Komoditas dan Perang Moneter

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 26 November 2013:
Selepas subuh, fesbuk saya di tag oleh Bung Carlos yang membuat status tentang Venezuela yang mengambil SWAP emas nya dengan US Dolar ke Goldman Sach. Tentu, ini cukup mengagetkan bagi banyak kalangan, karena selama ini Venezuela dibawah almarhum Chavez selalu mengambil posisi ‘menyerang Amerika Serikat’ dan melepas ketergantungan terhadap US Dolar.

Saya sudah memberikan komen di status tersebut, tapi ini menarik juga untuk diangkat dalam tulisan ringan tapi menggambarkan polanya. Yaitu, kenapa US Dolar yang dikabarkan bangkrut saat krisis finansial 2008, di hari ini justru mengambil kendali. Bahkan, Venezuela sebagai salah satu negara yang banyak ‘meledek’ saat itu, di saat ini menunjukan sinyal membutuhkan US Dolar sampai melakukan pinjam-pakai (SWAP) dengan cadangan emasnya.

Begini ceritanya, paska perang dunia ke 2 ada kesepakatan bahwa Bank Sentral yang mempunyai rasio emas dalam cadangan devisa nya dianggap sebagai ‘safe currency’. Itulah kenapa, USD kemudian merajai dan jadi mata uang perdagangan dunia.

Nah, saat terjadi bailout untuk menangani krisis finansial tahun 2008 di bursa new York, maka terjadilah perubahan rasio ini di cadangan devisa The Fed. Dimana, kertas-kertas (surat berharga) dari aset-aset yang jadi underlying bailout memenuhi keranjang devisa The Fed.

Dalam posisi inilah, Cina mengambil inisiatif ‘serangan moneter’ di G-20 yang didukung Rusia, yaitu mengkalkulasi ulang rasio emas dalam devisa inti (Domestik Bersih). Ujungnya, jelas Yuan ingin mengambil alih bendera USD sebagai mata uang dunia. Yang terjadi, sampai hari ini agenda ini tak pernah didukung oleh negara lain, termasuk Indonesia yang juga anggota G-20. Jadi, strategi AS adalah ‘buying time’.

Apa yang terjadi dalam periode buying time, inilah kemudian The Fed mengeluarkan kebijakan Quantitative Easing (QE). Yaitu, menurunkan bunga (Fed rate) sekaligus menebarkan uang-uang USD sebagai dana pancingan bandar ke pasar keuangan negara lain, khususnya emerging market.

Jadi, dana-dana pancingan QE (hot money) dengan tipikal masuk untuk keluar dengan jumlah lebih besar melakukan strategi awal berupa konsolidasi pembandaran. Karena, mengatur harga dari sang bandar tak akan pernah bisa dilakukan jika tidak menguasai tiga hal, (1) uang beredar;(2) barangnya yang jadi sarana masuknya uang beredar itu sendiri; dan (3) isu-isu di seputar uang dan barang beredar itu sendiri.

Jadi, uang pancingan QE ini dipakai memborong surat-surat berharga di negara berkembang (emerging market). Sehingga, kalau bicara hari ini kenapa kurs Rupiah loyo dan tersandera oleh pola QE The Fed yang udah balik arah (menyerap dana pancingannya), itu karena barang beredar (terbesar di Indonesia di SUN) dikuasai mereka. Jadi, barang dikuasai (floating) maka anda akan kuasai pengaturan harga.

Soal itu sudah sering saya bahas, itu terkena di negara yang ‘penurut’. Bagaimana dengan negara yang melawan? Seperti Cina, yang meminta valuasi ulang rasio emas. Inilah yang saya maksud faktor ke (3) menguasai isu, jadi isu bergeser ke spekulasi banyak bank Sentral negara lain untuk ‘memborong emas’ karena ucapan terbuka Cina (didukung Rusia) soal valuasi ulang. Tapi, disini juga masalahnya ‘pasar isu’ dikuasai wall street sehingga buying time juga bisa dilakukan oleh pemerintah AS di meja perundingan.

Dalam posisi ini, penting diketahui dana pancingan QE Fed kemudian tidak hanya masuk ke negara berkembang, tapi juga ke bursa komoditas. Dimana, bursa komoditas yang harganya jadi acuan dunia didominasi oleh bursa komoditas di AS sendiri.

Perhatikan, grafik ini:
IMG_00000101_edit

Disana jelas, bahwa dana QE, khususnya QE1 yang berbentuh cash (banjir likuiditas USD dari operasi Fed) juga berkorelasi kuat dengan naiknya harga emas dan minyak di bursa komoditas. Ketika, QE2 yang sudah operation twist posisinya mulai turun. Apalagi, saat QE3 yang sinyalnya sudah ‘kering suplai cash’.. rontoklah harga emas dan minyak.

Artinya, sama dengan Rupiah, emas dan komoditas yang persepsi nya naik justru tambah digas harga naik oleh duit QE. Itulah kenapa kemarin saat periode QE1 kita terlena, krn rupiahnya dikuatin dan komoditas yg jadi andalan ekspor juga dikuatkan. Nah, sekarang uang yang kuatkan itu semua di tangan sang bandar dibalik, lemah keduanya. Negara seperti Indonesia, impor langsung jadi mahal dan ekspor jatuh…

Gimana Venezuela, mereka yang yakin karena punya devisa emas yang besar, saat ini dihadapkan kebutuhan cash ‘international trade’ yang pakai USD mahal sementara emas yang dipunya murah. Itulah, Venezuela abis staminanya :)

Yang belum keliatan habis staminanya adalah Cina. Karena, mereka juga pegang USD dengan dominan memegang surat utang pemerintah AS yang jadi devisa lain diluar emas yang dipunya The Fed. Inilah fenomena Cina, politik dua wajah. Berbeda dengan Venezuela, yang mengambil ‘head to head’, Cina sampai saat ini menerapkan apa yang dikatakan para tetuanya “kalahkan musuhmu dengan energi terbesarnya”. Indonesia apa dong strateginya?

-yanuar Rizky, analis

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.