Curcol Terbuka Kepada Presiden Jokowi

[curcol: curhat colongan; adalah istilah di kalangan ABG yang mencurahkan isi hatinya (curhat); saya pilih karena saya curhat setelah ‘colongan’ dari baca curhat para CEO di APEC]

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 11 November 2014:
Pak Presiden Jokowi, saya akan memulai tulisan ini dari sesuatu yang dikedepankan sebagai sisi berita dari pertemuan di CEO Forum APEC. Berulang kali Pak Presiden mengatakan, “saya sudah tanya para pebisnis ini semua mengeluhkan soal izin, dan sebagai pengusaha saya pun mengalaminya”.

Inti pesannya adalah “kekuatan mendengar” sebagai sumber kebijakan yang akan ditempuh pemerintahan Jokowi. Saya apresiasi cara seperti itu, karena itulah alam nyata dari berbisnis, sebagai peran nyata sektor swasta dalam perekonomian.

Ketika presentasi, Pak Presiden juga menekankan kepada tekanan berat APBN dengan ruang fiskal terbatas,yang akan ditempuh dengan memperlebar ruang fiskal melalui pengurangan subsidi BBM dan diarahkan ke hal-hal produktif.

Sekarang, dengan kerendahan hati, ijinkanlah saya juga yang hidup dari wirausaha (enterpreunership) menyerap apa yang Presiden sampaikan.

1. Berbisnis dengan APBN

Saya akan menyimak arah ruang fiskal yang Presiden uraikan sebagai peluang ‘berbisnis’. Misal, jika arahnya adalah akan menambah subsidi pupuk, maka berbisnislah di ‘dagang pupuk’.

Kalau arahnya APBN untuk membangun infrastruktur, maka saya akan berbisnis sebagai kontraktor dan mengerjakan proyek-proyek pemerintah Indonesia.

Cara berpikir ‘pedagang’ dan ‘pemain proyek’, menurut banyak literasi bukanlah tipe industrialis. Meski itu tidk salah, namanya juga bisnis, tak semuanya berdimensi jangka panjang (industri) banyak hal bagi pengusaha urusan jangka pendek terkait kebutuhan arus kas adalah realita hari ini.

Dalam realita pelambatan ekonomi Tiongkok yang telah terjadi, maka jika saya pemain konstruksi global akan mengalami penurunan permintaan dari belanja pemerintah Tiongkok. Maka, yang Jokowi katakan adalah oase sebuah peluang di tahun 2015 yang diyakini sebagai tahun berat untuk bisnis yang modal kerjanya dibiayai perbankan.

Kenapa? Karena, bunga bank global telah cukup jelas akan naik mulai 2015, dipicu oleh jurus ke (2) The Fed dalam melakukan normalisasi kebijakan terdahulu, yaitu politik bunga rendah dinormalkan kembali ke suku bunga seharusnya. Kenapa jurus ke (2), karena jurus ke (1) dari normalisasi ini telah ditempuh saat ini, yaitu menghentikan stimulus dana QE yang sebelumnya mengucur ke pasar keuangan global, khususnya negara berkembang.

Jadi, kalau saya punya kapasitas dan sudah berada di jalur bisnis kontruksi atau dagang pupuk, tentu saya akan menuju Indonesia. Simpel saja, ada gula ada semut.

Pak Jokowi, dalam argumentasi banyak kaum pandai di kampus mengatakan bahwa fiskal itu adalah alat pemerintah menstimulasi perekonomian. Karena, sifatnya memperebutkan alokasi yang terbatas, maka berlakulah teori ‘transaction cost economy’.

Sederhananya, dari setiap pilihan kebijakan ada pelaku ekonomi yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Lalu, apakah ‘pedagang BBM subsidi’ akan dirugikan, karena misalnya saja nanti belanjanya ke ‘pedagang pupuk Subsidi’? Bisa ya, bisa tidak, dan bahkan bisa dapat keduanya.

