Melawan Monopoli Telkom Dengan Strategi Ekonomi Kerakyatan

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 11 Juni 2001: Beberapa hari terakhir media masa dihebohkan oleh upaya class action yang dilakukan oleh beberapa LSM atas diberlakukannya tarif telepon baru oleh pemerintah, dalam hal ini pendapatan jasa telepon PT Telkomunikasi Indonesia, Tbk. Ironis memang di tengah dunia dihebohkan oleh perkembangan teknologi internet, masyarakat Indonesia dilingkari oleh sebuah hambatan struktural untuk memasuki dunia maya tersebut. Kenapa demikian ?, fakta yang disajikan di harian Kompas pada rubrik mahalnya akses ke internet (lipsus 5 Juni 2001), menunjukan bahwa 42 % akses internet dilakukan dari Warnet, 41 % dari kantor dan hanya 12 % dari rumah, dari populasi 2 juta orang Indonesia yang telah mengenal internet (artinya hanya sekitar 1 % saja dari 200 Juta penduduk).

Analogi data tersebut di atas, maka kondisi saat ini hanya sekitar 0,12 % masyarakat rumahan di Indonesia yang dapat dikatakan dapat memperoleh hak untuk menyaksikan perubahan neo ekonomi. Disinilah masalahnya, tampaknya kenaikan tarif telkom yang menurut versi pemerintah rata-rata 21,67 % (bahkan menurut pengamat telekomunikasi bisa mencapai 2.700 %), telah menimbulkan hambatan bagi masyarakat untuk memasuki dunia maya. Betapa tidak, mungkin angka absolut 0,12 % pun akan berkurang di masa depan sebagai akibat mahalnya pulsa telepon, atau dengan kata lain tidak ada upaya nyata dari pemerintah dan juga PT Telkomunikasi Indonesia, Tbk untuk memperluas akses masyarakat ke internet. Ada 2 faktor yang menarik untuk dicermati, yaitu pertama masalah infrastruktur masayarakat atas kepemilikan teknologi itu sendiri dan kedua adalah peran strategis PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk sebagai perusahaan publik yang telah melakukan dual listing di BEJ dan NYSE.

Aliansi RT-RW Membentuk Kepemilikan Teknologi Masyarakat

Prosentase terbesar akses internet dari Warnet dan Kantor telah menunjukan adanya kesempatan untuk memasuki dunia maya secara lebih murah. Pertanyaannya bagaimana masyarakat rumah tangga dapat memanfaatkannya tanpa harus meninggalkan rumah, misalnya seorang Ibu yang masih memiliki bayi tentu tidak mudah meninggalkan rumah untuk berwarnet-ria atau pelajar SMA yang dikenakan jam malam oleh Orang Tua-nya tentu tidak akan leluasa untuk pergi ke Warnet di malam hari padahal ada keperluan mendesak untuk mendownload situs tertentu yang terkait dengan pekerjaan rumah dari sekolah. Selama ini masayarakat rumah tangga memanfaatkan akses ke internet dengan menggunakan modem dengan jalur telepon. Tentu persoalannya adalah biaya mahal untuk berinternet telah menjadi hambatan utama bagi masyarakat rumahan untuk dapat berinternet disamping harga komputer yang tidak murah di saat fluktuasi kurs rupiah atas dolar. Kalau diasumsikan menggunakan Telkom Net Instant saja yang telah menyatukan biaya internet dan berlangganan ISP, maka kondisi saat ini untuk berinternet mengeluarkan biaya Rp. 9.000 / jam, maka setelah kenaikan versi pemerintah 21,67 % saja akan menjadi Rp. 10.950,3. (apalagi kalau asumsi pengamat 2.700 % menjadi Rp. 252.000).

