Bursa Efek Indonesia Membutuhkan Segmentasi Pasar Terintegrasi

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 11 Februari 2002:
Secara rerangka konseptual terdapat 2 (dua) sumbu koordinat yang dianut dalam platform kebijakan bursa efek, yaitu (1) Ordinat Sistem dan Mekanisme Pencatatan dan (2) Ordinat Sistem dan Mekanisme Perdagangan. Selama ini wacana tentang kebursaan lebih diwarnai oleh kecondongan titik koordinat kebijakan penciptaan emiten yang kuat, misalnya banyak pihak menyatakan bahwa panduan good corporate governance (GCG) adalah suatu praktek yang patut dianut oleh emiten untuk menciptakan bursa yang sehat.

Prinsip dasar pasar sekunder (bursa), mau tidak mau, telah mengarah kepada motif para pelaku pasar yang berinteraksi dalam perdagangan bursa dari waktu ke waktu. Secara teoritis, motif tersebut dibedakan kepada 2 (dua) sumbu koordinat di dimensi pelaku pasar, yaitu (1) Ordinat Investor Fundamental dan (2) Ordinat Investor Teknikal. Kebijakan GCG, pada dasarnya mengarah kepada keseimbangan ekuilibrium pasar lebih ke arah sumbu koordinat Investor Fundamental, dengan harapan semakin besar pemain fundamental di pasar, maka akan dapat menarik Investor Teknikal untuk berinteraksi di pasar sesuai dengan kekuatan pasar yang fundamentalis.

Kaum idealis pasar modal tentu akan beragumentasi bahwa bursa yang ideal adalah bursa yang memiliki tingkat efisiensi sempurna (limitatif=1). Namun demikian, bursa manapun di dunia pasti akan dihadapkan kepada masalah bisnis korporasi bursa dan anggotanya yang membutuhkan likuiditas pasar yang dinamis. Atas dasar likuiditas tersebutlah muncul berbagai varian motif perilaku pelaku pasar, yang pada dasarnya lebih diwarnai oleh kekuatan tarik-menarik antara kaum teknikal dan fundamental. Distorsi tarik-menarik tersebut, tidak jarang akan melahirkan kecurangan (fraud), baik itu manipulasi pasar ataupun insider trading. Untuk mengendalikan ordinat ekuilibrium pasar tetap pada kondisi ideal, bursa efek maupun otoritas pasar modal akan memainkan instrumen pengawasan dan penegakan hukum.

Banyak pihak mengatakan bahwa perdagangan saham di BEJ banyak diwarnai oleh aksi goreng-mengoreng dari para bandar, pertanyaanya apakah itikad manipulasi pasar tersebut hanya dimiliki oleh pemodal di BEJ ?. Untuk menjawab hal tersebut, ada baiknya publik mengetahui kebijakan tentang sistem dan mekanisme perdagangan yang dianut oleh bursa efek di dunia. Sistem yang termaksud adalah irisan antara ordinat mekanisme pasar dengan sistem perdagangan bursa. Koordinat mekanisme pasar terdiri dari (1) Continous Auction Market dan (2) Call Market, sedangkan koordinat sistem perdagangan bursa terdiri dari (1) Broker System, dan (2) Dealer System.

Pada saat ini koordinat sistem dan mekanisme perdagangan yang dianut di BEJ adalah Continous Auction Market dengan Broker System. Menurut Research Papper yang dikeluarkan oleh IOSCO (Organisasi Otoritas Pasar Modal Dunia) model tersebut adalah bentuk ideal dari pasar modal sepanjang terpenuhinya 4 (empat) pilar bursa efek, yaitu (1) Emiten dan broker yang memiliki manajemen yang kuat dan transparan (2) Pelaku pasar (investor) yang telah dewasa dan telah teredukasi dengan baik tentang resiko dan manfaat transaksi di pasar modal (3) Infrastruktur informasi bursa efek yang telah transparan dan tepat waktu yang merata di publik (4) Pengawasan dan penegakan hukum oleh otoritas pasar modal dapat diselenggarakan secara efisien, efektif dan ekonomis.

