“Investasi Gaya Baru” dan Efek Beragun Aset

-Yanuar Rizky-
Kompas, 19 April 2003:
Krisis yang melanda Add-Farm, tentu saja mengingatkan kita semua tentang
luka yang belum sembuh benar dari trauma model investasi agro bisnis gaya
Alam Raya. Eforia traumatis tersebut sebenarnya telah dirasakan pula dalam
denyut diskusi beragam mailing list berbahasa Indonesia dalam 6 bulan
terakhir ini. Topik yang diangkat pada saat itu, disamping masalah investasi
gaya alam raya dan add-farm, juga diramaikan oleh diskusi tentang Gold Quest
dan paket e-Investment yang ditawarkan lewat e-mail. Baik itu yang
menanyakan dari aspek legal, skema pengembalian investasi, keamanan
penanaman dana, sampai ke aspek halal dan haramnya penawaran tersebut dari
sudut syariah

Melihat sisi gelap fenomena model investasi gaya baru seperti ini tentunya
sangatlah menarik, apalagi kalau melihatnya hanya dari persepsi kegagalannya
saja dan ramai-ramai bergunjing tentang “kebodohan” investor dan
“perampokan” pengusaha. Namun tampaknya, ada baiknya pula kita menganalisa
fenomena tersebut secara terstruktur, agar kita tidak lelah melihat fenomena
ini sebagai bagian dari berpikir inovatif. Untuk memperbaiki yang salah dan
menguatkan potensi yang ada menjadi lebih terarah, benar dan aman.

Paradigma Fundamentalis

Distorsi eforia gaya investasi model Alam Raya, Add-Farm, Gold Quest dan Pro
Best, kenapa bisa terjadi?. Jawabannya dapat dimulai dari dasar peradaban
manusia modern di tengah arus globalisasi, yang terlampau diwarnai oleh
budaya kapitalisme. Kapitalisme telah mengarah kepada penguatan struktur
modal, yang pada akhirnya terjadilah apa yang dinamakan globalisasi pasar
keuangan, baik itu pasar uang ataupun juga pasar modal.

Pasar uang yang identik dengan kurs, pada awalnya digunakan untuk
intermediasi transaksi sektor riil antar negara. Pasar modal pada awalnya
dibentuk sebagai tempat pertemuan antara sektor riil produktif dengan
pemilik modal. Tapi dengan kapitalisme dan globalisasi kedua instrumen
tersebut telah menjadi sumber pendanaan pula bagi individu-individu. Coba
bayangkan di Amerika Serikat terjadi pertumbuhan 16 kali lipat penanaman
dana masyarakat di reksa dana dalam dasarwarsa tahun 90-an. Artinya apa ?,
secara teoritis harusnya sektor riil pun harus tumbuh usahanya dalam besaran
yang sama.

Instabilitas akan terjadi ketika manusia telah menyandarkan kehidupan
finansialnya kepada instrumen keuangan, disitulah mulai terjadi apa yang
disebut dengan spekulasi lebih dominan dari fundamental, padahal banyak text
book mengajarkan bahwa berdirinya pasar keuangan adalah sebagai sarana
interaksi nilai-nilai fundamentalis. Instabilitas tersebut akan
mengakibatkan permintaan masyarakat akan pergerakan kurs dan saham melebihi
pertumbuhan ekonomi di sektor rill. Akhirnya konteks transaksi keuangan
hanya akan mengarah kepada transaksi M to M (money to money) atau
mendapatkan uang dari uang. Hal tersebut, tentunya untuk kaum muslimin
(mayoritas masayarakat Indonesia), sangat berpotensi melahirkan Riba
sebagaimana yang dilarang dalam prinsip syariah.