Tentu kita berpikir, bagaimana masyarakat dapat menerima jalur silaturahmi yang murah lewat rumah tangga tanpa dibebani oleh biaya tinggi, padahal menurut Onno W. Purbo pola silaturahmi adalah kunci sukses berbisinis di Internet (Kompas 5 Juni 2001). Untuk menjawab hal tersebut, mungkin perlu kita kedepankan konsep ekonomi kerakyatan untuk mencermati konsep neo ekonomi atau yang dikenal internet age. Konkritnya adalah sebuah upaya membangun Aliansi Jaringan Antar Rumah (AJAR) atau singkatnya akses internet dari rumah tetangga dapat didistribusi atau dibagi ke rumah kita ataupun tetangga-tetangga yang lain dalam lingkungan RT – RW perumahan tempat kita bermukim. Dalam bahasa Inggris terminologi AJAR dikenal dengan istilah Home Phone Networking Alliance (HPNA)

Secara tehnis, AJAR dibangun di satu rumah dengan investasi berupa server dan leased line akses internet ke PSTN. Akses tersebut kemudian dengan menggunan LAN Card disebar dengan jalan menarik kabel dengan bantuan titik-titik koneksi Hub per RT (satu Rukun Tetangga disumsikan dapat menggunakan satu perangkat hub). Singkat kata adalah membangun jaringan internet dengan konsep LAN sebagaimana telah diterapkan oleh kantor-kantor dipindahkan ke rumah-rumah. Manfaatnya adalah ada biaya tertentu, yaitu akses internet yang ditanggung oleh satu entitas yang kemudian dibagi-bagi kepada pengguna lain dengan ketentuan akses internet tidak tergantung pulsa atau jam pemanfaatan ISP, alias 24 jam sehari 7 hari seminggu dengan biaya tetap. Konsep yang satu wacana dengan AJAR, telah dicoba oleh penyelenggara ISP Bogor Net dengan menggunakan HPNA (S3 card), dengan biaya yang dikenakan kepada pelanggan per rumah adalah sebesar Rp. 100.000 untuk akses internet tanpa mengenal waktu. Artinya dari kasus Bonet di salah satu perumahan di Bogor kita dapat kalkulasikan bahwa biaya akses internet pada saat ini adalah Rp. 136,99 / Jam (fantastis dan ini namanya masyarakat telah memiliki hak komunikasi internet secara kompetitif lebih murah 98,48 % dibandingkan tergantung kepada jalur telepon / Telkom Net Instant).

Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat

Bisa dibayangkan ketika infrastruktur AJAR telah diterapkan di suatu lingkungan RT – RW, maka selanjutnya yang berkembang adalah wacana e-Commerce di lingkungan sekitar berbasis intranet. Intranet adalah komunitas web yang diakses oleh pengguna komputer dalam satu area LAN. Tentunya dengan mengembangkan web di Intranet, misalnya forum warga melalui situs intranet atau silaturahmi e-mail (chatting) dapat menjadi wadah informasi lingkungan sekitar, rapat RT-RW atau hanya sekedar tempat Ibu-ibu bertukar resep tanpa harus keluar rumah dan buang – buang pulsa telepon hanya untuk ngerumpi dengan tetangga sebelah.

Disamping itu, konsep e-Commerce yang dapat berkembang selanjutnya adalah sebuah portal management di intranet yang dikelola oleh warga yang mengoperasikan AJAR. Portal tersebut akan memberikan ruang sejumlah 5 MB misalnya untuk per rumah tangga untuk membuat informasi tentang keluarganya ataupun bisnis rumah-tangganya. Mari kita berilustrasi, Ibu Bangun biasanya menjual kain batik sutra door to door, dengan adanya situs intranet http//keluarga_bangun (alamat ini adalah alamat hayalan di intranet yang dibangun di Kompleks Permata), maka Ibu bangun dapat menampilkan jualan batiknya dalam bentuk foto-foto yang dilengkapi oleh tempat warga kompleks memesan barang tersebut. Respon pesanan tersebut diterima dalam database komputer keluarga_bangun, selanjutnya Nyai pembantu Bu Bangun mengantarkan order pesanan warga ke rumahnya dan uang pun diterima. Ilustrasi tersebut menunjukan bahwa paradigma e-Commerce beranjak dari sebuah nilai silaturahmi yang sederhana, yaitu kepercayaan terbentuk karena alasan saling mengenal antara pembeli dan penjual (pembeli dan penjual memiliki hubungan kultural ketetanggaan).

