Kontrak Model Windows atau Linux, Mana Yang Dipilih IMF dan Pemerintah ?

-Yanuar Rizky-
Bisnis Indonesia, 10 Agustus 2002:
Windows dan Linux sibuk berperang sebagai OS (operating system) yang paling diminati. Para praktisi telematika (telekomunikasi dan informatika) menggambarkan bahwa peperangan tersebut adalah antara teknologi kapitalis dengan teknologi. open source. Windows dan Bill Gates menjadi sebuah prototipe kapitalisme teknologi, dimana setiap kreatifitas yang dihasilkan adalah sebuah nilai kompetitif produk yang bernilai. Sedangkan Linux dan Linus Torvalds menjadi sebuah simbol perlawanan bahwa sebuah bahan dasar dan temuan formula adalah milik bersama, dimana dokumentasi para programer (source code) telah termasuk dalam paket yang dibeli oleh pelanggan.

Bahasa pemasaran yang dilakukan oleh Microsoft adalah user friendly, dengan pendekatan bahwa yang diberikan adalah produk siap pakai yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan (push factor strategy). Sedangkan Linux memasarkan dengan pendekatan bahwa yang dibeli adalah bahan dasar yang dapat dioptimalkan oleh pelanggan tanpa harus membayar biaya up-date sepanjang pelanggan mampu memahami source code yang telah diberikan (pull factor strategy), bahkan sesama pemakai Linux mengembangkan sebuah metode komunikasi di Internet tentang beragam source code baru. Ujung dari strategi Microsoft adalah kapitalisme yang memang akan memperkaya Bill Gates, sedangkan Linux telah membentuk kebersamaan yang berujung menciptakan kepintaran secara kolektif dengan kekayaan yang relatif lebih merata. Microsoft memilih untuk bermain secara monopolis di industri hulu, sehingga apapun aplikasi yang berkembang di sektor hilir tidak dapat melepaskan diri dari Windows. Sedangkan Linux membiarkan industri hulu secara terbuka, bebas, murah dan dapat dimanfaatkan oleh siapa pun juga yang berakibat munculnya kreatifitas yang lebih beragam di industri hilir dengan teori yang paling inovatif tentunya akan menjadi pemenang pencipta aplikasi terbaik di sektor hilir.

Apa yang terjadi dengan perekonomian Indonesia yang bahkan sampai soal tata-cara penjualan aset dan privatisasi harus selalu mendapat persetujuan dari “developer” (maksudnya IMF) yang “telah membeli” paket pemulihan ekonomi Indonesia. Penulis memakai “ “ dalam melakukan proses deskripsi kontrak model Linux antara pemerintah dengan IMF semata-mata menunjukan paradigma open source bukan dalam arti benar-benar sebuah konsep dan prinsip open source secara fundamentalis sebagaimana cita-cita Linus Torvalds. Kalau kita lihat komunitas antara “pembeli” aplikasi dengan “pemilik” akhirnya tidak mengarah kepada sebuah model komunitas yang mutual benefit, namun telah berujung kepada arah kapitalisme.

Kalau kita kaitkan dengan pendekatan politik – ekonomi, maka kita akan berada dalam dua titik kutub yang saling mewakili, yaitu bahwa Windows adalah cerminan dari konsep otoriter sedangkan Linux adalah cerminan dari demokrasi. Pada suatu kesempatan Mahatir Muhamad pernah mengutarakan bahwa yang dibutuhkan oleh negara berkembang adalah seorang otoriter yang bijaksana bukan demokrasi. Kebijakan Mr. M ini kemudian dikenal dengan istilah “go to hell IMF”, sementara Indonesia melakukan transaksi dengan pembeli “kreatif” yang namanya IMF dengan paket produk yang dibeli adalah bahan dasar pemulihan ekonomi dengan model transaksi “open source” yang dibayar melalui kucuran hutang luar negeri untuk menopang ketahanan APBN sebagai fungsi stimulasi pemulihan ekonomi.

Kalau sekarang dilihat, ternyata (mungkin) konsep Mr. M jauh lebih mampu mengeluarkan Malaysia dari krisis ekonomi dibandingkan dengan Indonesia yang memilih “sang developer” yang dianggap mampu melakukan otak-atik yang berdaya guna dari setiap “source code” yang diberikan oleh pemerintah Indonesia. Kalaupun dipikirkan, mungkin ada benarnya pendapat Mr. M tentang otoriter yang bijaksana dengan benang merah bahwa keotoriteran tersebut haruslah dilakukan oleh sebuah program visioner yang dengan bijak diterapkan untuk kemaslahatan bangsa. Kemudian apakah salah proses reformasi yang dilakukan oleh bangsa Indonesia yang merubah konsepsi pemerintah yang otoriter menjadi pemerintah yang demokratis ?, jawabannya tentu saja tidak !. Namun, argumentasi yang mewakili (mungkin) adalah sebuah fenomena transisi paradigma bangsa Indonesia berada dalam tingkatan yang curam yang diikuti oleh proses demoralisasi prilaku kolektif. Hal tersebut tercermin dari jawaban setiap elemen bangsa relatif seragam untuk mengecam orde baru dengan seluruh atributnya, namun komitmen arah reformasi belum sama-sama ditemukan formatnya dan modelnya untuk dijadikan acuan komitmen bangsa secara bersama, yang ada hanyalah “ceceran demokrasi” pikiran-pikiran kreatif yang tidak pernah diintegrasikan menjadi dokumentasi pengembangan “aplikasi” pemulihan ekonomi secara terintegrasi.

