Bendungan Jokowi, Sawah Prabowo

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 22 Juni 2014:
Di acara pemaparan dan dialog Capres di KADIN 21 Juni 2014, Capres Prabowo Subianto (PS) dan Cawapres Hatta Rajasa (HR) tampil pertama yang kemudian dilanjutkan penampilan Capres Joko Widodo (JKW) dan Cawapres Jusuf Kala (JK).

JKW yang tampil kedua memberikan penekan pembeda dengan PS, dengan menyatakan untuk apa ada Sawah kalau tak ada bendungan (irigasi) yang menjadi ‘darah’ yang mengalir sawah-sawah itu. Ini karena, pada kesempatan pertama PS dengan gayanya yang berapi-api selalu menekankan ke penciptaan lahan, yaitu menjanjikan pertumbuhan Sawah baru.

Kalau kita tarik benang merahnya, saya menduga JKW (dan mungkin) timnya menerapkan model ‘new deal’ yang pernah dilakukan Presiden Franklin D. Roselvelt (FDR) paska memenangkan Pilpres di Amerika Serikat tahun 1932. Dimana, saat itu FDR memenangi Pilpres disaat AS dilanda krisis akibat crash di bursa New York pada tahun 1929.

FDR saat itu juga melahirkan era dalam ‘school of thougt’ ekonomi yang disebut Keynesian. Istilah yang diambil dari nama seorang ekonom, Keynes. Intinya, adalah stimulus fiskal, peran Belanja pemerintah berperan besar untuk menyerap lapangan kerja (daya kerja), ketahanan pangan, sekaligus daya beli dari rakyatnya agar perekonomian kembali berputar.

Nah, di era New Deal program yang masif dilakukan dalam Belanja infrastruktur adalah membangun bendungan-bendungan. Penyerapan tenaga kerja di daerah rural bekerja di proyek membuat bendungan pemerintah, yang kemudian setelah selesai menjadi irigasi lahan-lahan masyrakat itu sendiri.

Jadi, sepanjang pemahaman saya, model ‘New Deal FDR’ serap dulu kerja di Bendungan, lalu kemudian setelah selesai karena mereka juga masyarakat Agraris, maka dialihkerjakan dari temporer (tukang bangun bendungan) menjadi jangka panjang, yaitu menjadi petani yang memanfaatkan bendungan itu sendiri.

Nah, kalau PS saya lihat tidak terlepas dari ‘story telling’ atau cerita sukses di masa lalu (dimana dia juga bagian di dalamnya) saat Indonesia berhasil melakukan swasembada pangan.

Kalau kita ikuti pemikiran PS, maka cara berpikirnya adalah ‘land reform’. Dimana, penekanannya adalah ingin menghidupkan kembali model transmigrasi yang dulu pernah ditempuh pemerintahan Indonesia di masa lalu. Ciri dari pemikiran PS, terdengar beberapa kali dia mengatakan lahan-lahan rusak tak produktif dibuka kembali dijadikan Sawah (lahan pertanian) untuk masyarakat itu kerja.

Sekedar pengingat,di era orde baru memang ada insentif lahan di daerah tertinggal diserahkan pemerintah kepada masyrakat untuk digarap jadi lahan pertanian melalui program transmigrasi.

Kalau saya menilai, yang paling benar, siapapun yang nanti menang, persoalannya bukan hanya bendungan dulu atau lahan Sawah dulu. Tapi, bagaimana politik anggaran dalam APBN bisa menyerap program yang diinginkan keduanya.

Soal pembiayaan APBN di tulisan sebelumnya, saya menulis siapapun pemenang akan menerima APBN-P 2014 dan APBN 2015 dari pemerintahan saat ini, peluang di APBN-P 2015 pun terbatas.

Pembiayaan dengan membuat Bank terfokus pun, di tulisan terdahulu telah saya kemukakan kendala bauran kebijakan Fiskal – Moneter – BUMN akan ada ‘intervening variable’, yaitu proses konsolidasi parlemen terpilih dengan Presiden terpilih, yang membutuhkan waktu.

Yang semoga saja, bukan seperti cerita lama transaksional ‘mesin parta politik’ tapi masuk ke era baru kesepakatan kerjasama ‘mesin Perekonomian rakyat sesuai janji konstitusi, melindungi seluruh tumpah darahnya dan mensejahterakan rakyatnya’

Jadi, kalau saya berpendapat, siapapun pemenangnya kalau saja berhasil melakukan bauran kebijakan alokasi lahan antara kebijakan strategis (pemerintah pusat) dan operasional peruntukan lahan (pemerintah daerah), maka itu adalah keberhasilan janjinya terlihat sinyal cepatnya saat pertama kali memerintah (2015).

Jadi, sambil meminta kabinetnya mulai menyusul postur APBN dan pembiayaan di Perbankan (dan pasar keuangan) melalui ‘insentif dan disinsentif’ dan atau kebijakan BUMN untuk merealisasikan program mulai 2016 – 2019, sinyal yang perlu ditunjukan Presiden terpilih di tahun pertama (2015) adalah keberhasilannya melakukan bauran kebijakan pusat dan daerah.

Karena sama dengan moneter, era Otonomi juga menyebabkan fungsi pemerintahan pusat ke daerah adalah Koordinasi dengan keterbatasan komando. Jalur birokrasi komando jugaa mengalami faktor ‘intervening politik’ karena tiap Kepala Daerah dihasilkan proses politik sendiri-sendiri melalui ‘Pilkada’

Soal ini, PS di debat pertama menyiratkan ingin kembali ke sistem lama, dengan idenya mensimplifikasi Pilkada model saat ini. Sedangkan JKW model terusin saja model saat ini, tapi menggunakan instrumen ‘hadiah dan hukuman’ melalui dana alokasi APBN ke APBD bagi daerah untuk bekerjasama dengan pusat.

Keduanya pun sama, jika PS butuh parlemen untuk merevisi UU Pilkada, maka JKW dukuh dukungan respek politik dan partai-partai serta kepala daerahnya. Sama-sama punya tingkat kesulitan, saya rasa dalam pelaksanaannya.

Jadi, secara rasional, kedua Capres akan menghadapi ‘daya dukung politik’ untuk programnya. Sebelum berdebat mana duluan bendungan atau Sawah, mereka punya kebutuhan yang sama, yaitu setelah Pilpres yang menang butuh dukungan respek dari yang kalah berkompetisi, yaitu konsolidasi demokrasi paska pemilu!

Kalau konsolidasi positif demokrasi paska pilpres memberi daya dukung politik kepada perekonomian, maka mana duluan bendungan atau sawah? Bisa dijawab keduanya sama-sama dikerjakan pun bisa-bisa saja :) #enjoyAja

-yanuar Rizky, WNI biasa saja

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.