Meraba Master Plan Industri Telekomunikasi

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 13 Juni 2001:
Kenaikan tarif telepon yang menurut versi pemerintah rata-rata sebesar 21,67 % telah mendapatkan respon yang cukup keras dari masyarakat, bahkan salah satu pengamat menilai KepMen tentang tarif tersebut memiliki hidden agenda yang dapat mengakibatkan kenaikan tarif sampai 2.796,7 %. Memang akibat gonjang-ganjing tersebut kenaikan tersebut akan ditinjau ulang, akan tetapi yang menarik untuk dicermati adalah masalah subtansi dari visi telekomunikasi dan informatika (Telematika) yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, bukan masalah formalitas kenaikan tarif tersebut.

Telaah Kritis Hasil RUPS Telkom

Alasan pertama yang mungkin dapat dikatakan sebuah visi, diungkapakan oleh mantan Menhubtel Agum Gumelar, adalah kenaikan tersebut sangat mendesak untuk membiayai investasi pembuatan jaringan telepon di daerah yang belum terjangkau. Jika kita cermati secara sederhana dikaitkan dengan hasil RUPS PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk tanggal 10 Mei 2001 di Jakarta, maka dapat menimbulkan pertanyaan sederhana tentang besaran nilai investasi yang akan dikeluarkan ?, padahal ayat 3 huruf A butir b hasil RUPS tersebut menyatakan bahwa laba persih perseroan tahun buku 2000 sebesar 60 % digunakan untuk kepentingan investasi atau Rp. 1.523.406.296.275,-, yang mengiring kita kepada pertanyaan lanjutan sebenarnya investasi apa yang akan dilakukan sampai dana alokasi tersebut terasa belum cukup ?. Untuk menjawab hal tersebut secara sederhana terdapat sebuah benang merah bahwa hidden agenda telah dimulai dari keinginan monopoli industri telematika sebagaimana tersirat dalam ayat 5 huruf A hasil RUPS perseroan tentang perubahan anggaran dasar, yang pada intinya menyiratkan adanya model bisnis baru dari Telkom, yaitu merencanakan, membangun, menyediakan, mengembangkan, mengoperasikan, memasarkan/menjual/menyewakan dan memelihara jaringan dan jasa telekomunikasi dan informatika dalam arti yang seluas-luasnya dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Analisa fakta sederhana di atas menunjukan sebuah arti secara sederhana bahwa Telkom berniat untuk menguasai hulu sampai ke hilir industri Telematika, atau dengan kata lain di suatu waktu nanti Telkom bukan hanya pemain jaringan telpon saja tapi sudah masuk ke bisnis jaringan dan jasa e-Commerce / e-Co (singkatnya butuh koneksi B2B e-Co datanglah ke Telkom, mau B2C e-Co juga Telkom sediakan model bisnisnya dan tidak lupa bisnis inti telepon tetap digenggam). Salahkah konglemerasi tersebut ?, tentu tidak sepanjang dilakukan secara kompetitif lewat mekanisme persaingan yang sehat. Masalahnya apakah dapat dibenarkan untuk membiayai peluang masa depan di era neo ekonomi tersebut harus dibebankan kepada masyarakat dalam bentuk kenaikan tarif telkom. Pemerintah dapat saja berkata bahwa masalah telekomunikasi adalah sesuatu yang vital dan menguasai hajat hidup orang banyak untuk itu perlu dikuasai oleh negara (UUD ‘ 45 pasal 33), akan tetapi bukankah Telkom saat ini perusahaan terbuka (go Publik) yang sudah melakukan dual listing di BEJ dan NYSE yang menuntut sebuah gerakan yang kompetitif dalam memenangkan pasar. Pemerintah tetap saja berkelit sebagai pemegang saham mayoritas sebesar 66,19 % tentunya memiliki hak suara pengubah kebijakan strategis Telkom dengan kata mutiara “untuk kepentingan masyarakat”.

