dibawah kementerian BUMN. Soal swasembada dan atau kedaulatan pangan dan energi kita masih pendekatannya ‘pasar spot’ hari ini untuk hari ini, lalu sepenuhnya diserap rakyat resiko pasar net importir ini.. apa benar begini amanat konstitusi?

Bagi saya, kalau tidak mau subsidi, maka kerja keras pemerintah dalam menjaga pemicu inflasi jangka pendek (mitigasi resiko net importir harus diatasi). Kenapa kita tidak merubah cara pandang BI menjaga kurs untuk menjaga inflasi. FOKUS ke inflasinya, maka kalau saya tidak usah BI operasi pasar terbuka dengan menyiram valas ke pasar uang yang dominan ‘disetir bank sentral dominan’, artinya melepas cadangan valas ke pasar uang ‘ibarat nabur garam di laut’.. tidak efektif!

Saya sih usul USD yg dibeli otoritas moneter dijual dengan kurs tetap (targeted) di pasar uang tertutup BI. JADI, untuk USD beli order minyak ke BI bukan cari ke pasar. Ini jelas butuh putusan politik, karena menggeser konsep manajemen laba moneter dalam anggaran negara di BI.

Secara hukum, pemerintah harus memastikan tidak ada rente pasar uang yang ‘berbaju pertamina’ tapi terus main valas juga, termasuk hedging kobtrak harga minyak yang sekarang masih rendah untuk stabilisasi dibmasa depan yang trennya akan terketek inflatoir oleh bunga global.

JADI, pengawasan logistik harus dilakukan pemerintah melekat dengan penegakan hukumnya. IDE ini juga akan bagus untuk menjaga manajemen logistik pangan dengan meningkatkan peran bulog. JADI, inflasi tanpa subsidi adalah manajemen uang betedar dan barangnya. Itu kerja keras, bukan dengan tanpa subsidi pemerintahan lupa tugas konstitusinya melindungi masyarakat dari pasar.

Itu dulu deh beresin… untuk jangka menengah pemulihan dari mitigasi resiko, fundamental normalisasi swassembada pangan dan energi harus dibangun dari stimulus fiskal menengah dan ketahanannya itu dengan fiskal jangka panjang. UNTUK kedua ini saya menulis sebelumnya di blog ini ide Q2EM (Quantitative & Qualitative Easing Money.

Sejarah akan mencatat pekerja yang bukan sekedar tetlihat berkeringat, tapi hasilnya tak dirasakan tertanam dalam akar ekonomi. Jadi, mitigasi resiko jangka pendek, normalisasi swasembada jangka menengah dan kedaulatan ekonomi jangka panjang. INDIKATOR jangka pendek stabilisasi harga, jangka menengah penyerapan lapangan kerja dan produksi dan jangka panjang negara kesejahteraan.

Ayo dong Pak Jokowi, sejarah memberi anda kesempatan untuk jadi Presiden yang berada dalam tata dunia tidak stabil, kalau anda bisa menciptakan stabilitas harga, daya kerja dan kedaulatan ekonomi baru itu namanya ‘Indonesia Hebat’. #enjoyAja

-yanuar Rizky, WNI biasa aja
credit foto pas di layar metro TV: thanks to Mas Teddy Lesmana untuk jepretannya :)

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.