Kalau ditelaah kesana, spekulasi yang memang terlepas dari sektor riil-nya,
telah mengakibatkan kurs mata uang (baik itu di pasar uang ataupun
sekuritisasi gaya Pro Best), saham, koin emas (Gold Quest) menjadi komoditi.
Atau dengan kata lain selembar saham, selembar uang dolar, selembar bukti
kepersetaan pro best, selembar kepersetaan gold quest lah komoditi yang kita
beli. Padahal bisnis sertifikasi instrumen keuangan yang resikonya dapat
terukur adalah sebuah proses penciptaan sekuritisasi aset yang dapat
menstimulasi sistem ekonomi bekerja untuk menghindarkan diri dari posisi
ekulibrium pasar yang tidak terkendali.

Capital gain tentu dapat dibenarkan, sepanjang ketika kita membelinya dengan
dengan dasar harapan bahwa sektor riil yang menjadi dasar pencatatan aset
produktif tersebut memang bekerja dari dana kita. Dan kalau suatu saat
berkembang (untung) itu semata-mata karena telah ada pertumbuhan nilai
fundamentalnya di sektor riil, sehingga kita untung karena sektor riil
untung itu mah memang harus diciptakan.

Jadi, kalau dari pandangan fundamentalis ataupun juga syariah, tampaknya
kita mesti mencermati betul kemampuan instrumen keuangan yang akan kita beli
itu memiliki dampak garis lurus dengan manfaat pertumbuhan sektor riiil,
kalau tidak ada lebih baik ditinggalkan, karena akan meninggalkan
keragu-raguan (gharar) dan resiko yang berlebihan (masyir) dari transaksi
yang kita lakukan, yang mengarah kepada kerugian yang tak terkendali (Money
Game – Zero Sum Game).

Paradigma Bisnis

Tentunya, tidak semua pemodal mendasarkan dirinya kepada aspek fundamental
secara total, karena masih ada yang tertarik terhadap perkembangan penanaman
dana yang memberikan keuntungan secara progresif namun aman (tujuan bisnis).
Kalau memang demikian, ada baiknya kita pastikan bahwa instrumen keuangan
tersebut telah di-sekuritisasi di pasar modal yang formal. Artinya, ketika
kita beli Gold Quest dan Pro best idealnya yang kita beli adalah selembar
keikutsertaan (yang dinyatakan dalam bentuk efek) yang tercatat di bursa
yang formal (dalam dataran pasar modal dikenal dengan istilah Efek Beragun
Aset / EBA).

Hal yang sama sebenarnya seharusnya diambil di bisnis Agro seperti alam raya
dan add-farm, harusnya QSAR itu men-sekuritisasi lahan-lahannya (kita
kesampingkan dulu niat menipu Araby, agar kita jernih dalam berparadigma)
dan dicatatkan di bursa, sehingga kasus lahan yang terbatas tapi tidak
pernah membatasi investor yang masuk tidak akan terjadi, karena ada
mekanisme penyebaran distribusi aset lewat mekanisme pasar modal.

Jadi, kalau dari sudut pandang ini rasanya sumber daya alam inilah yang
perlu kita garap secara serius dan benar. Caranya, (1) Pengusaha Agro
melakukan sekuritisasi lahan yang ditawarkan ke investor beserta tingkat
kembalian pesimis (bencana) dan optimis daalam jangka waktu tertentu (Fixed
Income). (2) Sekuritisasi di pasar perdana tersebut, tentunya sangatlah
menarik untuk diperdagangkan di pasar sekunder / bursa, terlebih lagi jika
terjadi proses over-subcribe di pasar perdana.

Mekanisme seperti ini, akan menjamin bekerjanya profesi penunjang yang
menjamin independensi penilaian bekerja, yaitu underwriter yang melakukan
sekuritisasi di pasar perdana dan mekanisme pasar di bursa. Kuncinya adalah
penciptaan struktur pengelolaan resiko dan kepastian hukumnya ada di tangan
pemodal. Sehingga kalaupun ada apa-apa, sepanjang masih dalam struktur pasar
keuangan yang formal, maka tentunya kita masih bisa berharap terdapat sistem
yang bekerja yang menjadi tulang punggung keamanan investasi masyarakat.

