Dana Politik

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 26 Januari 2014:
Banyak status di media sosial membicarakan soal konglomerasi (bisnis) dan kandidat (politik)..

Persoalannya sederhana saja, sistem politik yang kita anut itu terbuka (satu orang Warga negara dewasa satu suara, pasar liberal).

Dalam model seperti itu, negara seluas. Indonesia dari Sabang sampai Merauke, pasti membutuhkan dana yang besar….

Disatu sisi kita berpikir terlalu ideal, disisi lain ini soal ‘pasar terbuka’ ada suply (penawaran) dan ada permintaan (demand). Titik temu diantara keduanya adalah ‘harga’ dari transaksi politik.

Apa mata uang dari ‘harga’ itu? Kita (terutama kelas menengah, dengan tingkat edukasi memadai serta mapan) selalu mengaitkan mata uang dari ‘transaksi politik’ adalah ‘ideologi’. Ideologi dibentuk oleh program kerja, track record kandidat dst-nya.

Kita (kelas menengah) terkadang marah-marah dengan politik ‘pencitraan’ dan atau lalu mengendus-ngendus kekecewaan jika kandidat yang dicitrakan ‘ideal’ ternyata dekat dengan kelompok usaha tertentu (konglomerat). Padahal, sudah terlanjur mengecam konglomerat lain yang terang-terangan atau bahkan diri mereka sendiri menjadi kandidat politik.

Kalau dianalisa, diawal sudah dikatakan ini politik (pasar) terbuka dengan luas wilayah dari Sabang sampai merauke, jadi sudah pasti butuh dana. Kalau kita menyadari hal itu, maka sudah menjadi pengetahuan dasar bagi kita (pemilih) bahwa setiap kandidat politik dengan sistem seperti ini pasti ada mesin uang politiknya (donasi).

Soal donasi dalam sistem politik liberal tidaklah haram. Yang didorong oleh aturan politik di Indonesia adalah batasan dari seseorang (kelompok usaha) dalam jumlah donasinya. Seting aturan seperti ini mendorong kandidat untuk lebih disokong ‘dana publik’ dibanding ‘dana kelompok tertentu’.

Sekarang, kelas menengah (mapan) di Indonesia apakah mudah untuk mengeluarkan koceknya untuk saweran ‘dana publik’? Ditengah kelas menengah sendiri ‘over demand’ minta trek rekord kandidat dst-nya?

Dengan kata lain, untuk meyakinkan demand dari kelas menengah seperti itu (pull demand factor), maka pencitraan kandidat menjadi sesuatu yang melekat. Entah itu pencitraan positif, dalam arti citra (branding) produk (individu) kandidat seindah Warna aslinya, atau pencitraan negatif dimana branding melakukan make over (manipulatif) Warna aslinya kandidat.

Rasanya, kita berpikir logis saja yang melakukan positif dan negatif, tetap saja butuh perangkat komunikasi politik (pencitraan), dan itu ada harganya. Nah, siapa yang membayar harga itu? Bisa kandidatnya (kalau dia kaya), bisa juga kelompok (teman-temannya) yang kaya (konglomerasi).

Katakan saja awalnya seorang kandidat ke permukaan didanai oleh kelompok tertentu, lalu kemudian dalam mencapai kemenangan politik nasional dibiayai ‘dana publik’. Contoh seperti ini adalah Obama, dimana saat Konvensi partainya pertama kali, kuncinya memenangkan pertarungan dengan Hilary Clinton adalah ketika Keluarga Kennedy menyokong Obama (dikarenakan kandidat keluarga Kenedy yang sudah layak citra tidak bisa maju dikarenakan sakit).

Wall street yang merupakan pendana politik di Amerika Serikat, setelah Kenedy menyokong Obama juga melakukan funding ke Obama (saya pernah menulis ini di Majalah Gatra tahun 2007 lengkap dengan data siapa donaturnya, yang saya peroleh datanya dari keterbukaan dana kampanye di Lembaga pemantau dana kampanye di AS)

Lalu, setelah Obama di permukaan, barulah kemudian dia melakukan ‘public fund raising’. Dimana, dalam proses kandidat (Capres) Obama menyerap dana saweran (dana publik). Kita di Indonesia sering loncat kesini, melihat Obama ketika sudah sampai permukaan. Sehingga, tak jarang kita di tanah air bilang seperti Obama disokong publik. Tapi, jangan lupa, awalnya Obama disokong Kennedy dan juga konglomerasi dana politik di AS.

Makanya, tidaklah heran juga jika kemarin banyak media yang menyoroti dipilihnya Caroline Kennedy (perempuan berwajah manis, masih muda) menjadi Dubes Di Jepang adalah bagian dari ‘pay back’ Obama, dimana ini periode terakhir Obama sehingga akan ada Konvensi di partainya Obama untuk kandidat Presiden setelah Obama.

Coba liat, di AS sendiri belum ada Presiden Wanita, yang hitam sih udah. Itu dulu yang didengungkan oleh Hilary Clinton, yang lalu sentimennya diambil Republik dengan mengajukan Sarah Palin jadi kandidat Wapres. Jadi, ada tren permintaan di AS Presiden perempuan yang enak dilihat dan cerdas (weel looking). Itu kenapa, mencitrakan Caroline Kennedy di negara yang banyak hubungan dengan AS seperti Jepang, literasinya dibaca sebagai memunculkan (pencitraan) Caroline ke permukaan.

Jadi ‘pay back’ adalah sesuatu yang terjadi, dan Konsukuensi dari model politik terbuka. Masalahnya, kita ini senang berhalusinasi, sehingga kandidat yang kita harapkan sebersih dan sesuci mungkin. Posisi ini menyebabkan ‘munafik kolektif’, yaitu menutup-nutupi siapa pendananya. Sehingga, jika ada sinyal sedikit saja kedekatan kandidat dengan konglomerat tertentu, gosipnya jadi kemana-mana.

Saya rasa yang harus kita dorong ‘jika menerima sistem politik pasar terbuka’ adalah keterbukaan dana kampanye. Dan, kita harus dasari dengan pengetahuan dasar bahwa politik seperti ini pasti ada donasinya. Kewajaran kita menerima akan mendorong keterbukaan. Jadi, tak perlu ideal mendorong batasan dana disaat ‘dana publik’ di kita pun omdo (silahkan kelas menengah bercermin apakah mau ikut saweran untuk kandidat yang diidolakannya, dan jangan lupa untuk sampai ke tahap idola dana publik, profil Obama menunjukan awalnya pasti ada kelompok tertentu juga).

Jadi, saya rasa saatnya kandidat yang progresif untuk jujur, terbuka sajalah siapa saja pendananya. Karena, salah itu manusiawi yang tidak boleh itu bohong. Itu disisi kandidat.

Lalu, apakah kelas menengah juga akan progresif menyawer kandidat secara ramai-ramai agar kelompok yang dominan di awal kandidatnya terdilusi oleh dana publik? Itu juga ujian konkrit bagi bangsa ini, kalau omdo, ya kita tersandera oleh ilusi ideal untuk sesuatu yang tidak ideal!

-yanuar Rizky, Warga Negara Indonesia biasa aja

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.