Keluar dari Zona “Bandarnomics”: Belajar dari Samsung

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 29 Januari 2014:
Untuk kebutuhan ‘strategic advisory’ yang menjadi profesi saya, persoalan data adalah hal yang utama. Disisi lain, eksplorasi atas data dan persepsi kemudian mengeksploitasinya juga diperlukan untuk membuat otak tetap bekerja, sekaligus menjadi sarana ide baru yang bisa dibicarakan dengan tim manajemen dari kantor kami dalam melihat secara adaptif tentang masa depan (Foresight).

Investasi sering diartikan sempit menjadi sesuatu yang mengarah ke ‘ribawi’, sekedar ‘mencetak uang dari uang’. Padahal, investasi adalah transaksi hari ini untuk masa depan. Kita sering melihat persoalan ‘cerita sukses’ seseorang atau kelompok usaha tertentu, tapi jarang dari kita untuk belajar dengan melakukan ‘urut jejak’ (backtrack) atas Investasi apa yang mereka lakukan di masa lalu.

Lalu, kita terjebak ke persoalan-persoalan teknikal, misal para perencana keuangan yang senang mengatakan orang kaya itu adalah jadi investor. Kemudian, investor dijebakin ke sebatas ‘main saham’, ‘main forex’, ‘reksa dana’, ‘asuransi’, dan seterusnya.

Benar, orang-orang yang diidentikan ‘kaya’ adalah pemegang saham pengendali dari saham-saham di pasar. Lalu, juga tidak salah jika kekayaan mereka diukur dari peningkatan nilai sahamnya. Bahkan, mereka yang sudah ‘globalisasi’ juga terendus menjadi ‘kaya’ karena laba selisih kurs, alias mengelola posisi yang tepat di arus permainan bandar perekonomian global yang dikendalikan dari penguasaan posisi di pasar keuangan (bandarnomics).

John Forbes Nash peraih Nobel Ekonomi tahun 1994 dengan ‘Game Theory’ mengatakan bahwa titik keseimbangan baru hanya akan terjadi jika pemain utama bergerak ke arah baru. Masalahnya, kita (di negara berkembang) terstigma bahwa kondisi makro (global) adalah sesuatu yang mempengaruhi tanpa bisa kita pengaruhi (given factor).

Padahal, strategi itu adalah aksi. Jadi, kalau kita reaktif pada dasarnya bukanlah strategi. Game theory mengatakan jika pemain utama bergerak dan yang lain bereaksi mengikutinya (folower) maka keseimbangan selalu menjadi milik pemain utama (lama). Tapi, jika ada aksi dari pemain utama lain (baru) yang menganggu kenyamanan pemain utama (lama) sehingga keduanya melakukan aksi-aksi, maka itulah saatnya keseimbangan baru yang bukan 4L (Lu Lagi Lu Lagi) akan tercipta.

Jadi, ambilah aksi untuk sebuah investasi masa depan. Aksi sesuatu yang fundamental, bukan sekedar ‘cerita permukaan’ soal hal-hal sentimen terkait teknikal yang diciptakan pemain utama. Secara substansi, jika anda ingin dikatakan investor, maka anda adalah pihak yang mengambil transaksi hari ini untuk berupaya mencari keseimbangan baru aset (fundamental) di masa depan, bukan semata transaksi rugi-laba.

Karena, Investasi adalah transaksi neraca yang akan berdampak ke rugi-laba. Sehingga, kalau kita liat rugi-laba tanpa melihat neraca, itu namanya kita sebatas ‘transaksi hari ini untuk hari ini’. Inilah bedanya terminologi ‘investor-investor’ dengan ‘Enterpreneurs-investor’.

Dalam banyak literatur penelitian (jurnal akademik) strategic management, ditemukan pembeda antara ‘investor’ dengan ‘enterpreneurs’. Inti pembeda ekstrimya, investor didefinisikan sebagai pihak ‘pemodal’ yang tidak terlalu mengetahui bisnisnya secara detil (fundamental) dan hanya peduli kepada tingkat keuntungan dana yang ditempatkannya. Sedangkan, enterpreneurs adalah orang yang mengerti detil bisnisnya dan terlibat didalam pengembangan bisnisnya sekaligus pemodalnya.

Enterpreneurs sendiri dibedakan ke ‘self employee’, ‘owner manager’ dan ‘enterpreuner-investor’. Yang pertama ‘self employee adalah orang yang bekerja dengan dirinya sendiri. Lalu, beranjak ke ekspansi kedua, membangun institusi dimana dia juga menjadi manajemennya (owner manager). Nah, jika ingin berkembang lebih baik, biasanya unit bisnis yang sudah dibangun akan dicerahkan ke manajemen (ahlinya) dan sang enterpreneurs menjadi pemegang saham dari usaha itu. Kalau, kemudian modalnya dibagi (go public dan atau divestasi), maka entrerpreuners-investor akan melekat. Karena, dia investor pengendali yang juga merintis bisnisnya.