Pada prakteknya (tampaknya) tidak ada satupun bursa di dunia yang dapat mencapai pasar yang efisien dengan hanya semata-mata mengandalkan model Continous Auction Market dengan Broker System. Argumentasinya adalah sebuah bursa yang menarik adalah bursa yang memiliki kondisi fundamental yang mendukung momentum pasar bagi para pelaku secara simultan. Momentum pasar biasanya tercermin dari pergerakan perpindahan efek dengan frekuensi yang signifikan (likuid stock) yang dikuti pergerakan harga yang dinamis yang didukung oleh informasi material yang memadai (blue chip stock). Oleh karena itu, pemodal retail yang biasanya lebih mengutamakan faktor teknikal, hanya berpatokan kepada informasi ada tidaknya momentum pasar atas keputusan beli dan jual efek tertentu yang menjamin terciptanya motif ambil untung dalam waktu singkat.

Pola pemodal retail yang banyak didorong oleh “serum” informasi real-time (yang dikenal dengan screen based transaction) telah mendorong terciptanya bandar-bandar di pasar yang memiliki teknik perdagangan tertentu untuk memancing pihak lain untuk ikut bertransaksi. Hasrat bertransaksi dengan pola tersebut akan berpatokan kepada riset non fundamental yang bersifat kepada riset teknikal transaksi, yang akan diikuti oleh keputusan transaksi yang bersifat sebagai market follower. Patokan dari kaum market follower adalah melihat informasi real-time yang memuat informasi tentang (1) Aliran Jumlah Order di Pasar (2) Jarak Waktu Order dan (3) Volume Order. Sebagai ilustrasi, tidaklah mengherankan kasus pasar segera saham HMSP dapat terjadi di BEJ adalah sebagai akibat kue terbesar dari investor adalah investor teknikal, dimana aliran jumlah order yang cukup deras di bursa yang diikuti oleh jarak waktu satu dan lainnya sangat cepat untuk volume order yang signifikan, telah memenuhi kriteria momentum pasar yang baik, sehingga kebenaran informasi dan kondisi fundamental telah sangat terabaikan.

Mau tidak mau, ilustrasi singkat di atas, telah menggambarkan bahwa terkadang pola teknikal adalah warna tersendiri bagi peningkatan likuiditas transaksi efek tertentu di bursa. Oleh karena itu, terkadang kita dibingungkan, dengan mana yang disebut sebagai teknik perdagangan mendapatkan efek atau keuntungan tertentu sesuai dengan kondisi momentum pasar yang ideal, dengan mana yang disebut dengan manipulasi pasar, terlebih lagi yang diakibatkan oleh kecerdasan pelaku pasar dalam memanfaatkan grey-area aturan hukum di pasar modal Indonesia. Persoalan mendasar dalam model Continous Auction Market dengan Broker System yang sekarang dianut oleh pasar modal Indonesia adalah tidak terpenuhinya 4 pilar sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Continous Auction Market dengan Broker System, pada dasarnya tidak mengenal proses pembandaran oleh broker tertentu dengan jalan mengatur penempatan order di bursa. Sebagai ilustrasi, order dari nasabah terhadap efek tertentu haruslah jelas untuk harga dan volume tertentu, dan tugas dari broker hanyalah memastikan order tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk dimasukan ke bursa sesuai dengan prioritas waktu penerimaan order tersebut (Peraturan Bapepam No. V.E.1 butir 1). Kalau mau konsisten dengan Broker System, maka order dengan rentang harga atau volume tertentu yang disesuaikan oleh momentum pasar yang tepat yang dinilai oleh broker tidak dapat dibenarkan (discreationary order). Hal tersebut diakibatkan tidak adanya sistem dealer yang bekerja di bursa, adapun dealer yang saat ini berlaku di broker adalah hanya untuk memastikan ketentuan pesanan dengan penekanan kepada fungsi resiko keuangan (Peraturan Bapepam No. V.D.3 butir 4.b) atau ketentuan saham margin untuk posisi short nasabah (Peraturan Bapepam No. V.D.6 butir 7,8, 14 dan 15)

