Menjawab Tantangan Masa Depan BEJ Dengan Wacana Demutualisasi

-Yanuar Rizky-
Jakarta, 18 Mei 2001:
Bahaya terbesar jika pesimisme yang terlalu besar diterapkan dalam pengelolaan defisit anggaran adalah terjadinya pemangkasan biaya tanpa melihat ke nilai tambah organisasi secara menyeluruh. Kalau kata saya yang diperlukan saat ini oleh BEJ adalah sebuah upaya Cost Reduction Program (CRP), bukan semata-mata cost eficiency. Kalau paradigma kita semua ke CRP dikaitkan dengan demutualisasi, saya kira inilah saatnya bagi BEJ untuk mengubah cara pengelolaan keuangan dari dasar anggaran ke dasar siklus bisnis. Kenapa saya melihat hal ini ?, karena kalau kata saya mengapa kita tidak kreatif untuk mengerakkan pendapatan, dan saat ini yang saya lihat gerakannya baru pada dataran semata-mata melihat biaya. Milesstone yang mengemuka pada saat ini, menurut saya adalah pentingnya BEJ menyiapkan diri menuju era mutual.

Dengan dasar prinsip Organisasi yang ditawarkan kepada paket Direksi dan juga karyawan secara keseluruhan adalah bukan tawaran pahit, tapi dirubah menjadi sebuah tantangan untuk dapat melakukan masa transisi di era mutual di BEJ. Meminjam istilah Amien Rais “Tidak ada Cek Kosong Dalam Politik”, saya kira begitu pulalah yang harus diterapkan di dunia bisnis, artinya kedepankanlah tantangan untuk mencapai sesuatu sebagai unsur motivasi, karena kalau cerita pahit, saya takut BEJ ini akan hancur bukan karena kerusakan ekonomi tapi lebih diakibatkan oleh yang tersisa adalah orang-orang yang siap menelan pil pahit (motivasi dibentuk dengan asumsi BEJ sebagai “The End Of Last Resource”).

Kalau dikatakan restrukturisasi yang kita bawa pulang kenapa tidak lebih fundamental restrukturisasi organisasi misalnya, dan juga didukung oleh restrukturisasi pasar. Saya melihat kita punya peluang, memang benar kalau dikatakan bahwa negeri ini sudah tidak menarik, akan tetapi menjelang AFTA tahun 2003 ada sebuah persaingan bisnis yang banyak dirancang oleh pelaku bisnis. Mari kita lihat sebenarnya apa sih yang akan dituju oleh SGX, kita tahu bahwa Singapura adalah negara dengan perekonomian yang stabil tapi mereka tidak punya investor based yang cukup besar (jumlah penduduk domestik yang kecil) dan juga jumlah perusahaan lokal tidak terlalu besar (kebanyakan adalah perusahaan afiliasi).

Menurut analisa saya, didukung oleh analogi berpikir revenue driven dari bandara udara Changi, dimana mereka menerapkan biaya transit pesawat yang termurah di kawasan Asia Pasifik, yang berakibat seluruh armada pesawat memilih Changi sebagai tempat transit, singkat kata mereka telah berpikir tidak dapat industri hulu ataupun juga hilir setidaknya mendapat berkat dari intermediasi antara hulu ke hilir (switching revenue driven). Nah, kalau kata saya yang sedang dibentuk oleh SGX dengan demutualisasinya adalah menciptakan unit usaha yang dapat berperan sebagai switching services sebagai pendapatan tambahan disamping transaction fee. Kita tentu kenal reksa dana atau fund management, intinya adalah mempunyai varian pendapatan yang beragam dan variatif untuk menjadi revenue driven dari cross selling atau sederhananya kalau investasi A memperoleh keuntungan kecil dapat ditutupi oleh investasi B, sehingga secara korporasi tetap selamat.

Kita lihat kasus Singapura, kalau kata saya mereka lagi membangun infrastruktur yang dapat mereka gerakkan di era AFTA (2003), dimana secara IT ada perjanjian pemimpin Asean (yang juga ditanda-tangani oleh Gus Dur), yang diinisiatif oleh Singapura, namanya e-Asean Framework Agreement yang berlaku per 2003. Jiwa dari persetujuan itu dikenalkan adanya platform protokol Information and Communications Technology (ICT), nah ICT ini akan jadi ada bisnis protokol switching. Hal tersebutlah yang tampaknya dibangun saat ini oleh anak perusahaan SGX (ITS: IT Services). Kalau dilihat dari cross border yang diikuti oleh cross trading, dimana investor Indonesia bisa beli saham Singapura gitu juga sebaliknya dengan adanya ICT itu, maka harus ada yang jadi global custody untuk proses penyelesaian dan itulah yang dirintis anak perusahaan lainnya (The Central Depository (Pte) Ltd (CDP)).