Mari kita berilustrasi lagi tentang menggunakan perseteruaan Windows dan Linux untuk menggambarkan kondisi transisi di Indonesia. Kalau kita telaah kesenjangan pengetahuan masyarakat Indonesia masih jauh di bawah garis. Memang benar open source yang terbaik dari sudut pengembangan pengetahuan SDM dan pasar model baru secara berkelanjutan, namun kenyataannya pendekatan pendidikan kita tentang logika berpikir saja (sebagai mainstream pemahaman tentang komputer) masih jauh api dari arang. Kalaupun kita saling menyalahkan, juga tidak ada gunanya, yang paling berguna adalah melakukan sebuah proses produksi teknologi yang dapat menggeser kesenjangan pengetahuan dan teknologi secara bersama. Artinya, kalau dari teori demand dan supply bahwa Windows masih disenangi dari Linux banyak diakibatkan oleh karena demand pengguna teknologi terbesar yang ada adalah Bangsa yang bukan terlahir sebagai tukang “otak-atik” logika. Jadi wajar kalau harga keseimbangan pasarnya adalah kapitalisme atau setiap kreasi ada harganya.

Microsoft mengajarkan bahwa untuk negara berkembang strategi yang diterapkan Windows sangatlah efektif untuk digunakan sebagai sebuah produk otoriter, namun bijaksana untuk menggeser pemahaman dari masyarakat buta teknologi menjadi masyarakat melek teknologi. Artinya, otoriter yang bijaksana pada dasarnya hanya akan bertahan dalam sebuah kurun waktu yang sangat pendek, karena di saat masyarakat telah bergeser kepandaiannya tentang teknologi maka tuntutan akan open source akan meningkat. Sekarang bagaimana caranya menggeser titik ekuilibrium tersebut, maka yang harus dilakukan oleh pakar-pakar telematika yang dimiliki Bangsa ini harus diberikan ruang yang cukup untuk melakukan proses penularan kepada masyarakat secara berkelanjutan, sehingga pergeseran supply open source dapat dilakukan dengan cepat. (catatan: menurut survey Bank Dunia dari skala 7 Highly-skilled IT Job Market yang ada Indonesia menurut survey Bank Dunia tahun 2000 berada pada posisi indeks 4,7 sama dengan indeks regional di Asia Pasifik).

Kalau kita analogikan dengan fenomena Windows lawan Linux di atas, mungkin transaksi pemerintah dengan IMF telah salah dari awal. Namun apa daya, waktu tidak pernah dapat berjalan mundur, menyesali dan saling menyalahkan satu sama lainnya pun tidak ada manfaatnya bagi kehidupan generasi yang akan datang yang lebih cerah. Mengingat kondisi transisi yang curam, mungkin yang perlu dilakukan adalah re-posisi strategi pemulihan ekonomi yang “dijual” pemerintah. Pertama melakukan transaksi “open source”dengan seluruh komponen Bangsa dari beragam komunitas dan melakukan proses komunikasi yang efektif di antara sesama “developer” bangsa Indonesia, yang nota bene adalah bangsa sendiri yang perlu diberdayakan seluruh potensi pengetahuaan dan kemampuaanya secara proporsional, untuk menghasilkan produk kesepakatan model pemulihan ekonomi Indonesia. Selanjutnya langkah kedua adalah mendayagunakan paket model pemulihan ekonomi yang telah disepakati, dengan melakukan transaksi gaya “Windows” kepada pihak luar, baik itu investor asing ataupun juga lembaga donor. Kalaupun jawabannya bahwa posisi tawar pemerintah tidak sekuat Bill Gates dalam menjual produk Windows, maka jawabannya adalah saatnya kita memiliki pemerintah yang memiliki kemampuan pemasaran yang di atas rata-rata dalam melakukan proses negosiasi, dan itu koordinatnya ada di kuadran sosial – politik.

Kalau pertanyaannya apakah kita memerlukan seorang otoriter yang bijaksana, rasanya jawabannya pun tidak persis sama, karena sejarah reformasi mengajarkan bahwa otoriter yang bijaksana hanya akan menghasilkan sistem yang tergantung pada figur seseorang yang akhirnya melahirkan seorang diktator atau paling tidak seperti apa yang ditunjukan oleh Bill Gates tentang kapitalisme. Jadi yang dibutuhkan (mungkin) adalah sistem yang menghasilkan seorang demokrat yang bijaksana. Marilah kita melakukan tindakan koreksi dengan memadukan model Linux dan Windows, yaitu melakukan transaksi yang membalik kondisi saat ini, yaitu pembeli harus memberikan paket pemulihan yang sekelas “Windows” yang “user friendly” dan “plug and play” untuk dikombinasikan dalam paket pemulihan ekonomi Indonesia yang dihasilkan secara mandiri dengan paket “open source”. Semoga saja TAP MPR tentang pemulihan ekonomi nasional, yang tengah disiapkan untuk ST 2002, dilandasi oleh “Pakai Windows siapa takut, Pakai Linux memang biangnya !.”

-yanuar rizky, pengamat pasar modal, karyawan bursa efek jakarta, pendapat pribadi

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.