Untuk memudahkan ilustrasi, nasabah A ingin membeli atau menjual saham ABCD dengan volume yang signifikan pada rentang harga tertentu melalaui broker XY. Untuk mencapai kepuasan nasabah A, broker XY melakukan “teknik perdagangan” memancing para pemodal retail dengan memasang antrian order di beberapa level harga dengan volume yang signifikan, bahkan tidak jarang ketika “order” tersebut dikejar ke rentang yang menurut investor lainnya menguntungkan (pola day trading), maka yang terjadi setelah rentang harga yang dinginkan oleh A telah tercapai tidak jarang XY akan mencabut order di harga beli atau jual terbaik, kalau sudah begini banyak pemodal selanjutnya kecele dan menganggap telah menjadi korban gorengan sang bandar. Bahkan pola tersebut tidak jarang dilakukan dengan sangat rapih oleh XY dengan jalan melakukan konsorsium ke beberapa rekan borker SRO (Sekuritas Rindu Order, misalnya saja broker AB, CD, EF, GH, dan IJ) untuk menimbulkan kesan bahwa permintaan atau penawaran saham ABCD di bursa sedang ramai, tidak jarang pula untuk hal tersebut dilakukan terlebih dahulu pembentukan harga semu antara order A di XY satu dan lainnya dengan order titipan A oleh XY ke AB, CD, EF, GH, dan IJ.

Ilustrasi di atas, jika kita kembalikan kepada pembuktian manipulasi pasar sangat debatable, jika transaksi semu antara order A di XY dengan yang ditipkan XY di AB, CD, EF, GH, dan IJ, maka pembuktian mungkin lebih mudah sebagaimana diatur dalam pasal 91 UU PM. Tapi kalau tindakan itu hanya memasang rentetan order di beberapa rentang harga untuk memperoleh harga rata-rata terbaik (“back order”), tentu sangat sulit untuk dibuktikan, karena penyidik akan dihadapkan kepada unsur tujuan tertentu melakukan tindakan meramaikan pasar sebagaimana diatur dalam pasal 92 UU PM. Terdapat dua hal yang akan berbeda dalam penelusuran manipulasi tersebut, secara substansi dapat saja dengan mudah dikatakan bahwa pola perdagangan tersebut telah memenuhi unsur meramaikan pasar, namun demikian yang perlu dibuktikan (dan tidak mudah) adalah aspek formalitas unsur ada atau tidaknya tujuan keuntungan oleh pihak tertentu, padahal secara legal akhirnya akan dihadapkan pada norma Form Over Substance.

Kalaupun selanjutnya dikejar dengan pertanyaan kepada XY, atas dasar aturan Broker System, tentang order nasabah dibeberapa rentang tersebut beserta perintah cabut-pasangnya harus didukung oleh perintah nasabah A dan bukan di-“set” oleh XY (Peraturan Bapepam No. V.D.3 butir 4.a), jawaban dan alat buktinya pun akan sangat mudah dengan membuat slip order ataupun rekaman rekaan. Hal tersebut kalau boleh dikatakan diakibatkan oleh struktur basis data investor “yang dibiarkan” kurang tertib dengan alasan untuk menumbuhkan pasar terlebih dahulu, sehingga paling-paling XY hanya akan dikenakan ganjaran pelanggaran administratif dengan menggugurkan faktor manipulasi dalam area debat tehnik perdagangan. Sadar tidak sadar investasi hubungan struktural yang dibangun selama ini sebenarnya telah mendistorsi kondisi pilar pertama Continous Auction Market dengan Broker System yang dianut.