Logika tarif harusnya adalah sebuah mekanisme Kompetitif pricing, dimana perhitungannya adalah biaya operasional jasa ditambah marjin keuntungan. Efisiensi biaya akan mengiring perseroan yang kompetitif dapat leluasa untuk memperoleh marjin keuntungan tanpa memberatkan pelanggan. Perusahaan yang kompetitif akan menghindarkan penaikkan tarif yang dapat berakibat melemahkan nilai preposisi produk di masyarakat. Akan tetapi, apa daya masyarakat ?, karena untuk lari ke produk lain yang lebih murah tidak ada penyelenggara telpon lain selain Telkom. Perseroan yakin betul posisi monopoli merupakan senjata tajam yang sangat mudah dibandingkan membawa investor baru yang menuntut adanya perencanaan yang matang sebelum investasi ditanamkan. Jika ditinjau dari sudut pandang tarif yang akhirnya terakumulasi menjadi pendapatan perseroan, maka kenaikan yang terkesan “dipaksakan” untuk memagari hasil RUPS perseroan ayat 5, yaitu menempuh salah satu dari dua upaya, yaitu pertama ayat 5 huruf B butir 6.a yang menyiratkan bahwa tindakan-tindakan investasi untuk mendukung kesepakatan konglomerasi jaringan dan jasa telematika tidak boleh melebihi 10 % dari pendapatan perseroan atau kedua tidak melebihi 20 % dari ekuitas perseroan, dengan kondisi alternatif jumlah lain sesuai dengan peraturan pasar modal yang berlaku pada saat transaksi dilakukan.

Pertanyaan selanjutnya, kalau memang konglomerasi telematika tersebut menjanjikan mendatangkan keuntungan perseroan yang pada akhirnya meningkatkan penerimaan deviden pemerintah di masa depan, kenapa tidak ditempuh upaya strategic investor atau memperbesar kepemilikan publik ?. Jawabannya mungkin sederhana, pertama perseroan sendiri mungkin belum mengetahui benar bisnis telematika yang akan dibangun hanya pada intinya peluang tersebut harus tetap di tangan perseroan (padahal investor baru selalu menuntut proyeksi tersebut sebagai komplemen dari kinerja historis perseroan), kedua pemegang saham saat ini tidak ingin terjadi dilusi atau dengan kata lain pemerintah belum menginginkan melepas saham di Telkom di saat ini dengan ekspektasi di masa depan setelah investasi selesai tentunya harga jual saham menjadi tinggi.

Alasan tersebut sah-sah saja, apalagi kalau dikatakan bahwa masyarakat secara jangka panjang akan memperoleh manfaat dari deviden ataupun dana penjualan saham pada kondisi terbaik, cuman masalahnya adalah apakah benar masyarakat dapat memperoleh manfaat langsung di masa depan ?, sementara untuk menanggulangi kenaikan tarif saat ini saja sudah kesulitan. Dari sudut pandang teori Investasi kondisi tersebut sangatlah tidak masuk akal, dimana dana penyertaan investasi (dalam bentuk kenaikan tarif) dialokasikan secara langsung, akan tetapi pelanggan tidak akan memperoleh isentif langsung di masa depan dari alokasi dana tersebut. Bukankah sebaiknya investasi dibiayai melalui bentuk penyertaan saham sehingga manfaat langsung dapat dirasakan dalam bentuk deviden. Tampaknya skema akal-akalan ini menjadi sebuah pola penyertaan langsung dengan penerimaan manfaat secara tidak langsung melalui mekanisme alokasi APBN.

Kepemilikan Masyarakat

Untuk melihat industri telematika yang didorong oleh paradigma e-Co dalam konsep neo ekonomi, perlu dilakukan pemilahan unsur-unsur yang mempengaruhi ke dalam 3 aspek yang saling terkait, yaitu aspek infrastruktur telekomonikasi, aspek infrastruktur pengembangan aplikasi model bisnis dan aspek infrastruktur kemasyarakatan. Selama ini masyarakat dibingungkan oleh kata-kata dunia tanpa batas geografis sejalan dengan revolusi sistem jaringan komunikasi internet. Atau yang lebih dikenal dengan eforia dotcom. Banyak pelaku bisnis di Indonesia beramai-ramai membentuk usaha dengan paradigma e-Co, akan tetapi pertanyaannya apakah mereka berhasil memperoleh pasar dunia maya tersebut ?.

