Kurs Rupiah dan Hutang Luar Negeri Swasta

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 6 December 2013:
Seorang pejabat negara mengirimkan sms kepada saya, intinya keheranannya kepada leading isu dari banyak media soal Rupiah dan Hutang Luar Negeri Swasta. Menurutnya, swasta berhutang dengan mekanisme ‘perbankan’ bukan ‘obligasi’. 

Bedanya, kalau obligasi jatuh tempo tentu kebutuhan ‘cash’ untuk bayar utang akan naik, tapi kalau kredit investasi di perbankan sangat mungkin bisa di roll-over (dijadwal ulang) dengan mekanisme renegosiasi bunga. Sepanjang bunga dibayar, bisa roll over.

Artinya, kebutuhan USD untuk pembayaran utang luar neger swasta tak sebesar pokoknya, karena ada roll over, maka kebutuhan USD di sisi ini hanya di bayar bunganya saja. 

Saya memahami yang ingin disampaikan oleh beliaunya adalah mengurangi tensi ‘over perception’ di masyarakat, yang terus memburu USD karena isunya kebutuhan swasta yang seluas samudera sebenarnya hanya seluas pantai. Hanya saja, kalau ada ‘roll over’ maka ombaknya akan semakin tinggi.

Lalu, saya menanggapi beliau, pertama benar tidak terjadi besaran kebutuhan USD sebesar nilai pokoknya dan kedua bahwa ombak yang membesar itulah yang menghantam Rupiah dari volatilitas (naik-turun-naik-turun berulang) lebih tinggi dan lebih sering.

Argumentasinya begini, terdapat dana USD murah banjir di pasar keuangan global akibat kebijakan bunga rendah USD disertai pengaliran dana (pancingan) melalui Quantitative Easing 1 di bulan Maret 2009 – 2010. QE sendiri dialiri di pasar surat utang (obligasi, debt market) oleh The Fed dengan pelaku pasar Amerika Serikat, juga diikuti Eropa (ECB) dan Jepang (BOJ).

Kemudian, di masa-masa itu banyak masuk ke Indonesia di SUN (yang ini sudah dibahas dalam tulisan saya sebelumnya). Dan, yang bullish juga adalah bursa saham kita (Bursa Efek Indonesia). Jadi, jika ingin bicara swasta korporasi, maka saluran masuknya dana terindikasi melalui eforia di bursa.

Pada saat itu, semarak pencarian dana oleh korporasi melalui mekanisme ‘right issue’. Yaitu, perusahaan yang sudah tercatat di bursa menambah modalnya dengan menerbitkan saham baru. Jadi, kalau perusahaan yang belum go public mau cari dana di bursa caranya IPO, tapi kalau yang sudah tercatat caranya Rigt Issue. Yang lebih besar (agresif) saat itu adalah right. Jadi, pemain lama yang sudah punya hubungan juga dengan dana global. Dimana, saat itu dana global banjir dari QE1.

Kepada pejabat negara yang berdiskusi dengan saya ini, dari pola di atas tampak ada pertumbuhan hutang di sisi pasiva korporasi (swasta) yang tercatat di bursa. Ini yang dipahami beliaunya sebagai kredit investasi perbankan. Lalu, saya katakan kepada beliaunya, tapi dilihat juga hutangnya naik tapi ekuitasnya juga naik dari hasil right.

Saya katakan kepada beliaunya pendapat saya soal pola hutang luar negeri swasta bahwa mekanismenya dari right, saham yang diambil pengendali dari right dijadikan underlying untuk mengambil hutang ke bank investasi. Karena, dana QE datangnya dari debt market. 

Jadi, tidak sesederhana juga melihat tidak ada corporate bond, karena hutang ke bank investasi pun dananya dari QE dan underlyingnya bukan dari debt market tapi equity market. 

Jadi, kayak main bilyar bola pantul, tidak langsung ke debt market, tapi dari bola equity market kena ke bola debt market. Nah, yang terjadi sekarang, benar seperti dikatakan beliaunya tidak ada dana jatuh tempo yang besar serta arus keluar yang besar. 

Yang terjadi adalah underlyingnya (SUN dan Saham) tidak kemana-mana, hanya saja diputar-putar sehingga mengakibatkan ombak (volatilitas) di pasar uang Rupiah – USD jadi meninggi dan sering. Sehingga, harga (pricing) nya Rupiah terpuruk terus karena volatilitas bukan isu likuiditas. 

Tapi, gimanapun isu likuiditas soal waktu juga kalau terus terjadi pembiaran. Disitulah negara harus berperan, mencegah tsunami bukan setelah tsunaminya terjadi, betul apa betul?

-yanuar Rizky, analis

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.