Inkonsistensi Kebijakan Cara Mengurangi Subsidi BBM di APBN

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 4 November 2014:

[latar belakang posting tulisan: Pada hari minggu kemarin (2 November 2014) dalam perjalanan ke acara undangan pengajian teman keluarga kami di Serpong, saya mendapat sms dari metro TV untuk wawancara soal batasan subsidi.

Lalu, kami bersepakat untuk ketemu di rest area Tol Karang Tengah. Sambil menunggu, saya memposting status di facebook yang sampai hari ini komennya terus bertambah, dengan pengayaan materi diskusi “harga wajar BBM premium, baik dibandingkan dengan nalar harga Pertamax Oktan 92 maupun secara “strategic cost management” dimana harga Pertamax di kita pun kalah kompetitif (lebih mahal) dibanding negara lain. Diskusi status facebook ini bisa diikuti di:
status Facebook

Kemudian, berawal dari banyak teman yang mengomentari interview saya di metro tv, mulai dari yang mengomentari “kaus merah” yang katanya begitu sering saya pakai :) .. sampai ke soal kontennya. Alhamdulillah, meski tidak nonton di TV, saya search metroTV meyimpannya di web di alamat ini:
Video Metro TV

Pagi ini, saya ingin memposting tulisan dibawah ini, yang menjelaskan soal konten yang saya utarakan di video yang ditayangkan metroTV di atas. Tulisan dibawah ini, ditulis oleh saya ketika masa Presidennya masih SBY, dan ditujukan untuk forum akademis (ilmiah). Sehingga, penulisannya mengikuti kaidah jurnal ilmiah terkait “literature review”, maupun instrumen variabel dalam tulisan dan tindak lanjutnya.

Judul asli tulisan ini adalah “Analisis Deskriptif Kegagalan Penerapan Radio Frequency Identification (RFID) Untuk Distribusi Bahan Bakar Minyak Bersubsidi Di Indonesia: Conceptual Framework Pengaruh Kepemimpinan Dan Kultur Tata Kelola Kebijakan Publik Terhadap Keberhasilan Implementasi Business Intelligence”; yang digunakan dalam seminar ICT and Growth di Program Doktor on Research Management (DRM) Universitas Bina Nusantara Jakarta.

Sebelum menikmati tulisan ini, ijinkan saya dengan kerendahan hati sebagai rakyat biasa menyampaikan harapan bahwa pemerintahan baru Presiden Joko Widodo mengambil peran dalam hal dua instrumen “Kepemimpinan dan Kultur Tata Kelola Industri” yang menurut saya diperlukan untuk menyelesaikan akar masalah subsidi BBM menjadi kebijakan yang konsisten, bermartabat (soft power: adil bagi antar kelompok masyarakatnya), serta berorientasi kepada membenahi inefesiensi tata niaga BBM itu sendiri.

Karena, barang publik tanpa subsidi sekalipun haruslah dilindungi pemerintah, yaitu harga yang wajar bebas dari inefisiensi tata niaga yang dibebankan berlebihan kepada konsumen, bahasa kasarnya karena banyak aktivitas “tukang catut” dalam jalur tata niaganya”. Kalau selama ini, inefisiensi itu dibagi antara konsumen dengan subsidi di APBN, maka melepas subsidi tanpa membenahi alur inefisieinsi tata niaganya sama saja dengan meminta rakyat menyerap seluruhnya inefisiensi industri.

Ini harus adil, dan itu bisa dimulai oleh transparansi. Misalnya, ini foto hasil blusukan saya di SPBU Malaysia di akhir tahun 2012 di pompa bensin di Kuala Lumpur. Bisa kita lihat, yang disubsidi adalah bensin RON95, setara dengan Pertamax Plus. Dimana, harga pasar (sebelum subsidi) dibanding harga pompa bensin kita di pertamax plus di negeri jiran lebih murah dibanding pompa di negeri ini, ini harus jadi penulusuran soal inefisiensi yang saya katakan tadi.