Kalau kita bicara konglomerasi di belahan dunia manapun, kita akan menemukan sejarah perusahaan-perusahaan besar itu dimulai dari enterpreneurship, sebagai basis investasinya.

Panjang juga ya intronya :) Nah, dari intro ini, saya ingin sharing moga manfaat tentang ‘samsung’. Kemarin, soal ini, saya bahas dengan beberapa klien kami terkait beberapa sinyal ketidakpastian (teknikal) yang tampak makin nyata di pasar keuangan. Persoalannya, apa yang harus diperbuat? Hedging (lindung nilai) transaksi keuangan, itu normatif dari para advisor di sektor keuangan.

Saya menjalani persaingan bisnis advisor dengan latar belakang ‘learning by doing’ sebagai pengawas di bursa, sehingga yang saya lakukan lebih ke ‘arus pasar keuangan’ bukan semata ‘pasar’ dalam arti forecast (prediksi), saya biasa bekerja untuk membangun alerting di masa depan (foresight).

Karena, hari ini itu alert atas transaksi di masa lalu, saya terbiasa bekerja ‘bac track’. Itu juga yang dibangun dalam sistem operasi dan basis data di perusahaan yang kami bangun dalam 3 tahun ini (BIG: BeJana Investidata Globalindo).

Berawal dari kebutuhan advisory yang akan dilakukan, saya melihat fenomena saat ini pernah terjadi di masa lalu. Ya, saat krisis asia 1997-1998. Ada beberapa hal yang berulang, baik dari pola pasar keuangan global (stock repeat on itself) maupun dari pasar isu di era gombalisasi ini (history repeat on itself).

Singkatnya, tahun 1994-1996 negara-negara asia kemasukan ‘dana-dana global’ disertai isu gombalisasi (globalisasi) bahwa rating negara-negara asia ‘luar biasa’. Lalu, tahun 1997-1998 semua itu seketika berbalik arah melalui ‘pemburukan nilai tukar’.

Saya masih ingat betul, saat itu saya baru masuk bursa, jadi saat krisis itu saya ‘anak baru kecemplung’ yang melihat pasar yang indah dalam kuliah saya di tahun 1992-1996 tak seindah ‘text book’. Pertanyaan saya ketika itu kok bisa ‘balik arah cepat’ padahal baru saja semua analis (asing, lembaga rating, mainstream) bilang Indonesia adalah ‘new wave’ asia bersama Korsel, dengan segala rating kinclongnya.

Saat itu 1998, saya ingat betul pemburukan (pembalikan arah) terjadi di pasar yang menjadi “alsani” (alasan sana sini) dari pemain utama di pasar keuangan global adalah kondisi politik tang memburuk. Hal yang sama saya tanyakan ke pihak bursa Korsel saat kami makan siang di Seoul tahun 2000 (dalam perjalanan dinas saya dari kantor ketika itu), ternyata jawabannya sama “politik yang jadi alasan”.

Bukan bermaksud menakut-nakuti, tapi bagaimanapun ini menjadi alert yang terasa saat ini. Negara-negara berkembang yang terkena “sentimen negatif” di tahun 1997-1998 masih menyisakan persoalan yang sama saat ini (2012-2013), yaitu dipuja-puja secara ekonomi tapi stok isu “letupan gejolak politik domestiknya” juga sama terbukanya.

Terlebih, Thailand yang tahun 1997-1998 juga menjadi pemicu awal krisis di Asia saat ini juga menunjukan gejolak politik yang sama. Demikian juga, berita terkait Argentina yang sudah diberitakan mengalami “sinyal krisis”.

Ingatan saya soal Indonesia hari ini (2012-2013) adalah hampir-hampir seperti posisi Korsel di saat 1996-1997. Dimana, saat itu Korsel adalah negara demokrasi dengan “fenomena kelas menengah baru yang bertumbuh”, tapi isu yang berkembang adalah Korupsi seputar kekuasaan.

Saat itu Presiden Korsel Kim Young-sam yang mengantikan Roh Tae Woo di tahun 1993, dimana dia memenangkan kursi Presiden sebagai tokoh oposisi dengan “isu korupsi”. Sepanjang pemerintahan Kim isu “anti korupsi” menjadi “hot isu”, sampai puncaknya Presiden sebelumnya Roh Tae Woo dan pendahulunya Chun Doo-hwan diputus Korup di pengadilan Korsel tahun 1996.