Saya ingin memulainya dari pemahaman subsidi secara awam. Harga sebuah produk yang sampai di tangan pembeli (masyarakat) dibagi prosentase tertentu dibayar dari dompet konsumen, dan prosentase sisanya dari dompet APBN.

Kita pakai matematika kalkulator saja, kalau dihitung subsidi BBM di APBN saat ini adalah Rp246,49Triliun untuk target penggunaan 46 juta kilo liter. Kalau kita bagi kedua angka itu, akan keluar angka Rp5358,5 per liter (dibulatkan ke Rp5360).

Sekarang harga di SPBU untuk premium (Oktan 88) Rp6500 / liter. Artinya, harga pasar di SPBU premium itu Rp6500+Rp5360 = Rp11.860.

Pak Jokowi, kalau kita lihat pertamax oktan 92 yang tak bersubsidi, harganya adalah Rp10.700. Ini secara kalkultor, menjadi tidak masuk akan harga oktan lebih rendah menjadi lebih mahal, jadi ada masalah inefisiensi tata niaga. Yang bisa disebabkan oleh banyaknya ‘catutan’ (rente) dan atau ketidakefisienan rantai nilai tambah tata niaganya.

Pak Jokowi, saya setuju dengan anda bahwa kita tak bisa habiskan segitu gedenya untuk BBM. Tapi, saya rasa mengurangi jumlah subsidi BBM di APBN juga bisa terjadi, jika dilakukan efisensi tata niaganya.

Gampangnya, daripada runyam mengurai premium. Hapuskan saja produk itu, diganti pertamax 92.

Kit itung-itungan, yang ingin dialihkan pemerintahan Jokowi adalah kenaikan harga BBM Rp2000-3000. Jadi, kalau ambil asumsi tertinggi Rp3000, maka subsidi BBM dari Rp5.360 per liter menjadi Rp2.360 per liter di APBN perubahan.

Kalau sekarang harga pertamax 92 Rp10.700, yang disubsidi maka dari angka asumsi kalkulator nilai APBN baru, harga pertamax92 bisa dibeli Rp8340. Bayangkan, kalau modelnya premium naik Rp3000, maka premium jadi Rp9500.

Itu saja Pak, logika sederhana yang harus dijelaskan, karena itung-itungan dengan angka asumsi APBN perubahan yang sama, ada potensi masyarakat mendapat oktan lebih tinggi dengan harga lebih murah.

Artinya, kalau tetap dipelihara model BBM bersubsidi dengan pola harga yang tidak jelas di premium, maka meski terjadi pengalihan rentenya tetap menikmati penyaluran BBM subsidi.

Tanpa, ada upaya mengefisienkan harga BBM subsidi, yang terjadi masyarakat membayar lebih mahal untuk inefisiensi Sedangkan, pelaku bisnis BBM bersubsidi tidak menanggung biaya (kerugian menurun) dikarenakan pengalihan kue subsidi ke barang lainnya.

Jadi, kalau otak pengusaha, dimana bisnis saya akan dapat kue belanja pemerintah kalau ada dananya. Dan, dana akan ada kalau ada pengurangan subsidi BBM, pasti saya akan meminta pemerintahan ini secepat-cepatnya menaikan BBM.

Tapi, meski saya juga pengusaha, bukan karena saya memang hanya pengusaha kecil yang tak bisa ikut main konstruksi dan dagang skala gede-gedean, sisi lain dari kita kan juga masyarakat.

Pak Jokowi, sekali lagi saya setuju harus ada ‘alokasi yang lebih cerdas dari ruang fiskal’, tapi sebagai Presiden tentu ini harus adil, tidak hanya bagi dunia usaha tapi juga dunia konsumen.

Saya rasa, tim pemerintah banyak yang jagoan, BIG data analytic cukup tersedia. Karenanya, petakan ‘transaction cost economy’ dari kebijakan, maka inefisiensi struktural juga adalah ruang fiskal yang bisa di realokasikan tanpa berlebihan membebani masyarakat sebagai pembayar kerugian atas setiap pilihan kebijakan.