Jepret Desember 2012 - Pompa Bensin Kuala Lumpur

Hal lain, Pak Presiden Jokowi coba liat di pompa ada info harga pasar, subsidi dan yang dibayarkan konsumen. jadi, daripada pompa kita penuh sesak oleh spanduk himbauan “BBM subsidi untuk yang tidak mampu” dan seterusnya… plis donng ah, besok diganti sama info berapa harga pasar premium (ROM 88), berapa subsidinya. Agar kita jelas, bisa liat kok bensin ron lebih rendah harga keekonomiannya tinggi bingits.. kalau dibuka, mudah-mudahan jadi malu produsennya dan menurunkan harga jadi “wajar”.

Selamat membaca tulisan dibawah ini, semoga ada manfaatnya sebagai peran kecil warga negara biasa saja dalam berkontribusi untuk Indonesia yang lebih baik]

Analisis Deskriptif Kegagalan Penerapan Radio Frequency Identification (RFID) Untuk Distribusi Bahan Bakar Minyak Bersubsidi Di Indonesia: Conceptual Framework Pengaruh Kepemimpinan Dan Kultur Tata Kelola Kebijakan Publik Terhadap Keberhasilan Implementasi Business Intelligence
[Penulis: Yanuar Rizky, rizky@elrizky.net]

Abstrak

Sejak ditolaknya skema penurunan subsidi bahan bakar minyak (BBM) melalui variabel kebijakan harga oleh parlemen di Indonesia (DPR: Dewan Perwakilan Rakyat), Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerapkan komponen pengendalian volume sebagai variabel kebijakan pengendalian besaran subsidi BBM di APBN. Implikasi dari kebijakan dasar BBM bersubsidi tersebut adalah pengaturan distribusi BBM bersubsidi oleh PT Pertamina (Persero). Untuk itu, Pertamina telah memutuskan memanfaatkan teknologi Radio Frequency Indentification (RFID) sebagai alat pengendalian volume BBM bersubsidi. RFID adalah perangkat keras dan piranti aplikasi Business Intelligence and Analytics (BI&A) 3.0, yang melakukan proses komunikasi dua arah ke setiap lokasi distribusi sebagai data monitoring sekaligus pengumpulan data baru beserta pengendalian distribusinya. Penggunaan RFID untuk pengendalian volume BBM bersubsidi oleh pertamina adalah teknologi tepat guna. Namun, fakta di penghujung tahun 2014 kontroversi tak terkendalinya volume BBM bersubsidi sesuai angka Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2014 menunjukan bahwa implementasi RFID oleh Pertamina gagal. Artikel ini menyoroti kegagalan penerapan RFID berdasarkan analisa deskriptif yang bersumber kepada data sekunder perdebatan publik di media, sebagai acuan pembentukan kerangka konseptual variabel leadership dan political will sebagai kunci sukses implementasi BI&A.

A. Pendahuluan

Isu subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) selalu menjadi pemicu panasnya tensi politik ekonomi di Indonesia. Uniknya, isu ini dapat dilihat lebih kepada menempatkan isu sebagai komoditas politik, dibandingkan bahan bakar minyak sebagai barang ekonomi. Rasionalitas ekonomi adalah mengelola keterbatasan sumberdaya, bukan sentimentil (politis). Jika ekonomi yang menjadi pertimbangan, maka isu subsidi BBM di ruang fiskal pemerintah Indonesia (APBN: Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara) dari waktu ke waktu akan sama, yaitu terkait pilihan-pilihan strategis untuk mengatasi inefesiensi dan inefektifitas alokasi sumber daya itu sendiri.

Inefesiensi terkait BBM bersubsidi adalah terkait dengan nilai agregatnya yang terus naik, yang memberi konsukuensi akan mengurangi alokasi ke sektor lainnya di APBN. Sedangkan, inefektifitas terkait dengan tidak tepat sasarannya subsidi BBM sebagai penopang kesejahteraan masyarakat dan atau pemicu perekonomian itu sendiri. Dilema strategik penganggaran ini terjadi, sebagai akibat posisi BBM masih ditempatkan sebagai barang publik (inflatoir), dalam hal (1) energi transportasi masyarakat; dan atau (2) energi transportasi logistik kebutuhan masyarakat.

Kedua hal itu, akan terus menjadi dilema sepanjang barang publiknya tidak digeser dari energi dasar (BBM) ke infrastruktur
transportasi publiknya. Kebutuhan transformatif ini semakin mendesak, karena energi fosil (BBM) merupakan sumberdaya yang semakin menipis disaat pertumbuhan penduduk dunia terus meningkat. Artinya, secara ekonomi harga BBM akan semakin bergerak naik dari waktu ke waktu.