Menghidupkan Dealer System: Solusi Penciptaan Good Market Governance

Di muka tulisan ini telah diuraikan secara sederhana bahwa Continous Auction Market dengan Broker System yang sekarang dianut oleh pasar modal Indonesia sudah menimbulkan suatu kondisi yang tidak koheren, dimana sistem di bursa yang dilihat oleh pelaku pasar sebagai transaksi broker to broker tidak sepenuhnya dilakukan dari mata rantai customer to broker saja, tapi telah terdistorsi ke customer to dealer. Mari kita buka wacana untuk melihat apa yang dikatakan dengan goreng saham dari dimensi potensi pasar. Kenapa demikian ?, kalaupun otoritas pasar modal akan menegakkan aturan transaksi Broker System, maka yang terjadi mungkin bursa akan tambah sepi.

Alasannya adalah dengan mayoritas ditopang oleh pemodal lokal, maka boleh dikatakan semua pemain adalah market follower, sedangkan market leader dengan order dari fund manager akan sangat sulit bermain dengan teknik-teknik dealer system di bursa secara langsung dengan legal dan transparan. Utamanya, perorangan atau kelompok pengelola investasi dengan tujuan profit taking non manajer investasi yang memiliki ijin seperti halnya pengelola reksa dana. Saat ini aturan pasar modal mengarahkan masyarakat yang mempercayakan dananya dengan pihak ketiga harus membeli penyertaan reksa dana. Padahal kenyataannya (mungkin) saat ini, salah satu penopang bisnis broker adalah penitipan dana masyarakat atas dasar kepercayaan. Aset masyarakat itulah yang tampaknya digulirkan dengan mengoreng saham-saham spekulatif untuk mendapatkan keuntungan optimal. Secara sederhana, dapat digambarkan masyarakat yang memilih hubungan dengan dealer dilakukan dengan membeli reksa dana, selanjutnya pengelola reksa dana akan melakukan penempatan ke bursa dengan terlebih dahulu melalui broker dengan status yang sama dengan nasabah lainnya. Secara sederhana, sistem dealer saat ini dapat berlangsung secara tidak langsung di pasar, namun tidak jarang dilakukan secara langsung.

Jika kita belajar kepada bursa lain (kalau boleh) yang menerapkan Continous Auction Market, dengan Broker System dan juga Dealer System, maka kita akan menemukan 2 (dua) kutub yang berbeda, yaitu (1) Model Dealer Market Spesialis yang dirintis oleh NYSE dan (2) Model Dealer Market Maker yang dirintis oleh NASD. Untuk menghasilkan bursa yang sehat, tampaknya kedua model ini tidak semata-mata menjual GCG saja, tapi juga menciptakan koordinat penyeimbang sistem perdagangan yang searah untuk menciptakan kondisi Good Market Governance (GMG), atau dengan kata lain bursa yang sehat, efisien dan likuid adalah bursa yang memiliki keseimbangan kebijakan GCG dengan GMG. GMG dapat berlangsung di kedua bursa tersebut dengan jalan bahwa nasabah harus memilih transaksinya dengan anggota bursa yang berstatus boker atau dengan yang berstatus dealer sesuia dengan tuntutan kepuasan yang dinginkannya. Publik akan dapat melihat secara real-time mana order yang berasal dari dealer dan mana yang dari broker, sehingga investor telah diberikan informasi yang cukup untuk merespon penempatan order dari masing-masing tujuan.