Mekanisme Perdagangan. Kalau dari sudut mekanisme perdagangan, banyak pula
bertebaran isu dengan istilah e-Shop, baik itu e-Gold, e-Currency,
e-Investment dan lainnya. Untuk itu, perlu diperhatikan dua aspek, yaitu (1)
apakah penamaan e-Shop hanya jargon untuk pemasaran (kasus arisan berantai
lewat e-mail) atau (2) apakah memang penamaan e-Shop tersebut diikuti oleh
sistem perdagangan on-line. Untuk aspek pertama, tampaknya kita sama-sama
sepakat untuk mengabaikannya untuk diikuti dengan alasan “lebih besar pasak
daripada tiang”. Bagaimana dengan aspek kedua, maka perlu penelaahan lebih
lanjut tentang keberadaan penyelenggaranya dalam struktur global financial
market (Struktur hukum di negara mana pasar tersebut bekerja).

Penelaahan legal bisnis tentang keberadaan e-Shop tersebut, apakah berstatus
broker, dealer (Market Maker / MM) atau bucket shop (pasar sub-ordinasi).
Dimana, untuk broker tentunya dapat dikatakan sebagai transaksi di pasar
ordinasi secara langsung. Sedangkan untuk model MM tentunya sama halnya
dengan transaksi melalui fund-manager. Keamanan transaksi atas hal tersebut,
tentunya harus dikembalikan kepada struktur bisnis model yang dianut oleh
e-Shop. Paling tidak dapat masuk ke dalam logika Transaksi Trade For Trade
antara nasabah dengan penyelenggara e-Shop tersebut.

Sistematika order e-Shop tersebut haruslah dibawa ke real market oleh MM,
untuk selanjutnya mengikuti skema perdagangan dan kliring di pasar ordinasi.
Spread antara ke – 2 pasar tersebut (pasar ordinasi – pasar sub ordinasi)
adalah sweetener untuk MM dalam bentuk arbitrase harga, atau bisa juga
diselesaikan dengan inter-dealer system dengan kata lain transaksi trade for
trade akan diselesaikan di skema bursa efek dan atau bank sentral dengan
jalan crossing antar dealer di akhir hari kliring, tentunya ada motif
arbitrase harga pula. Jadi kalau skema ini masuk, tak perlu khawatir,
setidaknya keuntungan yang dijanjikan tersebut ada sandaran sistem
peyelesaiannya bukan semata-mata sistem yang terlepas.

Bagaimana kalau statusnya hanya bucket shop (remaiser) ?, maka perlu dilihat
aliansi mereka dengan MM ataupun brokernya. Pengaturan globalisasi Financial
Market yang direkomendasikan oleh BIS (Banking For International Settlement)
adalah remaiser harus membuka OA (opening account) di delaer yang mempunyai
akses ke Bank Sentral dengan status legal sebagai remaiser. Artinya, dealer
atau broker hanya mengenal 1 nasabah (yaitu penyelenggara bucket shop
tersebut).

OA tersebut juga mengatur soal risk premium antara dealer dengan
remaisernya. Kalau risk premiumnya 60:40, tentunya resiko mis-match yang
dilakukan oleh bucket shop (yang mengakibatkan bangkrut) masih ada pijakan
legalnya bagi dealer untuk ikut menanggung sebesar 40 %. Tapi, kalau 100:0
tentu itu high risk terhadap resiko mis-match, atau sebenarnya sama saja
kita ngemodalin si bucket shop untuk bisa jadi nasabah di MM tanpa ada
jaminan apapun dari MM-nya sebagai cantolan bahwa transaksi kita akan masuk
ke dalam skema kliring dan penyelesaiannya di struktur pasar formal (dummy
transaction).