Dilema strategik penganggaran akan terjadi antara biaya untuk persoalan hari ini dengan investasi untuk masa depan. Investasi itu sendiri adalah transaksi hari ini untuk masa depan. Jadi, dilema penganggaran strategik di APBN terjadi di persoalan hari ini apakah akan dihabiskan untuk haei ini, ataukah dialokasikan untuk masa depan. Disinilah, persoalan alokasi BBM bersubsidi di APBN secara bertahap harus dikurangi dan mulai dibagi dengan transaksi investasi infrastruktur publik sebagai pengganti barang publik di masa depan.

Proses strategik harus dimulai dari prinsip piramida subsidi, atau subsidi yang efektif (tepat sasaran). Sehingga, isu pengurangan subsidi dalam bahasa publik yang dikeluarkan pemerintah adalah tidak tepat sasaran, yaitu BBM bersubsidi dinikmati oleh kelompok kaya. Akan tetapi, fakta ekonomi lainnya menunjukan bahwa jika dicabut seluruhnya seketika, maka kekhawatiran politik ekonomi terbesar adalah masyarakat yang terkena dampaknya. Khususnya akibat dari inflatoir harga kebutuhan pokok dan transportasi.

Posisi kerentanan terdampak ke masyarakat dan subsidi tidak tepat sasaran telah menjadi dua instrumen kunci dalam permainan isu antara kubu kontra dan pro pencabutan subsidi di BBM. Dalam game theory, Jika ada dua kekuatan dominan yang saling berebut kepentingan, maka keseimbangan akan tercipta pada saat kedua-belah pihak berbagi keuntungan dan kerugian diantaranya (Nash, 2004). Dengan demikian, manajemen komunikasi pemerintah dan parlemen akan memerlukan akurasi data sebagai dasar kebijakan yang rasional.

Data nilai subsidi BBM di APBN berasal dari komponen harga dan volume. Di sisi harga, faktornya adalah harga minyak dunia, lifting produksi migas dan nilai tukar rupiah atas US Dolar. Dalam posisi neraca migas yang terus menuju tren net importir yang diikuti tren penurunan lifting produksi migas, maka faktor harga minyak dunia dan kurs Rupiah atas US Dolar menjadi faktor penentu. Posisi ini tidak menguntungkan Indonesia, karena saat harga minyak dunia dalam tren menurun dalam 5 tahun terakhir paska kebijakan Quantitative easing (The Fed, 2009), yang pada awalnya diikuti penguatan Rupiah, namun kemudian dalam 3 tahun terakhir posisi nilai tukar rupiah berbalik melemah.

Pada saat pelemahan kurs rupiah yang mendalam di tahun 2013, dalam fase perubahan anggaran (APBN-P 2013) pemerintah mengajukan rencana kenaikan harga BBM sebagai akibat tidak diserapnya kenaikan kurs di pembelian minyak impor dalam rancangan APBN-P. Usulan pemerintahan SBY ini kandas oleh parlemen, yang kemudian memunculkan pengendalian jumlah subsidi adalah dari sisi volume. Dimana, sejak saat itu Pertamina melakukan tender alat RFID untuk pengendalian BBM.

Di akhir bulan Agustus 2014, saat pemerintahan baru telah terpilih, publik dihadapkan kepada realita kelangkaan BBM di stasiun pengisian bahan bakar (SPBU). Posisi ini diakibatkan oleh volume yang dianggarkan dalam APBN-P 2014 sudah menipis, akibat dari pemotongan volume BBM subsidi dari 46 juta kiloliter di APBN 2014 menjadi 40 juta kiloliter di APBN-P 2014. Hal ini dimaksudkan, untuk menyesuaikan pelemahan kurs rupiah yang masih terjadi di tahun 2014.

Presiden terpilih Joko Widodo (jokowi) meminta kepada Presiden SBY untuk menaikkan harga BBM subsidi di masyarakat. Logika yang dikedepankan oleh tim transisi Presiden terpilih adalah jika harga di masyarakat dinaikan, maka harga asumsi subsidi di realisasi APBN-P 2014 akan turun, sehingga volume dapat over budget. Hal ini, secara akuntansi tidak akan menyebabkan nilai total subsidi BBM ikut over budget, sehingga menimbulkan masalah disiplin anggaran.