Model Dealer Market Spesialis lebih mengarahkan kordinat GCG untuk didukung dengan penyeimbang variabel investor fundamental secara riil melawan faktor teknikal di bursa. NYSE tampaknya sadar betul bahwa kebijakan aturan pencatatan yang dimilikinya mampu menghasilkan saham-saham dengan kriteria GCG yang ketat. Namun demikian, tampaknya NYSE pun sadar mekanisme pasar akan menghasilkan posisi under ataupun over value harga pasar dibandingkan dengan kondisi fundamentalnya. Oleh karena itu, Market Spesialis yang biasanya dibentuk atas dana emiten dan sekuritas berfungsi “menjaga” performa pasar saham tertentu (tidak bisa berdagang untuk saham yang tidak di-spesialisasi). Spesialis adalah instrumen penjamin emisi di pasar sekunder, investor akan mendapat alert bahwa saham yang ada spesialisnya memiliki kepastian dapat diperjual-belikan secara simultan, karena spesialis berkomitmen untuk membeli dan menjual saham sebagai bagian dari pengendalian saham. Bahkan spesialis akan menjamin membeli saham investor pada saat kondisi tidak menguntungkan, misalnya delisting.

Sistem NYSE tentunya tidak mudah diadaptasi, karena paling tidak kondisi yang harus dicapai adalah bahwa emiten dan pemodal fundamental harus percaya terlebih dahulu. Oleh karena itu, untuk bursa yang tidak terkondisi seperti itu diperlukan mekanisme pemanis pasar model dealer market maker untuk dapat mengairahkan pasar secara terarah, meskipun secara GCG memungkinkan terdapat saham saham spekulatif. Saham-saham teknologi di NASD sangat berfluktuatif, tapi ada satu tolok ukur di NASD menunjukan di antara bursa-bursa dunia meskipun koreksi indeks terjadi bursa tersebut dapat mempertahankan volume saham yang diperdagangan konsisten. Artinya, meskipun indeks negatif, investor tetap menyentuh pasar.

Hal tersebut terjadi, karena terdapat dealer market maker yang melakukan teknik perdagangan untuk meramaikan pasar, namun bedanya dengan teknik perdagangan yang dilakukan saat ini di Indonesia adalah anggota bursa yang berstatus sebagai market maker harus berkomitmen terhadap pasar dan secara “jantan” menunjukan identitasnya kepada pasar. Dengan sistem tersebut, anggota bursa yang berstatus market maker harus berpikir seribu kali untuk memasang rentetan order sebagaimana ilustrasi di muka, karena (1) Setiap order yang masuk harus dalam volume minimal tertentu dan tidak boleh ditarik kembali (asumsi dealer adalah pemain profesional) dan (2) Tiap saat akan ada spread capital commitment antara harga – volume beli terbaik dengan harga – volume jual terbaik, dimana di akhir perdagangan market maker harus menutup spread tersebut menjadi transaksi. Artinya, memancing atau bahasa kerennya teknik perdagangan sah-sah saja untuk dilakukan sepanjang secara profesiunal dan transparan, bukan hanya aka-akalan dengan menyebar order dan atau pasang-cabut tanpa komitmen.

Model market maker menyeimbangakan GCG saham dengan menciptakan GMG melalui pembedaan warna order. Dengan sistem on-line trading yang dikembangkan oleh NASD, maka pemodal retail yang berhubungan dengan broker secara on-line akan melihat order dengan warna hijau sebagai ordernya dan warna kuning dari sistem dealer. Artinya meskipun sistem GCG yang dibentuk menghasilkan saham-saham spekulatif, tapi sistem GMG memberikan sinyal bahwa merespon dealer melalui penempatan langsung (real-time) dari broker adalah order high risk high return. Dengan kata lain, pengawasan telah melekat dan artinya perlindungan investor adalah transparansi resiko bukan hanya sekedar “memanjakan” yang tidak berujung pangkal.

Model Market Maker tampaknya banyak ditiru oleh bursa yang masih berkembang, salah satunya adalah Euro-Next yang menyebutnya dengan Liquidity Provider (setelah sebelumnya sistem market spesialis tidak cukup berhasil). Tentunya, melihat karakteristik emiten, broker dan investor yang ada di Indonesia saat ini konsep yang sama sudah saatnya untuk diwacanakan untuk menjaga pasar tetap tumbuh tanpa melupakan filosofi tentang bursa yang sehat. Atau dengan kata lain saatnya kita merubah kebijakan Continous Auction Market dengan Broker System menjadi Continous Auction Market dengan Broker dan Dealer System. Gagasannya adalah program GCG saja tidak cukup untuk pasar modal, tapi yang dibutuhkan adalah program GCG dam GMG menuju bursa berbasis teknologi.