CDP adalah berfungsi seperti KSEI dan KPEI. Jelas sekali kalau menurut saya ITS dan CDP dibangun untuk menjawab bahwa di era AFTA, pendapatan jasa switching sudah dapat diperoleh dengan telah siapnya CDP dan ITS melayani kebutuhan pasar dari investor yang ingin mengelola investasi secara cross selling (rugi di BEJ untung di SGX atau KLSE atau apalah) dan sebagai institusi meskipun katakanlah anak perusahaan SGX yang bertindak sebagai Bursa Efek tidak menarik bagi investor diharapkan dapat ditutupi oleh jasa switching.

Nah, kalau kita kembalikan ke peluang bisnis, maka banyak pelaku di dunia (khususnya IT Company Amerika) yang ingin melakukan persaingan jasa ini. Artinya kompetitor IT Company yang punya share di ITS Singapura tentunya tengah mencari negara lain yang dapat dijadikan ladang bisnis serupa di ASEAN (selanjutnya Kompetitor tersebut saya ilustrasikan Company X). Persoalannya apakah kita hanya akan jadi penonton di 2003, kalau kata saya kenapa tidak ditawarkan konsep convertible bond atau perolehan stock option oleh BEJ kepada Company X, konkritnya begini:
1. Convertible Bond, BEJ menjalankan seluruh rencana pengembangan remote ataupun protokol ICT (+ASP tentunya), dengan jalan BEJ dapat dana (bisa fresh money ataupun infrastruktur) dari Company X, dengan ketentuan pembayaran akan dilakukan pada saat demutualisasi dapat terealisir yaitu jumlah tersebut menjadi kepemilikan saham company x sejumlah y % di BEJ setelah adanya demutualisasi. Wacana ini telah banyak berkembang ditawarkan oleh pelaku pasar modal, cuman masalahnya apakah hanya soal investasi remote, kalau kata saya wacananya harus diarahkan satu pakaet dengan ICT di situlah letak menariknya convertible bond BEJ.
2. Memberikan tawaran kepada Company X untuk mendirikan ITS, dengan ketentuan BEJ punya hak beli pada saat setelah demutualisasi seharga Y rupiah (yang ditetapkan pada saat ini) di tahun setelah BEJ mendapatkan dana dari publik hasil demutualisasi.

Tentunya ide ini tidak mudah, tapi kalau kata saya sih ada tantangan disini semua orang ingin jadi pemain di 2003, tidak ada salahnya kita mulai berpikir bisnis intermediasi dari saat ini, dengan skema bisnis BEJ menjual Brand dan Kepastian Hukum dan Company X akan menanamkan modal kerja untuk ekspetasi menjadi pemain di 2003. Saya rasa yang paling berat dari ide saya ini adalah komitmen dari semua pelaku pasar modal dalam melihat peluang ke depan (AB, SRO dan Bapepam), ini penting karena KSEI kalau kata saya akan berpotensi sebagai revenue driven sebagaimana yang dirintis oleh CDP di SGX. Terus BES juga kalau kata saya kenapa tidak dijadikan ATS untuk pasar syariah, sebagaimana LFX (Labuan Financial Exchange) di KLSE (Kuala Lumpur). KLSE mengadopsi wacana ATS di Amerika tapi yang dibuat adalah pasar syaraiah, dimana saham tercatat di KLSE dapat Re-Listing dengan ketentuan Syariah di LFX (Data Mc Kinsey yang pernah saya baca peluang Komunitas Syariah yang belum tersentuh di Indonesia adalah 80 % dari GDP) . Artinya revenue driven semuanya diakomodir agar terjadi keselamatan korporasi secara menyeluruh.

Akhirnya, semoga ide ini dapat jadi teman tidur dengan bunga mimpi “Negara ini tetap menarik bagi Bangsanya”.

-yanuar Rizky, sebuah catatan kecil karyawan BEJ

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.