Inkonsistensi cukup jelas terlihat. Dimana, postur APBN dan APBN-P 2014 telah memilih kesepakatan pemerintah-parlemen, yaitu tidak menyentuh harga sebagai variabel kebijakan subsidi BBM. Sehingga, kesepakatan kebijakan pengendalian nilai subsidi BBM di APBN adalah dari sisi variabel pengendalian volume. Lalu, dengan berkutatnya perdebatan ke harga, maka inkonsistensi pilihat alat pengendalian strategi subsidi BBM di sisi volume diabaikan. Hal ini menjadi kunci utama dari perumusan masalah artikel ini adalah kegagalan fungsi monitoring dan pengendalian subsidi dalam realisasi keuangan negara terkait BBM bersubsidi.

A.1. Disparitas Harga Pemicu Kebocoran Volume BBM Subsidi

Dalam teori ekonomi mikro, (1) jika dua pasar dengan produk yang sama memiliki perbedaan harga, dimana ongkos ekonomi antara kedua pasar masih dibawah selisih harganya, maka produsen di pasar yang lebih mahal akan memiliki kecenderungan mengambil barang dari pasar yang lebih murah untuk dijual di pasarnya; dan atau (2) jika dua produk yang bersifat komplementer (saling menggantikan), dimana selisih harganya besar, maka kecenderungan konsumen akan mengabaikan kualitas. Dalam konteks itu, BBM bersubsidi bisa menciptakan selisih harga dikarenakan adanya besaran subsidi pemerintah di Premium dan Solar. Berarti pemerintah menanggung (1) margin profit dari pasar berbeda; dan atau (2) margin cost di sisi konsumen.

Kedua distorsi ekonomi di atas menunjukan terjadinya inefektifitas subsidi, yaitu resiko bawaan terjadinya kebocoran subsidi bukan oleh yang berhak. Komunikasi publik yang dikedepankan pemerintah lebih banyak faktor ke (2), yaitu margin cost di sisi konsumen, yaitu banyaknya kelompok kaya yang seharusnya membeli BBM tak bersubsidi, tapi membeli BBM bersubsidi. Sedangkan terkait faktor ke (1), yaitu penyelundupan BBM bersubsidi ke pasar berbeda, cenderung menjadi kurang jelas dengan pembiasan konteks komunikasi media yang dilebarkan ke arah mafia migas.

Jika dikalkulasikan menggunakan google (google citation) dalam tiga frasa kontektual terkait “BBM Bersubsidi”, yaitu (1) Penyelundupan BBM; (2) BBM bersubsidi dinikmati orang kaya; (3) mafia migas, maka hasilnya adalah (1) 220.000 citic; (2) 399.000 citic; (3) 536.000 citic. Atas dasar citation contextual analysis secara sederhana menggunakan mesin pencari data google, maka dapat ditemukan jawaban sebab-akibat dari kebijakan Pertamina yang mengurangi pasokan BBM bersubsidi di SPBU sejak Agustus 2014. Karena, dasar asumsinya adalah memaksa orang kaya untuk membeli BBM non subsidi.

Secara transacstion cost economics, memaksa kelompok kaya dengan mengurangi pasokan BBM bersubsidi di SPBU juga telah mengorbankan masyarakat yang memang berhak mendapatkannya, termasuk angkutan umum dan distribusi kebutuhan masyarakat. Sehingga, pilihan strategi ini menyebabkan kondisi yang juga tidak tepat.

Secara deskriptif, pengambilan kebijakan “untuk membasmi tikus di lumbung pad dengan membakar lumbung padinya” seperti yang dilakukan Pertamina dengan membuat BBM bersubsidi menjadi langka adalah panic action. Respon pengendalian strategi yang dilandasi kepanikan, telah menunjukan sebuah fakta penting bahwa Pertamina (dan juga pemerintah) tidak memiliki basis data yang akurat, yang mencegah kelompok tidak berhak mengkonsumsi BBM bersubsidi.