Ilustrasi di atas, merubah paradigma akses internet dari masyarakat yang biasanya pertama untuk ber-email ria dengan para kolega di seluruh dunia (dengan AJAR, administrator bisa diatur alamat per kelompok keluarga, misalnya bangun@keluarga_bangun.permata.net untuk sang ayah dan ajeng@keluarga_bangun.permata.net untuk sang anak), kedua melihat informasi dan edukasi (karena aksesnya per rumah tangga tentunya administrator AJAR akan memberikan password hanya kepada Orang Tua untuk akses ke Situs Internet yang terlarang bagi anak-anak). Bagaimana dengan situs internet yang menawarkan e-Commerce, biasanya masyarakat belum terlalu percaya untuk bertransaksi secara aman. Akan tetapi dengan strategi pergeseran paradigma yang dimulai dari situs intranet, maka paradigma tersebut akan berubah kepada kebiasaan masyarakat kompleks permata berinteraksi supply and demand lewat dunia maya.

Inti dari kepercayaan, secara sederhana di atas ditunjukan adalah masalah paradigma tentang metode komunikasi itu sendiri. Jadi CA atau PKI sebagai perangkat otentifikasi ataupun kerumitan model usaha e-Commerce akan jadi percuma kalau internet trading habit tidak timbul di masyarakat. Persoalannya saat ini adalah konsep neo ekonomi telah disadur secara gelap mata oleh masyarakat dunia usaha Indonesia yang ber-e-Commerce ria, karena sehebat apapaun supply jika demand kepercayaan dari masyarakat tidak timbul, maka titik ekuilibrium pasar maya tidak terbentuk. Satu asumsi yang dilupakan oleh pengusaha e-Commerce kita adalah di negara maju akses internet bebas akses tanpa menggunakan kabel telepon telah terdapat dalam infrastruktur rumah tangga, misalnya di Amerika setiap apartemen atau rumah pasti memiliki dua titik koneksi, yaitu telpon dan internet.

Pertanyaan berikutnya, kalau infrastruktur telekomunikasi di Amerika bisa membangun titik koneksi internet yang bebas pulsa, kenapa pemerintah Indonesia tidak bisa ?. Untuk menjawab ini, mungkin kita perlu secara bersama-sama ingat kembali bahwa dalam melihat neo ekonomi kita jangan melupakan konsep ekonomi kerakyatan. Ilustrasi pembangunan AJAR di kompleks permata di atas menunjukan telah timbulnya pemberdayaan masyarakat, dimana masyarakat telah membangun sendiri secara swadaya di RT – RW untuk saweran membiayai operasional AJAR tanpa tergantung dengan program pemerintah (misalnya dengan membentuk Koperasi Warga). Selanjutnya masyarakat itu pulalah yang merasakannya melalui paradigma e-Commerce media intranet yang dibangun. Paradigma e-Commerce yang telah meresap dalam masyarakat kompleks permata akan melahirkan kebiasaan ber-e-Commerce, selanjutnya adalah jaringan intranet kompleks permata dirubah ke internet dengan alamat hayalan http://www.kompleks-permata.net, atau ilustrasi intranet keluarga bangun di atas akan go to internet pula dengan alamat hayalan http://keluarga-bangun.kompleks-permata.net. Hal tersebut sekaligus menjawab kesulitan penetrasi pasar pengusaha e-Commerce Indonesia, sebagaimana yang dilustrasikan oleh Lipsus Kompas 5 Juni 2001, yang pada intinya adalah tidak dilakukannya upaya pergeseran paradigma masyarakat oleh konsep neo ekonomi yang disadur oleh pengusaha atau pun juga regulator dot com di Indonesia.