Bursa Syariah: Wacana ATS yang belum tersentuh

Sebelum wacana ini diuraikan lebih lanjut, penulis berharap dalam melihat aliran ekonomi syariah, ada baiknya apriori masalah keagamaan tertentu disingkirkan dengan mengedepankan faktor pasar yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pada dasarnya, ekonomi syariah adalah aliran ekonomi, kalau kita bisa mahzab Adam Smith, Keynes dan Marxisme, maka sudah selayaknya kita pun mau menghargai kelompok masyarakat yang menginginkan perekonomian berbasis syariah.

Ilustrasi yang telah dikemukakan di muka, menunjukan bahwa salah satu resiko bawaan transaksi di bursa adalah tetap adanya faktor spekulasi untuk tujuan perolehan keuntungan jangka pendek. Akomodasi bursa terhadap batasan-batasan yang fleksibel yang mengairahkan pasar secara teregulasi dan transparan dapat saja tidak memnuhi kaidah ekonomi-syariah (padahal mayoritas dari masyarakat Indonesia beragama Islam). Salah satunya, dapat dilihat dalam diskusi di milis ekonomi-syariah, yang mengedepankan salah satu faktor penghambat investor syariah masuk ke BEJ adalah adanya praktek short seliing / buying di bursa. Praktek tersebut merupakan salah satu “teknik perdagangan” yang tidak jarang dilakukan untuk melakukan rangkaian proses “memancing” di bursa sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.

Atas dasar pertimbangan fiqih praktek short tidak dapat dibenarkan dalam menjamin transaksi yang halal yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang benar-benar telah memiliki dana dan barang, untuk menghindari timbulnya gharar (keragu-raguan) dan masyir (menimbulkan resiko berlebihan). Pertimbangan tersebut akan bertentangan dengan prinsip legal di bursa yang memperkenankan transaksi marjin, sepanjang sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Bapepam no. V.D.6, yaitu (1) posisi short selling / buying dapat dilakukan oleh nasabah yang memenuhi kriteria melalui broker yang memiliki ijin (butir 2,4,5 dan 6) dan (2) ketentuan transaksi dilakukan untuk saham yang diumumkan oleh bursa sebagai saham marjin (butir 7 dan8)

Pada saat ini, berkembang wacana pasar modal syariah dengan jalan melalui pembelian reksa dana syariah atau penempatan langsung di bursa untuk saham-saham yang diumumkan dalam klasifikasi Jakarta Islamic Index (JII). JII (tampaknya) didasarkan kepada sistem pencatatan yang tidak ribawi atau emiten yang berusaha sesuai dengan landasan ekonomi-syariah dan dari sistem perdagangan yang dikedepankan adalah likuiditas saham tersebut selama periode yang ditentukan. Disinilah masalahnya, karena saham yang dikategorikan saham marjin pun dilandaskan kepada likuiditas transaksi, guna menjamin posisi kegagalan dapat diatasi dalam interval T+1 sampai T+4 oleh pemodal secara likuid di bursa, oleh karena itu terdapat irisan yang cukup krusial yang menghambat berkembangnya investasi syariah di BEJ, yaitu secara harfiah dan sistem, dapat saja reksa dana / investor syariah berhadapan dengan nasabah lainnya dengan posisi short secara legal. Padahal di masa depan akan dikenalkan mekanisme pinjam-meminjam efek yang diharapkan dapat meningkatkan likuiditas dengan jalan fasilitasi marjin secara terarah dan legal, dimana secara fiqih ekonomi-syariah proses ini pun tidak dapat dibenarkan.