Temuan analisis ini menjadi menarik, karena sejak diputuskan pemerintah dan DPR di bulan Juni 2013 bahwa variabel pengendalian BBM bersubsidi adalah volume pemakainnya. Maka, hal ini sejalan dengan keputusan Pertamina di bulan Maret 2013 yang telah mengumumkan PT INTI sebagai mitra strategis implementor penerapan teknologi Radio Frequency Identification (RFID) di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dan kendaraan (mobil dan motor) untuk diimplementasikan mulai bulan Maret 2014 di pula Jawa dan Bali serta Juli 2014 untuk seluruh Indonesia (Kompas, 25 September 2013).

Artinya, target stratetegik Pertamina dalam implementasi RFID sebagai (1) sumber data untuk pengambilan keputusan (BIG data) yang kemudian akan memberi dampak strategis (BIG impact) kepada (2) pemantauan distribusi BBM bersubsidi serta (3) alat pengendali BBM bersubsidi tidak tercapai pada waktunya.

Dengan demikian, artikel ini mengerucutkan pembahasan analisisnya terkait kegagalan implementasi RFID sebagai alat (teknologi) strategis untuk mengendalikan BBM bersubsidi. Identifikasi kegagalan penerapan RFID dalam pengendalian BBM bersubsidi dibandingkan dengan tujuan idealnya, melahirkan pertanyaan riset tentang penyebabnya, apakah bersifat (1) teknis; dan atau (2) politis.

B. Literature Review

Secara teoritis, RFID sebagai alat Business Intellegence and Analytic (BI&A) yang memberikan manfaat untuk data mining sebagai sumber pengambilan keputusan yang berdampak signifikan bagi kinerja korporasi (Chen et al., 2012).

RFID adalah alat transponder yang mentransmisikan komunikasi data secara otomatis ke pusat data untuk diidentifikasi dan atau diterima sebagai data baru yang disimpan di database (Kelly et al., 2005). Dengan demikian, untuk distribusi dan pengendalian logistik jarak jauh penggunaan RFID adalah bertujuan sebagai investasi untuk mencegah sekaligus memonitor kebocoran keuntungan perusahaan.

Dari sisi terminologi BI&A, maka RFID adalah sebuah inovasi teknologi generasi ke tiga, karena sifatnya telah menggabungkan barcode (tag) dengan menggunakan frekuensi radio, dan berkomunikasi dengan internet secara mobile dalam jarak yang berjauhan antara pusat data dengan lokasi distribusinya, secar interaktif secara real time (Chen, 2002).

Jika dilihat dari sisi perkembangannya BI&A generasi ke tiga masih dalam tahap inovasi yang masih terus berkembang (belum mapan, emerging). Yang merupakan dari peningkatan kebutuhan BIG Data yang memberikan BIG Impact yang tidak terpenuhi di generasi BI&A ke satu dan ke dua. Artinya, idealnya korporasi yang telah menerapkan BI&A generasi ke tiga, telah memiliki pengalaman dan penguatan struktur database management system (BI&A generasi ke satu) dan sudah memasuki tahap implementasi web-based unstructure (BI&A generasi ke dua).

Secara teoritis, lompatan teknologi menerapkan BI&A langsung ke generasi ke tiga, tanpa melalui fase generasi ke satu dan ke dua akan berpotensi mengalami kegagalan implementasi RFID secara teknis. Padahal, meskipun teknologi secara relatif semakin murah, namun semakin kompleks tentu saja akan semakin mahal. Dikarenakan jika implementasi BI&A generasi ke tiga, tanpa dimilikinya BI&A generasi ke satu dan ke dua akan menyebabkan nilai investasi perusahaan akan menyerap ketiga tahapan infrastruktur sekaligus.

Terkait dengan kebutuhan “BIG data to BIG Impact” dari lingkungan kompetisi yang semakin dinamis, menyebabkan secara strategik perusahaan menjadi demanding terhadap belanja investasi BI&A. Dimana, aplikan BI&A menjadi belanja tertinggi dari Chief of Information Technology (CIO) dunia dalam 5 tahun terakhir (Gartner Research, 2007,2008, 2009). Fakta ini menjadi penguat mahalnya belanja BI&A generasi ke tiga yang banyak dilakukan oleh para CIO sebagai target investasinya.

Namun demikian, naiknya minat para CIO untuk berbelanja BI&A masih menjadi pertanyaan dari sisi keberhasilan implementasinya (Ang & Teo, 2000; Lupu et.al, 1997). Dimana, 60-70 persen kegagalan implementasi BI&A diakibatkan oleh: (1) Teknologi; (2) Organisasi; (3) Kultur; (4) isu Infrastruktur (Lupu et.al, 1997).