Selanjutnya mari kita lanjutkan hayalan tentang wacana AJAR di kompleks permata, jika selanjutnya warga kompleks lainnya meniru, maka yang akan terjadi adalah terjadinya bahwa neo ekonomi di internet dapat berinteraksi satu dan lainnya, dengan alasan bahwa masyarakat merasa turut memiliki perekonomian baru tersebut. Sehingga sangatlah mudah kemudian, untuk industri keuangan menggerakan perekonomian baru tersebut secara lebih baik, misalnya koneksi perbankan untuk penyelesaian dana transaksi tersebut. Bahkan ada wacana agak nakal dari pergeseran paradigma ini, bisa saja masyarakat melupakan telepon mahal oleh Telkom dengan dapat dilakukannya telepon melalui jaringan internet (VOIP: Voice Over Internet Protocol).

Selanjutnya terdapat masalah, siapa yang akan menjadi pelopor AJAR di kompleks perumahan ?. Untuk menjawab hal ini ada prinsip dasar ekonomi kerakyatan yang menjawab konglomerasi menjadi sebuah kemitraan antara masyarakat dengan industri kecil, menengah maupun besar. Wacana tindakannya adalah begini, industri besar atau menengah dapat saja menjadi pelopor infrastruktur AJAR, kemudian menyertakan masyarakat (bisa saja koperasi RW atau individual) sebagai penyedia tempat dan penyelenggara jasa tersebut di lingkungan tersebut, dengan skema pendapatan bagi hasil (mirip konsep wara laba).

Bagaimana dengan masyarakat kompleks yang tidak punya komputer ?, ada dua solusi diberikan jasa leasing dari industri penyedia infrastruktur atau entitas tempat tersebut ditambah jasa Warnet. Warnet tersebut tentunya disamping buat warga yang tidak mau memiliki komputer di rumah, juga diperuntukan untuk masyarakat umum di luar kompleks. Dapat kita bayangkan, betapa secara tidak sadar industri perumahan telah tumbuh melalui masyarakat itu sendiri dengan menggabungkan konsep warung (baik itu Warnet atau Warung Portal Warga / e-Commerce), dengan konsep jaringan bersama. Mungkin pola pemberdayaan masyarakat ini dapat kita namakan WAJAR dot NET (Warung Aliansi Jaringan Antar Rumah berbasis interNET). Inilah jawaban dari dunia maya di Indonesia yang selama ini menelan konsep neo ekonomi dengan prinsip konglomerasi, akan digugurkan oleh prinsip ekonomi kerakyatan yang membangun kemitraan dengan inisistif masyarakat bersama-sama industri kecil dan menengah. Kalau itu terwujud ?, betapa sejahteranya seluruh masyarakat Indonesia di era neo ekonomi.

Peran Strategis Perusahaan Publik

Ilustrasi wacana WAJAR dot NET yang telah diuraikan secara sederhana untuk menggambarkan kepemilikan masyarakat atas sumber ekonomi. Pertanyaannya kenapa tidak ada upaya nyata dari pemerintah untuk merealisasikannya melalui perusahaan publik yang mayoritasnya dimiliki oleh pemerintah ?. Secara analisa substansi dikaitkan dengan hasil RUPS PT Telekomunikasi Indonesia (TLKM), Tbk. ayat 5 huruf A butir 1 dan 2 menyatakan adanya perubahan anggaran dasar perseroaan, dimana pada intinya perseroan dapat merencanakan, membangun, menyediakan, mengembangkan, mengoperasikan, memasarkan / menjual / menyewakan dan memelihara jaringan dan jasa telekomunikasi dan informatika dalam arti yang seluas-luasnya sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Tampaknya hal tersebut merupakan alasan dari pemerintah (mantan Menhubtel Agum Gumelar), bahwa kenaikan tarif telpon adalah untuk kepentingan investasi membangun jaringan telekomunikasi.