Kalau boleh berilustrasi tampaknya belum ada satupun perusahaan dotcom yang dapat memberikan model bisnis yang dapat memperoleh pengakuan atas produk ataupun pangsa pasar. Hal tersebut semata-mata terjadi sebagai akibat dari penjiplakan habis-habisan model e-Co yang berlangsung di negara lain untuk diterapkan di Indonesia/ Unsur pengembangan model bisnis dengan strategi supply factor tersebut hanya akan berhasil jika demand factor telah terkondisi untuk siap menerima kehadiran pasar maya tersebut. Berbicara demand e-Co di Indonesia data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJI) menunjukan bahwa pengguna internet di Indonesia adalah 2 juta orang atau sekitar 1 % dari populasi 200 juta penduduk. Data yang sama menunjukan bahwa akses internet sebesar 42 % akses internet dilakukan dari Warnet, 41 % dari kantor dan hanya 12 % dari rumah.

Analogi data tersebut di atas, maka kondisi saat ini hanya sekitar 0,12 % masyarakat rumahan di Indonesia yang dapat dikatakan dapat memperoleh hak untuk menyaksikan perubahan neo ekonomi. Masalahnya terdapat interaksi negatif, antara unsur pengembangan model bisnis e-Co dengan unsur infrastruktur telekomunikasi, dimana kenaikan tarif telkom telah menimbulkan hambatan bagi masyarakat untuk memasuki dunia maya. Betapa tidak, mungkin angka absolut 0,12 % pun akan berkurang di masa depan sebagai akibat mahalnya pulsa telepon, atau dengan kata lain tidak ada upaya nyata dari pemerintah dan juga PT Telkomunikasi Indonesia, Tbk untuk memperluas akses masyarakat ke internet. Hal tersebut secara sederhana terasa kontradiktif dengan rencana perseroan untuk memasuki bisnis jaringan dan jasa telematika dalam arti seluas-luasnya, terlebih diakibatkan tidak ada upaya untuk meningkatkan demand internet yang ada adalah malah mengurangi demand pemain lama. Inkosistensi tersebut merupakan salah satu bukti nyata tingginya resistance to change pengelolaan monopoli telekomunikasi di Indonesia. Contoh konkritnya adalah penolakan akses telepon murah lewat VOIP yang dianggap sebagai tindakan pencurian telepon.

Kasus penyelenggara VOIP independen yang biasanya banyak dilakukan oleh mahasiswa yang kreatif dalam membuat aplikasi merupakan contoh kasus bahwa pada dasarnya monopoli telekomunikasi dapat dilawan oleh masyararakat itu sendiri. Sekarang bagaimana caranya melakukan terobosan murah ?, jawabannya sederhana kenapa tidak ditiru konsep jaringan di kantor ataupun warnet dengan menggunakan LAN (Local Area Network) dialihkan ke kompleks perumahan atau dengan kata lain membuat Aliansi Jaringan Antar Rumah (AJAR). Terminologi AJAR yang diwacanakan oleh penulis dikenal di negara maju dengan sebutan HPNA (Home Phone Networking Alliance, http://www.homepna.org).

Secara tehnis, AJAR dibangun di satu rumah dengan investasi berupa server dan leased line akses internet ke PSTN (Public Switching Telephone Networking). Akses tersebut kemudian dengan menggunakan LAN Card disebar dengan jalan menarik kabel dengan bantuan titik-titik koneksi Hub per RT (satu Rukun Tetangga disumsikan dapat menggunakan satu perangkat hub). Singkat kata adalah membangun jaringan internet dengan konsep LAN sebagaimana telah diterapkan oleh kantor-kantor dipindahkan ke rumah-rumah. Manfaatnya adalah ada biaya tertentu, yaitu akses internet yang ditanggung oleh satu entitas yang kemudian dibagi-bagi kepada pengguna lain dengan ketentuan akses internet tidak tergantung pulsa atau jam pemanfaatan ISP, alias 24 jam sehari 7 hari seminggu dengan biaya tetap. Konsep yang satu wacana dengan AJAR, telah dicoba oleh penyelenggara ISP Bogor Net dengan menggunakan HPNA (S3 card), dengan biaya yang dikenakan kepada pelanggan per rumah adalah sebesar Rp. 100.000 untuk akses internet tanpa mengenal waktu. Artinya dari kasus Bonet di salah satu perumahan di Bogor kita dapat kalkulasikan bahwa biaya akses internet pada saat ini adalah Rp. 136,99 / Jam (fantastis dan ini namanya masyarakat telah memiliki hak komunikasi internet secara kompetitif lebih murah 98,48 % dibandingkan tergantung kepada jalur telepon / Telkom Net Instant).