Ke empat faktor penyebab kegagalan implementasi BI&A tersebut dalam penelitian terdahulu oleh Min dan Kee (2013) terhadap tiga perusahaan konstruksi di Malaysia, dengan menggunakan metode Enterprise Business Intelligence Maturity Model (EB2IM), menemukan bukti empiris bahwa penyebab kegagalan implementasi BI&A adalah belum mapannya objektif kebutuhan dari BI&A itu sendiri. Dengan kata lain, isu terbesar adalah persoalan organisasi (leadership) dan klutur (political will) dalam adaptasi teknologi dan pemahaman kondisi infrastruktur pendukungnya.

Disatu sisi terkait dengan infrastruktur pendukung, relasi nilai tambah internal dan eksternal adalah fungsi RFID sebagai BI&A di sisi “suply chain” (rantai logistik). Sehingga, untuk memahami posisi RFID dalam “suply chain” harus dimulai dari definisi yang jelas dari suply chain itu sendiri. Dimana, menurut Christopher (1998) suply chain adalah jaringan yang terlibat dalam aktivitas organisasi dari hulu (upstream) sampai ke hilir (downstream) yang memiliki aktivitas yang berbeda-beda namun terhubung dalam satu rantai nilai tambah organisasi untuk memuaskan pelanggannya. Hal itu tergambar dalam diagram alur sebagai berikut:

RFID2

C. Analisis Alur Bisnis RFID BBM Bersubsidi

Diagram 2 di atas tentang keterkaitan organisasi dalam “suply chain” mensistematiskan bisnis model dari sisi produk dan arus uang-nya. Model ini relevan untuk digunakan sebagai kerangka analisis dalam memahami kompleksitas penerapan RFID oleh Pertamina (organisasi) terkait dengan pemerintah-DPR (sebagai perumus kebijakan APBN), Kementrian Energi Sumber Daya Mineral (kebijakan operasional BBM bersubsidi) kementrian keuangan (sebagai pembayar realisasi APBN BBM bersubsidi), serta industri hilir SPBU sebagai pemyalur distribusi ke masyarakat.

Dimana, terkait implementasi RFID di Pertamina kompleksitas arus kebijakan, penyelenggaraan dan arus BBM subsidi dan uang beredarnya menjadi unik. Dimana, Kepentingan untuk tidak “over budget” melebihi kuota adalah kepentingan pemerintah, dimana pemerintah sendiri secara pengawasan juga dapat di intervensi oleh DPR. Di sisi lain, pertamina sebagai induk dari perusahaan distribusi BBM bersubsidi (PT Pertamina Retail), juga berhubungan dengan pengusaha SPBU. Sehingga, yang berhubungan langsung dengan konsumen adalah SPBU yang berinteraksi dengan PT Pertamina retail dalam bentuk usaha:

1. COCO (Company Operation Company Owner)
Merupakan SPBU yang di miliki dan di kelola oleh pertamina. Dalam hal ini yaag mengelola dalah PT. Petamina Retail sebagai anak perusahaan. Saat ini sudah banyak tersebat SPBU coco di Indonesia.

2. DODO (Dealer Operation Dealer Owner)
Merupakan SPBU murni milik swasta atau perorangan. Jadi segala hal mengenai manajemen perusahaan di kelola oleh perorangan atau badan usaha.

3. CODO (Company Operation Dealer Owner)
Merupakan SPBU milik swasta atau perorangan yang bekerjasama dengan PT Petamina Retail

Terkait RFID sendiri, Pertamina tidak melakukan investasi sendiri, melainkan menyerahkannya ke perusahaan mitra strategis. Dimana berdasarkan tender, dimenangkan oleh konsorsium PT INTI (Maret 2013).