Masalahnya sebagai perusahaan kelas dunia, sah-sah saja TLKM melakukan ekspansi bisnis sesuai dengan tuntutan jaman dan peluang yang diberikan oleh paradigma neo ekonomi, akan tetapi apakah benar tindakan perseroan membebani investasi tersebut dengan menaikan tarif pulsa telepon sebagai sumber pendapatan perseroan ?. Jawabanya sederhana saja, monopoli telah mengiring manajemen TLKM terbiasa bermain tentang penentuan tarif secara tidak kompetitif. Mengapa demikian, seharusnya sebagai perusahaan yang juga telah listing di bursa dunia NYSE, perseroan mulai sadar bahwa pesaing di mata publik dunia adalah seberapa kompetitif tarif dibandingkan penyelenggara jasa sejenis di dunia. Sebagai pemegang penuh monopoli, tampaknya TLKM dapat menunjukan pada Investor dunia bahwa pendapatan perseroan tumbuh, padahal jika dikritisi pendapatan tersebut meningkat bukan oleh kompetitif jasa layanan, akan tetapi lebih diakibatkan tarif berarapapun yang dinaikkan tidak ada industri sejenis yang dapat melakukan jasa tersebut sebagai akibat hambatan geografis perundang-undangan yang memberikan hak monopoli bagi perseroan. Sebagai gambaran indeks resistance to change perubahan monopoli jasa telekomunikasi ini adalah adanya gugatan pencurian pulsa kepada penyelenggara VOIP independen.
Analisa sederhana yang lebih mendasarkan kepada pemikiran asumsi subtansi di atas menunjukan bahwa tampaknya TLKM telah menjalankan misi untuk menjadi pemain neo ekonomi dari mulai jaringan infrastruktur maupun jasa e-Commerce (jadi tampaknya bukan semata-mata untuk membangun jaringan telepon di daerah yang belum terakses telepon).

Monopoli tampaknya telah disalahartikan, padahal monopoli diberikan kepada usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak, dimana masyarakat luas hanya akan mendapatkan manfaat dari ekspansi jasa bisnis yang dilakukan oleh TLKM secara tidak langsung, yaitu melalui deviden yang diperoleh pemerintah dan juga pendapatan pajak pertambahan nilai dari jasa telekomunikasi dan pajak penghasilan perseroan. Manfaat langsung hanya akan diperoleh oleh masyarakat yang turut memiliki saham TLKM dari deviden yang diterima. Padahal ilustrasi sederhana konsep WAJAR dot NET di atas telah menunjukan sebuah proses kemitraan dan rasa kepemilikan sumber ekonomi jauh lebih efektif dan dapat dimanfaatkan masyarakat secara langsung.

Tampaknya paradigma keserakahan telah menghantui manajemen TLKM untuk melakukan konglomerasi tanpa mau berbagi dengan pemain baru atau bahkan beraliansi strategis dengan pengusaha kecil. Peningkatan kemakmuran pemegang saham memang merupakan salah satu tujuan dari perusahaan publik, akan tetapi proyeksi investasi yang akan mendatangkan peningkatan pendapatan perseroan di masa datang apakah harus ditempuh dengan upaya meningkatkan tarif telepon. Untuk menjawab hal ini, jawabannya kembali sederhana saja jika kita lihat Ayat 5 huruf B butir 6 hasil RUPS TLKM menunjukan persetujuan pemegang saham bahwa untuk merealisasikan model bisnis yang disepakati dalam Ayat 5 huruf a sampai dengan h ditempuh upaya model investasi / divestasi tidak boleh melebihi 10 % dari pendapatan perseroan atau jumlah lain sesuai peraturan pasar modal yang berlaku pada saat dilakukan.

Artinya, pendongkrakan pendapatan dengan memanfaatkan monopoli tarif pulsa telepon dapat dianggap secara substansi untuk menutupi investasi bisnis baru yang tidak akan melebihi hasil kesepakatan RUPS. Sedangkan untuk penerbitan saham baru tampaknya pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas tidak ingin terdilusi, bagaimana esensi pemegang saham publik lainnya ? Sebagai perusahaan publik, tentunya manajemen TLKM harus mulai berpikir 2 aspek, yaitu perlindungan konsumen dan perlindungan investor pasar modal, kenapa sebagai perusahaan publik “plat merah” TLKM tidak memberikan contoh kemitraan dan keterbukaan rencana usaha perseroan di masa depan ?. (refleksi tulisan ini adalah: Besar harapan setelah wacana WAJAR dot NET dikemukakan ada gerakan koperasi lingkungan perumahan yang akan menjadi anak asuh TLKM dalam mewujudkan masyarakat telematika indonesia).

-yanuar Rizky

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.