Impaknya, setelah itu “hiruk pikuk” saling serang dan sandera juga melanda Korsel. Sampai badai krisis asia (moneter) melanda dengan isu “politik panas” menyebabkan banyak perusahaan besar Korsel ikut berguguran. Dimana, konglomerasi juga ikut terkena dampak dari relasi “politik-bisnis” masa lalu. Diawali KIA Motor, krisis terus merontokan Korsel merambat dengan cepat.

Kalau dilihat-lihat situasi Indonesia yang di tahun 1997-1998 didera isu negara “otoriter”, melalui Reformasi saat ini (2014) telah menjelma menjadi negara demokratis yang mengalami tren pemerintahan dengan “isu anti korupsi”, juga saling sandera serta seperti juga pernah dialami Korsel.

Kalau dilihat saat ini (2014) Korsel telah menjelma menjadi negara yang lebih maju. Jadi, terkadang saya berpikir Indonesia harus melalui satu tahapan lagi, yaitu “pergerakan kelas menengah” seperti yang telah terjadi di Korsel dalam menyelesaikan kemelut “isu politik” disaat kelas menengah nya telah bertumbuh.

Berawal dari asumsi itu, saya lalu berpikir Industrialis yang berhasil melalui masa-masa transisi demokrasi di Korsel itu siapa? Maka, jawabannya adalah “samsung”. Dari sisi market share, saat ini (2014) samsung menguasai pasar “gadget” yang jadi tren masyarakat di era ini. Bukan hanya itu, Samsung juga menjadi “rajanya elektronik” saat ini.

Kalau dibaca, apa keunggulan samsung, banyak ulasan strategic management menuliskan “terus berubah” dan “inovasi”.

Lalu, saya menelusurinya, tapi prestasi pasar saat ini tentu dari Investasi di masa lalu, kapankah? Dan, saya menemukan jawabannya itu terjadi di bulan Juni 1993, yang dikenal di samsung sebagai “Frankfurt Declaration”. Deklarasi ini semacam “new deal” antara pemilik, manajemen dan karyawan samsung.

Saya mencari bahan bacaan soal suasana saat Frankfurt Declaration, dan menemukan saat itu dalam pertemuan antara pemilik (pemegang saham pengendali) Samsung dengan seluruh manajemennya, Lee Byung-Chull (pengendali) menyatakan kekecewaannya setelah membaca laporan dari advisor-nya.

Dimana, advisor asal Jepang yang dia tunjuk mengatakan bahwa hasil evaluasi seluruh proses manajemen produk di Samsung tidak inovatif, masih mengerjakan hal yang sama dengan era Bapak-nya Lee Byung-Chull (dia menggantikan Bapak-nya yang meninggal tahun 1987).

Kata Lee Byung-Chull saat itu (juni 1993) memarahi semua manajemennya “kamu semua ngak punya kuping, buktinya kamu tidak mendengarkan”. Lalu, Chull mengatakan saat inis emua harus berubah, sehingga kesepakatan dalam Frankfurt Declaration spiritnya seperti dia utarakan kemudian di depan seluruh karyawan Samsung seperti diutarakannya dalam wawancara di Business Week februari 1994 “I am telling them to change everything except how they treat their families,”

Lee Byung-Chull mengatakan kepada manajemennya bahwa dengan melihat karyawannya saja kita sudah tahu zaman sedang berubah, mereka adalah kelas menengah baru yang konsumtif, tapi juga selektif. Selektif itu artinya mereka punya talenta (ide) atas produk yang ingin dikonsumsi. Dia bilang juga “era won dan buruh murah” akan berakhir.

Dia bilang konsumsi harus dengan pendapatan yang sejajar, dan untuk itu talenta (inovasi, perubahan dinamis) harus diserap dari kelas menengah itu juga. Bagi saya, ini pelajaran luar biasa, saat situasi teknikal dan penuh isu seorang tidak perlu banyak mengeluh. Saat, pelemahan ekonomi (makro) mulai tampak, maka pemenang di masa depan adalah yang melakukan investasi fundamental di masa itu. Buahnya tidak instan, tapi ya terjadi.

Saya utarakan ini ke manajemen usaha saya, memang usaha kami tidak sebesar samsung, tapi tak ada salahnya berpikir besar. Saya katakan ini kuncinya “saatnya kita berinvestasi hal-hal fundamental”… Sebuah inspirasi yang semoga saja banyak dilakukan oleh para industrialis di Indonesia. Kalau itu yang terjadi, maka kita akan merasakan manfaatnya 10-15 tahun yang akan datang, meski melalui masa-masa “industri politik” yang hiruk pikuk seperti saat ini.. semoga saja Allah Rido untuk generasi Indonesia yang lebih baik…Aamiin

– yanuar Rizky, Warga negara Indonesia, enterpreneurs yang cari kehidupan di Indonesia, dan terus optimis Indonesia akan lebih baik lagi :)

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.