Jika dianalisa banyak unsur diluar organisasi, yang kemudian terlibat dalam RFID ini yang dari sisi hulu ke hilirnya memiliki arus kepentingan yang tidak sejajar dengan arus uangnya, sebagaimana terpolakan dalam praktik terbaik suply chain. Posisi rantai nilai tambah (suply chain) BBM bersubsidi dapat digambarkan berikut ini:

RFIDYR

Atas dasar observasi berdasarkan data publik, yaitu pernyataan-pernyaataan pejabat publik di media (Januari 2013 – Agustus 2014), ditemukan pola kepentingan dan transaksi inovasi implementasi dalam BBM Subsidi. Jika dilihat dari sisi teknis, terdapat fakta:

1. Meskipun pengendalian volume subsidi BBM adalah kepentingan pemerintah untuk menjaga besaran realisasi APBN dan fungsi pemberian subsidi tepat sasaran kepada yang berhak, pengadaan RFID dibebankan menjadi inisiatif Pertamina sebagai operator pelaksana distribusi BBM subsidi.

2. PT Pertamina menyalurkan BBM Subsidi kepada masyarakat melalui tiga tahapan:
a. Distribusi tier 1, PT Pertamina membuat bisnis model penjualan BBM Subsidi adalah dilakukan anak usahanya (PT Pertamina Retail)
b. Distribusi tier 2, PT Pertamina Retail menyalurkan BBM Subsidi ke SPBU
c. Distribusi tier 3, SPBU menjual BBM subsidi kepada masyarakat

3. Inovasi RFID untuk pengendalian BBM subsidi alatnya dipasang di fungsi tier 3 Distribusi, yaitu di kendaraan masyarakat dan juga nozel di pompa bensin yang terpasang di SPBU

4. Jarak antara pemilik kepentingan pengendalian subsidi (pemerintah) ke masyarakat terdapat 3 rantai distribusi, dan melibatkan 3 organisasi perusahaan berbeda (PT Pertamina, PT Pertamina Retail dan Pengusaha SPBU), sehingga seharusnya secara teori “transaction cost economy” RFID dibayarkan oleh pemilik kepentingan, yaitu pemerintah.

Permasalahan kegagalan RFID sebenarnya secara logis telah menjadi resiko bawaan terkait proses pengadaanya. Dalam beberapa kesempatan, Direksi Pertamina menjajagi pembiayaan oleh pemerintah. Dengan menawarkan model bukan investasi, tapi “outsorcing”, yaitu dilaksanakan oleh perusahaan penyelenggara RFID yang pembayarannya dilakukan dari prosentase tertentu dari harga BBM subsidi.

Usulan Pertamina ini tidak terlalu jelas ditanggapi pemerintah, namun intinya dari Menteri BUMN bahwa pelaksanaan RFID adalah pengadaan yang dilakukan Pertamina kepada pihak ke tiga, yang juga dipimpin konsorsiumnya oleh BUMN lain. Yang akhirnya terpilih PT INTI.

D. Analisa Kegagalan Implementasi RFID

Tanda-tanda kegagalan implementasi RFID tampak dari:

1. Direksi PT Inti mengeluhkan kesulitan pencarian perusahaan untuk mendapat kepercayaan Perbankan dalam membiayai investasi RFID, seperti tersirat dalam pemeberitaan (Kontan, 23 Januari 2014): “Suhartoko, Senior Vice President Fuel Marketing and Distribution Pertamina menyampaikan, situasi yang terjadi saat ini INTI sedang mengalami krisis kepercayaan dari para penyedia pinjaman dari perbankan, sebab mereka tahu INTI sedang mengalami kerugian. Sekarang ini, INTI sedang melakukan proses permintaan penambahan dana ke Pertamina. Kalau dana tak ditambah INTI hanya menyelesaikan proyek RFId di Jakarta saja yang hanya 5 juta unit RFId, padahal tendernya untuk seluruh daerah dengan jumlah 100 juta RFId.”

2. Pertamina menegaskan tidak akan menambah dana sebagai uang muka ke Inti, karena perjanjian sistem terpasang maka pembayaran akan dilakukan dari marjin per liter konsumsi BBM Subsidi (Kompas, 2 April 2014)

3. Atas fakta ke 1 dan 2 di atas, pemerintah, meskipun sebagai pemegang kepentingan pengendalian BBM subsidi menyatakan tidak mau melakukan intervensi terhadap persoalan madeknya implementasi RFID di Pertamina-Inti. Hal ini tercermin dari pernyataan Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan: “Saya engga mau campur tangan di sini, memang mandek. Kalau saya membela Pertamina nanti menyusahkan PT INTI dan begitupun sebaliknya. Pokoknya harus ada jalan keluar,” (JPPN.com, 24 Juli 2014)

Dari tiga hal yang menandai kegagalan implementasi RFID, tampak jelas dikarenakan ketidakjelasan objektif strategik dari RFID, yang diakibatkan oleh “agency theory problem”. Dimana, pihak pemilik kepentingan (pemerintah) tidak memiliki kepemimpinan untuk menyelesaikan masalah pengendalian volume BBM subsidi.