Dua pertentangan legal jika tidak dikelola dengan baik dan terarah, maka hanya akan menghasilkan sebuah pereduksian potensi bangsa atau bahkan pemodal global, misalnya saja dana-dana yang berasal dari timur tengah. Menilik perkembangan di negara lain (lagi-lagi kalau boleh), misalnya saja Malaysia, yang secara cerdas mengadopsi sistem Alternative Trading System (ATS) yang berkembang pada dasawarsa terakhir di Amerika Serikat. ATS pada dasarnya diatur melalui regulasi SEC (Bapepamnya Amerika) sebagai dua bentuk penyelenggara transaksi efek, yaitu (1) Ijin perusahaan efek untuk penyelenggara on-line trading sebagai jalur broker system di NASD (dikenal dengan sebutan ECN – Electronic Comunication Network) (2) Ijin bursa efek untuk penyelenggara transaksi perdagangan efek yang tercatat di bursa yang menjadi ordinasinya. (dikenal dengan sebutan Super ECN atau mendunia dengan istilah ATS itu sendiri).

ATS berkembang di Amerika pada saat teknologi remote trading terstimulasi oleh pengembangan on-line trading. Respon yang diberikan oleh NASD dan NYSE terhadap hal tersebut berbeda, sesuai dengan segmentasi model broker-dealer di masing-masing bursa tersebut. NASD dengan kesiapan dan target untuk menjadi bursa teknologi, memiliki kapasitas teknologi yang dapat merespon on-line trading dari broker system tetap dalam infrastrukturnya, sedangkan NYSE secara teknis mengalami kesulitan untuk merespon on-line trading dalam infrastrukturnya secara langsung, disamping alasan lainnya untuk tidak membuat bursa tersebut terlampau terbuka untuk nasabah retail yang cenderung spekulatif.

Oleh karena itu, munculah ATS, model ini adalah sebagaimana halnya bursa efek dapat menyelenggarakan penjumpaan transaksi antar pemodal. Bedanya adalah bursa ordinasi (NYSE) mempunyai instrumen kebijakan pencatatan dan kebijakan perdagangan sedangkan bursa sub-ordinasi (penyelenggara ATS, misalnya Instinet) hanya memiliki kebijakan dan sistem perdagangan. Artinya saham-saham yang dicatatkan di NYSE dapat diperdagangkan dengan cara lain di ATS. ATS tersebut pada akhirnya dapat menjadi sarana bagi market spesialis untuk melakukan arbitrase antara biaya fungsi “stabilisasi” saham di NYSE dengan pengumpulan dana atau efek dari pemodal retail di ATS. Secara struktural perdagangan ATS dapat juga menjadi dasar untuk proses pre-opening dan after hours trading di NYSE dengan mekanisme call market.

ATS yang berkembang sedemikian pesat di Amerika, tampaknya diadaptasi di Malaysia dengan “kosmetik” berbeda. KLSE dengan membentuk anak perusahaan, yang disebut dengan LFX (Labuan Financial Exchange) dengan konsep off-shore market di pulau labuan. LFX difokuskan untuk menjadi ATS saham-saham di KLSE yang ingin diperdagangkan secara syariah (bahkan juga tampaknya instrumen keuangan lainnya). Bedanya dengan ATS di Amerika yang tidak diberikan kewenangan kebijakan pencatatan, maka di LFX memiliki kebijakan re-listing. Kebijakan re-listing ini adalah untuk rambu-rambu awal bahwa emiten yang ditransaksikan adalah emiten KLSE yang memiliki usaha sesuai kaidah ekonomi-syariah.

