Erupsi Saham Krakatau Steel

-Yanuar Rizky-
Kompas, 13 November 2010:
Suka atau tidak, melejitnya harga saham PT Krakatau Steel sebesar 49,41 persen pada hari pertama dan kumulatif pada hari kedua naik sebesar 78,82 persen telah menguatkan dugaan banyak pihak tentang adanya indikasi masalah di balik penawaran saham perdana PT Krakatau Steel.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa menyatakan ketidakheranan atas naiknya harga sebagai akibat mekanisme pasar. Jika keyakinan akan pasar memang menjadi acuannya, mengapa pemerintah tidak mengikuti ”denyut pasar” dalam menetapkan (book building) harga saham perdana PT Krakatau Steel (KRAS)?

Pemerintah dan pendukung ”harga Rp 850” menyatakan, hal itu disebabkan oleh dipilihnya investor berkualitas. Itulah mengapa Kompas dan banyak media menyoroti aksi jual asing yang masif atas saham perdana KRAS di bursa. Karena asing ”dicitrakan” berkualitas. Kualitas, menurut Hikmahanto Juwana dalam artikel opini Kompas (20/11/2010), diartikan sebagai ”investor akan memegang saham yang diperoleh untuk jangka panjang”.

Substansi pengawasan

Jika pemerintah dan para pihak berpegang pada etika pasar my word is my bond, asumsi preferensi investor berkualitas haruslah dapat dipertanggungjawabkan. Itu karena, faktanya, terjadi aksi jual saham IPO di bursa secara masif.

Di sebuah media on-line, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) menyatakan, aksi jual asing terjadi karena banyak keributan di seputar IPO KS. Jika itu asumsinya, berpegang pada mekanisme pasar, jual cepat dalam jumlah banyak (panic selling) tentu akan mendorong harga turun.

Bagi saya, inkonsistensi logika ”mekanisme pasar” terjadi dua kali. Pertama, di pasar perdana naiknya permintaan tidak meningkatkan harga; dan kedua di bursa aksi jual masif justru menaikkan harga.

Hikmahanto, dalam tulisannya di Kompas, menurut hemat saya, melihat kewajaran IPO KRAS dari sisi hukum positif prosedural penawaran saham perdana (IPO). Yang dipermasalahkan banyak pihak ialah tentang konflik kepentingan dan adanya keuntungan pihak-pihak tertentu.

Untuk itu, jika ukurannya best practice sistem pengawasan dan penegakan hukum, terlalu sederhana dan terlampau cepat menarik kesimpulan kewajaran hanya dari penilaian prosedural.
Kewajaran harga dan perolehan manfaat hanya dapat disimpulkan jika unsur-unsur manipulasi pasar dan/atau insider trading (Pasal 90-97 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal) telah diperiksa dan disidik oleh otoritas (Bapepam-LK, Pasal 5).

Jika pembentukan harga di pasar perdana dan bursa direkonstruksikan, indikasi motif (keuntungan pihak tertentu) sebagaimana diatur dalam Pasal 92 UU Pasar Modal cukup terlihat, yakni investor merealisasikan keuntungan tinggi pada saat pertama.

Hukum pidana pasar modal mengatur transaksi wajar adalah terjadi tanpa pengelabuan informasi (Pasal 90), harga terjadi bukan karena persekongkolan antara order beli dan jual yang membentuk harga (Pasal 91), serta tidak mendatangkan kerugian publik untuk perolehan keuntungan pihak tertentu (Pasal 92).

Saya, ketika KRAS dibuka di papan bursa, langsung memantau lalu lintas order dan transaksi sahamnya. Bukan karena saya memegang saham KRAS, karena saya memang tidak memegang saham satu lot pun. Saham KRAS, dalam hitungan detik, dengan lot tidak terlampau banyak dibentuk ke Rp 950, Rp 1.080, dan Rp 1.100. Pembentukan tiga tangga harga tersebut terjadi di menit pertama transaksi KRAS.

Sinyal persekongkolan

Setelah itu, dalam hitungan detik ke detik, saham KRAS menunjukkan sebuah indikasi terjadinya persekongkolan pembentukan harga. Kenapa demikian? Setidaknya ada dua sinyal, pertama, transaksi dalam waktu singkat sudah menembus ke angka menuju Rp 1 triliun; dan kedua, harga dipicu naik justru dari inisiatif pembeli (bid inisiator).
Begini ceritanya, jika harga naik dari detik ke detik, mekanismenya order beli mengejar harga di atas harga sebelumnya yang disimpan oleh sekuritas di posisi order jual (bid inisiator). Sebaliknya, jika harga turun, sekuritas yang memasang order jual mengejar harga order beli di bawah harga sebelumnya (ask inisiator).

Masifnya penjualan terjadi setelah harga terbentuk ke kisaran di atas Rp 1.100. Di sisi ini saya rasa panic selling tidak tampak karena penjual melepas setelah harga dibuka dari harga yang terdongkrak order beli. Daya beli saham KRAS yang mampu mengejar keinginan jual di harga tinggi menyisakan tanya karena jumlahnya mencapai Rp 1,991 triliun pada hari pertama dan Rp 2,53 triliun pada hari kedua. Angka yang tidak kecil, untuk dikatakan sebagai ”mekanisme pasar”.
Mendorong hasrat beli sedemikian masifnya pada saat informasi sendiri tengah tidak jelas (ribut), sungguh sebuah pertanyaan untuk negara dengan pemain lokal di bursanya yang hanya sekitar 350.000 orang.

Di sinilah kesan konflik kepentingan tercium. Kesannya (indikasi), sudah ada skenario kekuatan yang siap membeli di bursa karena jumlahnya yang masif (besar). Di sinilah, proses book building dan penerima penjatahan harus diskemakan ke perdagangan orang dalam (Pasal 95-97) karena kesan adanya kepentingan harga rendah di IPO untuk keuntungan di bursa (transaksi mendahului informasi).

Ada dua kemungkinan, pertama, skenario peminat serius (jangka panjang) memang mengambil di pasar sekunder. Yang harus dibuktikan melalui proses pemeriksaan dan penyidikan adalah apakah sudah ada kesepakatan di belakang (back door) dengan ”penerima jatah”.

Kemungkinan kedua, dana-dana lokal—di mana yang terbesar tentu saja juga BUMN—mengambil di sekunder dari ”penerima
jatah”. Jika ini terjadi, tentu skema konflik kepentingan menjadi semakin meluas dan terbuka.

Tulisan ini tidak menuduh, berasaskan praduga tak bersalah. Semua asumsi harus dibuktikan dalam pemeriksaan dan penyidikan. Yang ingin saya dorong adalah pemeriksaan dan penyidikan dengan cepat dan tepat sasaran oleh otoritas karena sinyal indikatif telah cukup terlihat dari pertanyaan publik itu sendiri.

Dengan demikian, mendorong proses penegakan hukum melalui upaya hukum oleh publik (class action) adalah sah dalam negara demokrasi dan sistem pasar. Hal ini agar citra pasar modal bisa membuat tata kelola BUMN lebih baik dan terlepas dari praktik sapi perah (korupsi), tidak menyisakan korupsi dengan mekanisme pasar itu sendiri.

Yanuar Rizky, Pengamat Ekonomi

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.