Solusi internet murah di atas hanyalah sebuah wacana yang ingin penulis gambarkan bahwa untuk membangun jaringan telematika ke rumah-rumah pada dasarnya masyarakat tidak butuh Telkom secara langsung karena akses ke telkom dapat dialakukan oleh satu leased line yang kemudian biaya langganannya dibagi (prinsip sharing cost). Bahkan kalau saweran tersebut dilakukan dalam bentuk koperasi warga, maka manfaat langsung investasi saweran tersebut pun langsung dirasakan warga, tanpa pusing-pusing memikirkan cash flow deviden Telkom lewat APBN baru kemudian disebar ke fungsi kemasyarakatan. Hal tersebut menunjukan satu pilar dari visi ekonomi kerakyatan dalam neo ekonomi telah terpenuhi, yaitu kepemilikan masyarakat atas sumber – sumber perekonomian.

Peran Serta Masyarakat

Faktor kedua hambatan e-Co dalam perekonomian Indonesia adalah masalah tidak tumbuhnya internet trading habit di masyarakat. Hal tersebut diakibatkan oleh interaksi negatif dari unsur pengembangan model bisnis dengan unsur infrastruktur masyarakat, singkatnya adalah bahwa pada saat ini masyarakat baru pada dataran mengenal dunia maya. Oleh karena itu, sikap memanfaatkan internet masih dalam dataran free risk of return (FRR). Indeks FRR untuk pemain pemula hanya akan mengerakkan masyarakat ke chatting habit atau bersilaturahmi lewat e-mail. Evolusi pertama dari indeks FRR bergerak ke arah melihat-lihat berita, informasi ataupun edukasi yang dapat di akses secara mudah, cepat dan tidak ada biaya tambahan selain biaya akses ke internet. Sedangkan evolusi ketiga indeks FRR yang mengarahkan masyarakat untuk berinteraksi dengan sisi penawaran dari penyelenggara pasar maya belum terjadi di Indonesia. Artinya, kalau mau jujur penyelenggara e-Co dengan target pasar di Indonesia akan sangat cukup sulit meraih pasar yang hanya 1 % dari jumlah penduduk dengan kondisi paradigma e-Co baru sampai pada evolusi kedua. Itu sebabnya, contoh sukses bisnis dotcom di Indonesia, misalnya detikCom memperoleh pendapatan terbesar dari iklan bukan dari penyelenggaraan transaksi e-Co.

Ada satu hal penting yang mungkin dilupakan dalam master plan sektor telematika, yaitu sebuah upaya nyata untuk melakukan pergesran paradigma masyarakat tentang e-Co yang dapat mendorong timbulnya internet trading habit. Inti dari pergeseran tersebut adalah dibentuknya sebuah tingkat kepercayaan / trust di pasar maya. Kepercayaan dalam terminologi negara maju dimodifikasi dengan melakukan pengembangan infrastruktur telekomunikasi yang aman atau berdaya guna, seperti misalnya Public Key Infrastructure / PKI (atau Veri Sign yang sudah digunakan oleh internet banking klikbca). Secanggih apapun sistem keamanan PKI yang dibentuk sepanjang belum muncul saling percaya antara penjual dan pembeli yang intinya termuat dalam frase “my word is my bond”, maka investasi infrastruktur hanya akan menjadi barang bagus yang tidak dapat berdaya guna.