Perdagangan dan pengawasan di LFX sepenuhnya dikendalikan dalam basis syariah, misalnya saja pengawasan dilakukan bersama-sama antara LFX, otoritas pasar modal dan dewan syariah nasional Malaysia. Walaupun LFX ini masih dalam proses pengembangan, penulis pada kesempatan 19th AFACT Meeting – Financial Working Group pernah berdiskusi dengan pejabat Bank Negra Malaysia (bank sentral), ditemukan benang merah bahwa program dual system banking dan capital market tersebut adalah bagian dari cetak biru Malaysia Dua Puluh Dua Puluh yang berfokus sebagai tempat global financial market berbasis syariah. Pelajaran dari negeri jiran ini adalah ketidakmampuan untuk bersaing secara bebas dengan bursa yang lebih maju diatasi dengan jalan menciptakan pasar dengan model baru yang belum dijamah oleh negara lain.

Kecerdasan Malaysia, yang kalau tidak kita cermati secara cerdas pula, hanya akan menjadikan investor-syariah tanah air yang (mungkin) belum tersentuh pasar modal akan mengisi ruang di bursa Malaysia, dan sekali lagi artinya (setidaknya) pajak penghasilan atas transaksi bursa telah dinikmati oleh negara jiran, belum lagi potensi pajak penghasilan dari global investor berbasis syariah. Sebagai gambaran, kejelasan segmentasi yang dibuat oleh Malaysia mungkin mampu menyedot dana-dana timur tengah yang ditarik dari Amerika sebagai akibat kekesalan mereka dicurigai sebagai jaringan teroris (IBF Net Media Watch, 22/11/2001). Tampaknya melihat ancaman ini, NYSE dalam salah satu newsletter yang dikeluarkan oleh islamic.com diberitakan tengah merancang super ECN yang dapat dijadikan bursa syariah global, walaupun selama ini Dow Jones Islamic Index telah cukup kredibel dan dipercaya sebagai pasar yang efisien.

Kembali kepada bisnis, bisa saja pola ekonomi-syariah ini pun diminati oleh investor non-muslim yang tertarik dengan sistemnya. Dan hal ini sebenarnya bukan hal baru dan telah dirintis industri perbankan Indonesia dengan dual-banking system, antara bank konvensional dan bank syariah. Bank syariah diatur oleh regulasi menjadi unit usaha yang terpisah dari bank konvensional. Artinya mungkin sudah saatnya otoritas pasar modal Indonesia untuk mendukung ataupun melakukan sinkronisasi dengan wacana yang telah berkembang di industri perbankan tanah air.

Penutup

Wacana yang ingin dikedepankan tulisan ini adalah sudah saatnya pasar modal Indonesia melakukan segmentasi seluruh potensi pasar yang dimiliki secara terarah, integral dan efisien. Efisiensi korporasi sangatlah penting, karena saat ini Indonesia tidak membutuhkan banyak bursa, tapi yang dibutuhkan adalah satu bursa dengan banyak segmentasi pasar yang didukung oleh produk yang inovatif (saham dan turunannya). Misalnya, kenapa tidak melihat Malaysia, meskipun KLSE belum melakukan demutualisasi, bursa tersebut mampu melakukan segmentasi dan pengembangan ATS.

Sekedar ide, BES yang saat ini tengah mengalami kesulitan sebaiknya diakuisisi (digabungkan) dengan BEJ. Akuisisi tersebut dapat memetakan ulang potensi yang dimiliki oleh BES untuk dijadikan anak perusahaan model ATS syariah. Inti idealismenya adalah harga diri historis masing-masing bursa tetap dihargai, secara keuangan bursa Indonesia dapat efisien dan memiliki skema pendapatan yang saling dapat menutupi satu dan lainnya. Tentunya hal ini akan berpulang kepada pemegang saham kedua bursa tersebut yang relatif hampir sama (yang akan menyelenggarakan RUPS dalam waktu dekat) dan juga otoritas pasar modal Indonesia yang tengah giat melakukan pemodelan ulang bisnis pasar modal dan undang-undangnya.

-yanuar Rizky, karyawan Bursa Efek Jakarta, Pendapat Pribadi

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.