Besarnya investasi RFID yang ditargetkan 100 juta unit kendaraan pun terlalu ambisius. Dimana data Badan Pusat Statistik jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 2013 adalah 104 juta unit. Ini berarti, Pertamina mengiginkan seluruh SPBU dipasang nozel RFID dan seluruh kendaraan di Indonesia juga dipasang tag BBM Subsidi.

Namun, Pertamina pun telah mengalami penyakit menular dari krisis kepemimpinan dari pemerintah, yaitu dengan menyerahkan ke pihak ke tiga untuk berbisnis RFID yang pembayarannya dilakukan setelah implementasi Rp 18 per liter dari marjin keuntungan SPBU. Kalaupun ini terjadi, akan berpotensi munculnya dampak bawaan, yaitu penolakan pengusaha SPBU dikurangi marjin keuntungannya.

Di sisi lain, selain kegagalan struktural kepemimpinan dalam rantai “agency theory” antara pemerintah dan penyelenggara BBM subsidi, juga terdapat permasalahan tata kelola dari kultur kelembagaan terkait suply chain BBM Subsidi. Yaitu, irasionalitas dan ambisiusnya Pertamina ingin menerapkan RFID di seluruh kendaraan.

Jika tujuannya adalah untuk pengendalian BBM subsidi harusnya pemerintah memberikan kebijakan jenis kendaraan yang berhak mendapat subsidi. Jika yang berhak lebih banyak, maka tag dipasang hanya di kendaraan yang tak berhak mendapat BBM subsidi, atau sebaliknya. Sehingga, ada rasionalitas (political will) dari objektif kebijakan itu sendiri.

E. Kesimpulan Dan Riset lanjutan

Kegagalan penerapan BI&A sebagaimana telah ditemukan dalam riset-riset empiris terdahulu, terkonfirmasi terletak di masalah kepemimpinan dan kultur. Secara, analisa deskriptif itu juga yang tampak dari kegagalan implementasi RFID sebagai alat pengendalian BBM Subsidi.

Secara strategik, RFID masih diperlukan untuk pengendalain BBM subsidi dan lebih luas lagi kebutuhan organisasi pemerintah dan Pertamina untuk memiliki BI&A. Sehingga, riset lanjutan untuk mengurai kelemahan implementasi yang sudah berjalan dari sisi “agency theory”, dapat diatasi dengan kepemimpinan pemerintahan yang kuat dengan kultur pengambilan kebijakan yang terfokus ke tujuan pengendalian BBM subsidi itu sendiri.

Sehingga, sebagaimana alur dan riset model dalam diagram 3 di atas, dierlukan penelitian lanjutan tentang unsur Kepemimpinan dan Kultur (Political Will) yang diperlukan untuk meningkatkan peran strategik RFID yang telah dimulai agae dapat berhasil.
Penelitian lanjutan ini dapat menggunakan Enterprise Business Intelligence Maturity Model (Min and Kee, 2013).

Dimana, jika model terdahulu digunakan untuk menguji implementasi BI&A di tiga perusahaan konstruksi di Malaysia (corporate level). Maka, terkait implementasi RFID BBM Subsidi akan lebih luas, dengan melihat ke dalam rantai keterkaitan “agency theory” dalam suply chain BBM Subsidi. Yaitu, Pemerintah, DPR, PT Pertamina, PT inti, dan Asosiasi Pengusaha SPBU.

Uji hipotesis atas akan suksesnya RFID sebagai alat strategik kebijakan dan penyaluran BBM Subsidi jika dipengaruhi variabel kepemimpinan dan kultur tata kelola yang baik, diharapkan akan tercapai dengan menggali masalah dari unsur-unsur mata rantai tersebut secara sendiri-sendiri, maupun kerjasama diantaranya.

-yanuar rizky, rizky@elrizky.net

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.