Kemungkinan terakhir inilah yang mungkin terjadi dan kalau kita tetap ikut
investasi model begini, ya tentu saja tinggal tunggu nasib berakhir dengan
instabilitas pasar yang berujung kepada penipuan, sebagaimana yang telah
dipraktekan oleh Alam Raya. Jadi intinya bagi pemodal bila terdapat
ketidak-jelasan struktur investasi gaya baru tersebut, lebih baik
memanfaatkan transaksi fisik di Money Changer dengan prinsip DVP (delivery
versus payment) ataupun bermain saham di bursa. Walau bagaimanapun transaksi
saham di bursa masih memiliki sandaran ke sktor riil yang tentu saja berbeda
dengan pola MLM koin emas yang sangat sulit dicarikan relevansinya

Saatnya Berinovasi

Dengan catatan, bahwa kasus Indonesia sebenarnya adalah kasus instabilitas
pasar yang diakibatkan belum terstimulasinya sekuritisasi aset produktif
sebagai sarana penghubung sektor riil dengan pemilik modal. Banyak peluang
bagi pelaku maupun otoritas pasar modal dan perbankan, dalam melakukan
segmentasi pasar serta produk yang dapat menggeser posisi under demand
tersebut, baik itu dari aspek bisnis-bisnis ataupun bisnis-fundamentalis.

Daripada terus berpolemik tentang sekuritisasi modal (saham) yang ilikuid
serta menimbulkan masalah yang tidak pernah selesai. Misalnya saja, kasus
transaksi saham Bank Lippo sebenarnya adalah bukti prinsip let’s market
control itself tidak bekerja. Hal tersebut sebagai akibat melemahnya
industri pasar modal yang kekurangan investor yang bermain, yang secara
alamiah memang memungkinkan telah terkumpulnya saham di pihak-pihak tertentu
saja, yang selanjutnya merusak distribusi penyebaran aset di bursa. Kenapa
itu terjadi?, sederhana saja kepercayaan masyarakat terhadap kontinuitas
industri perbankan melemah di tengah pasar yang melemah, komplit sudah
resiko investasi dari aspek fundamental sektor riil seperti ini.

Kalau dilihat dari sini, akarnya adalah “under demand market” yang mau tidak
mau sudah membawa resiko bawaan timbulnya proses virtualiasi harga saham di
bursa untuk tujuan di luar bursa. Artinya apa? mau apa-pun sisi pandangnya
celah polemik itu selalu ada, tapi apakah polemik ini akan mengobati
penyakit mendasar dari industri pasar modal yang sesungguhnya sudah
kehilangan gairah partisipasi pemodal?

Dengan paradigma yang jernih, kita bandingkan dengan eforia antrian pemodal
di bisnis agro, maka kita akan temukan jawabannya ada potensi pemodal
potensial yang belum tergarap dengan baik di belahan dunia investasi
“kekayaan alam” bumi Indonesia. Bagi hasil fixed income dengan sandaran ke
budaya agraris, tampaknya lebih mudah dipahami oleh instrumen masyarakat
industri negara kita.

Secara sosiologis, kuadran inilah yang harus digarap secara baik sejalan
dengan budaya transisi berpikir masyarakat yang belum memegang penuh
peradaban Industri di tengah mulai terlupakannya akar budaya agraris.
Mungkin, lagu anak-anak yang dulu diajarkan di SD masih meresap benar dalam
logika masyarakat kita, yaitu “Menanam Jagung Di Kebun Kita, 3 Bulan
Hasilnya Kita Nikmati Bersama”

Rasanya, dibutuhkan langkah inovatif dalam menjawab tantangan untuk menarik
lebih banyak pemodal di bursa. Salah satunya adalah mengumpulkan potensi
besar investor yang tergabung di Alam Raya dan Add-Farm untuk diberi
infrastruktur pasar modal yang legal dan terkendali, yaitu produk EBA. Satu
yang pasti, EBA inipun pada dasarnya sangat dibutuhkan sebagai stimulus
sektor riil sumber daya alam yang belum tersentuh.

Jadi, ditunggu pelaku dan otoritas pasar modal merespon fenomena Over-demand
investasi gaya agroindustri dari sudut positif untuk tidak lelah berinovasi.

[Yanuar Rizky, Praktisi Pasar Modal bekerja di salah bursa efek]

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.