2. Tidak Berbisnis Dengan APBN

Pak Presiden Jokowi, bagi saya untuk berusaha di poin ke 1, yaitu bekerja di proyek pemerintah (APBN) itu sangatlah berat.

Ada beberapa alasan, yang paling dasar kemampuan modal kerja untuk proyek besar. Benar, dalam banyak cerita usaha besar tidak ada yang besar karena uang sendiri, tapi kepercayaan dari institusi seperti Perbankan lah yang membiayai.

Untuk itu, saya menyadari dari banyak data, laju kredit perbankan yang kencang adalah ke kredit modal kerja. Artinya, perbankan membiayai proyek yang pasti-pasti saja. Sehingga, sudah barang tentu jika saya memenangkan proyek pemerintah, maka Bank akan membiayainya.

Bagi saya, untuk mendapatkan proyek pemerintah itu ada kemampuan akses ke pemerintahan yang harus saya miliki. Itulah kenapa, yang Bapak Presiden dengar dari para CEO usaha besar adalah soal perijinan. Karena, itu adalah pintu akses ke bisnis di stimulus fiskal pemerintah.

Pak Jokowi, tentu mengalami bisnis skala kecil menengah dan tidak menyusu ke APBN itu terasa berat. Tapi, saya yakin Bapak setuju sama saya, enak tidur! Karena, tidak merasakan gundah gulana akan ada KPK melakukan sidak.

Pak Jokowi, saya sudah 10 tahun memulai dunia usaha (enterpreuner). Berbeda dengan Bapak, dari enterpreuner ke birokrasi, saya merasakan dunia birokrasi dulu baru independen.

Saya berkeyakinan sejak awal, indepedensi peran saya sebagai analis hanya akan dicapai jika saya mampu berdikari dalam ekonomi.

Meski berat dan perlahan, tapi Alhamdulillah saya survive juga. Dan itu, saya rintis dengan keyakinan ‘tidur harus enak’, jangan buat masalah karena ingin terlalu besar malah berurusan dengan KPK.

Pak Jokowi, saya selalu berusaha mencari sisa lebih dari pekerjaan saya untuk saya investasikan ke industrialisasi di kepala saya. Tapi, saya selalu bilang ke CEO unit usaha kami “jangan buat masalah, mengejar proyek pemerintah, ujungnya malah KPK”

Kalau Bapak mau dengar curahan hati pengusaha kecil seperti saya, memilih seperti itu resikonya tidak ringan. Arus kas yang nombok memakan tabungan adalah hal biasa.

Saya pernah diskusi dengan CEO saya, kita harus diversifikasi ke sektor riil. Kelangkaan pangan, adalah potensi untuk bisnis pertanian.

Bagi kami Pak Jokowi, tidak penting harus rebutan proyek pemerintah. Kalau ada bisnis dengan modal skala kecil, kamipun siap untuk mendiversifikasi usaha ke sektor ekonomi rakyat.

Masalahnya Pak Jokowi, lahannya dimana yang siap tanam, yang distribusinya lancar serta rasa aman dari pungutan preman (baik preman berseragam maupun tidak). Dimna pula, kami mencari bibitnya, dstnya.

Pak, mungkin saja ini belum ada yang ngomong ke Bapak. Tolong juga diberi kepastian kesempatan berusaha di skala kecil tapi dampaknyanya langsung di sentral ekonomi rakyat.

Kalau petanya jelas, maka investasi lokal, saweran kecil-kecil bersama-sama saya yakini juga peluang kita bangkit bersama. Seperti semangat Trisakti yang Bapak Presiden kemukakan di pidato pertama pelantikan, dua jurus saktinya adalah berdikari (akumulasi modal nasional) dan berbudaya. Jadi, ayo dong Pak Jokowi pimpin “Kampanye Budaya Investasi Lokal”

-yanuar rizky, WNI biasa saja, Chairman BIG (Bejana Investidata Globalindo)

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.