Solusi yang dapat ditawarkan adalah sebuah pengembangan wacana AJAR sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Tehnisnya adalah AJAR akan mendorong demand pemain baru di internet bermunculan sampai kepada evolusi kedua indeks FRR. Untuk menggeser ke evolusi ketiga, maka pendekatannya adalah untuk mendorong kepercayaan adalah dimulai dari pola silaturahmi itu sendiri melalui beragam kebiasaan masayarakat rumah tangga berdagang dan bertransaksi di warung. Tehnisnya adalah pada saat AJAR berhasil dibangun di kompleks perumahan , maka administrator Koperasi Warga sebagai penyelenggara jasa dapat memberikan tempat untuk intranet antar warga, misalnya satu warga punya 5 MB di web intranet tersebut. Ibu Bangun yang selama ini berjualan toko kelontongan membuat terobosan dengan membuka order lewat intranet-nya. Dengan kondisi saling mengenal (apalagi keamanan masih dianggap berbasis Intranet yang belum Internet), warga sekitar merasa dimudahkan dengan order-antar tersebut. Selanjutnya Ibu Cipta terpikir untuk memasang barang pecah belah yang biasanya ditawarkan door to door dimuat di intranet dengan pola yang sama dengan konsep Ibu bangun. Inti dari pendekatan intranet tersebut adalah mengantarkan masyarakat terbiasa bertransaksi di internet dan melihat peluang yang bisa di ciptakan di pasar maya. Bahkan koperasi warga penyelenggara AJAR dapat saja memanfaatkan ruang yang tersedia untuk membuka Warnet, untuk segmentasi pasara masyarakat sekitar yang melewti kompleks tersebut ataupun warga yang ingin bersilaturahmi tanpa memiliki komputer sendiri.

Ilustrasi di atas telah mengiring konsep AJAR untuk bersinggungan dengan paradigma tentang warung (baik itu Warnet maupun Warung-warung produksi di pasar maya), evolusi ketiga dari indeks FRR dapat ditempuh dalam satu paket master plan yang diwacanakan oleh penulis dengan istilah WAJAR dot NET (Warung Aliansi Jaringan Antar Rumah berbasis interNET). Hal tersebut menunjukan bahwa manfaat langsung berupa oppurtunity cost yang dikeluargan maupun deviden dari koperasi WAJAR dot NET langsung dapat dirasakan oleh masyarakat tanpa pusing-pusing memikirkan kebocoran dalam alokasi dana APBN. Artinya adalah dapat dipenuhinya pilar kedua dari visi ekonomi kerakyatan dalam neo ekonomi, yaitu peran serta Masyarakat dalam perekonomian.

Kemitraan Usaha

Hambatan utama dari wacana WAJAR dot NET dalam implementasi adalah (kemungkinan) keenganan untuk dari Telkom atau industri besar bidang teknologi untuk berbagi kue dengan industri kecil dan rumah tangga. Sebenarnya hal tersebutlah yang harus digerakkan oleh pemerintah bukan soal tarif. Jadi intinya sebagai pemegang saham terbesar di industri telekomunikasi yang monopoli adalah mendorong manajemen Telkom untuk membuat program kemitraan dengan industri kecil dan rumah tangga (koperasi warga). Konkritnya adalah Telkom menjadi Bapak asuh dari koperasi WAJAR dot NET tersebut untuk mendorong visi telematika tetap pada relnya sesuai dengan aspirasi dan keuntungan di mata masyarakat. Kemitraan lain dapat diberikan oleh industri besar bidang teknologi dengan memberikan joint operation dari perangkat komputer di rumah-rumah (misalnya dalam bentuk leasing).

Pada dasarnya dengan jaringan yang dibangun berbasis perkembangan teknologi saat ini, dimana telpon dapat dilakukan melalui VOIP, kenapa harus ada tarif telpon yang mahal ?. Artinya adalah sebelum pilar ketiga dari visi ekonomi kerakyatan dalam neo ekonomi, yaitu Kemitraan Usaha Besar, Menengah dan Kecil, dijelaskan dalam perencanaan pengembangan usaha Telkom sebaiknya rencana kenaikan tari telpon bukan hanya ditunda, akan tetapi sudah selayaknya untuk ditolak !. Hal tersebut bukanlah sesuatu yang sulit bagi perusahaan terbuka “plat merah” yang seharusnya memberi suri tauladan dari moral obligation go public tentang transparansi dan full disclousure.

-yanuar Rizky

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.