Dibalik Membaiknya Parameter Makro Ekonomi

[Catatan: reposting Tulisan lama yang dimuat di Kompas, 26 November 2006]

Kompas, 26 November 2006:
Analisa Ekonomi
Di Balik Membaiknya Parameter Makro

Oleh: Yanuar Rizky

Arah positif perbaikan makro terlihat dari optimisme pemerintah, pelaku pasar, dan lembaga keuangan internasional. Bertolak belakang dengan persepsi pekerja dan pencari kerja yang dihinggapi traumatis perbaikan makro tahun 2002-2004 yang diikuti meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan.

Terlebih, penguatan (kembali) parameter makro di semester II-2006 dipicu pengulangan pola teknikal pasar keuangan seperti pada semester II-2002.

Data makro terkini memang mendukung optimisme pemerintah tentang adanya pembalikan arah yang lebih baik, yang ditandai peningkatan konsumsi listrik, semen, dan pembelian sepeda motor (Kompas, 31 Oktober 2006).

Pertumbuhan konsumsi listrik bersumber dari sektor bisnis dan industri. Tren keberlanjutan (perlahan) hanya terjadi di sektor bisnis, mungkin imbas tumbuhnya pusat perbelanjaan. Sektor rumah tangga cenderung tetap. Kalau pembalikan arah diartikan pemerataan, belum cukup sinyal pulihnya daya beli rakyat pascakenaikan harga BBM.

Penjualan sepeda motor, mewakili masyarakat menengah, diperkuat mulai meningkatnya kembali penjualan mobil. Penjualan motor dan mobil belum menyentuh tren sebelum kenaikan harga BBM. Bahkan, terlihat trade off konsumsi dari mobil ke motor, yang menunjukkan indikasi penurunan “kelas konsumsi” masyarakat menengah. Dari sisi konsumsi, terdapat sinyal terjadinya kembali perbaikan makro diikuti melebarnya kesenjangan, yang diakibatkan penurunan daya beli kelompok menengah-bawah (lebih miskin).

Fenomena tersebut menunjukkan indikasi peningkatan Indeks Kepercayaan Konsumen bersumber dari peningkatan persepsi (saat ini) untuk membeli barang jangka pendek (motor dan mobil) dengan kredit perbankan. Turunnya suku bunga BI diikuti turunnya bunga kredit konsumsi lebih dahulu dari kredit investasi. Kredit otomotif sendiri trennya terproyeksi akan pulih pada awal tahun 2007 (persepsi akan datang).

Optimisme jangka panjang, seperti pembelian rumah, belum menunjukkan sinyal pemulihan sebagaimana tampak dari relatif belum bergeraknya kredit pemilikan rumah. Berarti, kenaikan konsumsi semen, indikasinya bersumber dari realisasi belanja pemerintah dan masyarakat untuk membangun kembali infrastruktur fisik (yang hancur) pascabencana.

Neraca konsumtif

Benar neraca perdagangan surplus, dengan tren meningkat sejak awal semester II-2006. Namun, kalau dilihat sumbernya, ekspor sangat ditentukan faktor harga, bukan volume produksi. Buktinya, naiknya ekspor nonmigas (jadi 28,6 persen) ditopang naiknya harga komoditas primer di pasar internasional (batu bara, karet, tembaga, dan bijih-kerak-abu logam), serta turun drastisnya ekspor migas (menjadi 2,6 persen) akibat turunnya harga minyak dunia.

Di sisi impor, turunnya harga minyak juga berdampak menurunnya impor migas. Namun, kualitas impor belum menunjukkan bergeraknya kembali sektor produksi, dengan masih dominannya impor barang konsumsi. Sedangkan impor bahan baku masih mencatat pertumbuhan negatif (dalam setahun) serta masih sangat rendahnya impor barang modal di sisi lain.

Sinyal ekspor-impor menunjukkan konsumsi masih ditopang barang impor. Karena itu, faktor pemicu inflasi sangat ditentukan kemampuan BI mengelola fluktuasi kurs (rezim devisa bebas) di pasar uang itu sendiri.

Tidak terjadi fluktuasi kurs terlalu dalam sejak Juni 2006 membuat kondisi psikologis teknikal pasar uang cukup terkendali. Itulah sumber kondusifnya parameter makro, didorong fine tuning suku bunga BI.

Ruang bagi BI untuk terus menurunkan suku bunga BI juga dikarenakan “berkah” kondusifnya strategi moneter negara lain. Apresiasi dollar AS terus terjadi pada mata uang euro dan yuan China akibat meningkat tajamnya ekspor China dan posisi perang suku bunga antara Uni Eropa dan AS. Turunnya harga minyak dunia tampaknya telah membantu The Fed untuk mengendalikan parameter makroekonomi AS.

Pencitraan investasi

Di satu sisi, pelunasan utang kepada IMF merupakan upaya short term payment long term gain, yaitu sumbernya dari aliran uang panas yang besar (Maret 2006) ketika selisih suku bunga Fed-suku bunga BI memadai, dan penggunaannya untuk mengurangi beban utang negara.

Di sisi lain, stabilitas moneter jangka menengah-panjang serta keberlanjutan fiskal (kemandirian ekonomi) dalam arti seluas- luasnya masih terganggu tingginya rasio utang luar negeri (lainnya) dalam APBN serta lemahnya daya beli dan kerja masyarakat yang pada akhirnya menjadi sumber rendahnya rasio pajak di APBN.

Tak dapat dimungkiri meningkatnya daya saing Indonesia dari 69 ke 50 berdasarkan survei Forum Ekonomi Dunia (WEF) mungkin saja diakibatkan besarnya responden yang juga “pemain” pasar keuangan. Betapa tidak, negara yang naik persepsinya (Indonesia, Jepang, Hongkong, India, Sri Lanka, dan Pakistan) dalam setahun terakhir pasar uang dan sahamnya memiliki tren kenaikan harga (indeks). Di sisi lain, negara yang melemah pasar uang dan sahamnya, indeks persepsinya juga melemah. Indeks BEJ dan kurs rupiah mencatat penguatan tertinggi sehingga wajar indeks persepsinya naik pesat dibandingkan dengan negara lain.

Itu sebabnya, meski survei WEF melesat cepat, ternyata tak mampu meningkatkan persepsi investor untuk memasukkan modal tetap bersih (yang masih mencatat angka negatif). Bahkan, negara yang “dirayu” (AS, China, dan Jepang), sampai September 2006 belum terlihat dalam lima besar asal negara PMA.

Memang benar dalam tiga bulan terakhir terdapat tren kenaikan PMA, tetapi nilainya masih terlalu kecil. Agresivitas masuknya investasi asing ditunjukan negara jiran (Malaysia dan Singapura). Berarti, investasi bukanlah didorong citra makro dan survei, melainkan “ada gula ada semut”. Bagi negara tetangga, potensi demografi Indonesia jelas, strategis ketahanan pasar.

Yang penting dirumuskan cepat pemerintah dalam merespons kondusifnya suku bunga BI adalah mengikat investasi asing tak terjebak paradigma investasi “mudah masuk, mudah keluar”.

Sebelum segala sesuatunya terlambat (kembali) sebagaimana tampak dalam transaksi spekulatif pasar uang dan saham mengiringi setiap penurunan suku bunga BI (pengulangan pola semester I-2002 di semester II-2006), yang terindikasi dilakukan melalui Singapura.

Yanuar Rizky Analis Independen

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.