Pemuda, Pemilu, Ideologi dan Generasi Ahistoris

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 29 Oktober 2013:
Semalam saya menghadiri undangan dari metro TV untuk launching program Indonesia Memilih, sepanjang acara saya duduk sebelahan dengan Sejarawan Anhar Gonggong. Tontonan di panggung, kami jadikan bahan obrolan yang menarik, dari sisi historis bangsa ini.

Ketika di panggung ada parodi tentang pemilu, dengan mesin waktu ke tahun 1955 soal pemilu pertama kali. Saya bilang kalau bicara sejarah gini sih areanya Pak Anhar.. dia tertawa dengan mimik khasnya :) lalu, dia bilang masalahnya bangsa ini tak terbiasa hidup dalam pelajaran sejarah.

Lalu, saya bilang menurut penelitiaan sejarah Pemilu mana yang terbaik di Republik ini. Dia mengatakan 1955, karena menunjukan Warna ideologi yang jelas. Setiap partai mewakili ideologinya dalam berbangsa, tidak seperti sekarang berpolitik tanpa ideologi.

Saya lalu mengatakan dari sisi partisipasi pun itu Pemilu terbaik, jadi disamping ideologi setiap yang ‘saat pertama’ selalu menarik bagi masyarakat, ya kalau ini kan teori strategic management yang jadi bidang saya :)

Saya katakan, dari data yang pernah saya olah terkait Pemilu, dimana Pemilu 2004 juga menyertakan partisipasi terbesar dan mendekati 1955. Kata saya itu, karena saat pertama kali masyarakat merasakan sesuatu yang baru. Saya katakan data (liat tabel hitungan yang pernah saya buat di 2004) partisipasi terbesar yang mendekati pemilu 1955 adalah Pemilu Pilpres putaran 1, itu karena pertama kali rakyat memilih langsung Presidennya.

pemilu2004

Pak Anhar, menyepakati dari sisi partisipasi dia setuju 2004 menyamai 1955, tapi dia bilang tidak secara ideologi. Dia memandang, partai (multi partai) yang muncul di 2004 tidak mencerminkan multi Warna ideologi, sedang di 1955 PNI, PSI, Masyumi, dstnya dari nama partai, lambang partai semua tegas ke ideologi yang mereka usung. Termasuk, pidato-pidato tokohnya yang juga merupakan anak-anak muda yang melahirkan Republik, yang memang berbeda pandangan ideologi.

Lalu, saya mengatakan ya sekarang lebih ke figur bukan partai (ideologinya). Kalau dilihat ke datanya, di 2004 figur-lah yang menarik pemilih. Ketika calon Presiden di putaran pertama pilpres 2004 masih banyak tingkat partisipasi rakyat tertinggi melebih pemilu legislatifnya, dan bahkan ketika calon tinggal 2 pasangan di putaran dua pilpres 2004 angka golput tertinggi. Tapi, disini masalahnya menjadi awal berpolitik figur adalah soal citra, sementara dulu tokoh-tokoh itu adalah tokoh dari kalangan ideologis di partai-nya.

Inilah era terburuk sejarah, ketika pemilu figur bukan lagi bicara ideologi karena terpisah dari school of thougt ideologi di partai yang memang tidak ideologis selain kendaraan para figur ikut pemilu.

Lalu, acara beralih ke pidato, yang mengatakan pemilu 1955 adalah Pemilu Orde Lama. Padahal, dari sisi sejarah doktrin ideologi orde baru dan orde lama diciptakan Suharto, dan jika dibaca konteks sejarah yang dimaksud Suharto orde lama adalah era ‘Demokrasi Terpimpin’ di 1960-1965. Jadi, dari sisi sejarah 1955 adalah Pemilu demokratis bangsa ini terbaik, dan ideologis. Bagi saya, yang tahun 1955 belum lahir :) .. bisa dipahami juga, karena sejarah soal kontekstual.

12 Parpol peserta Pemilu 2014 bergiliran orasi di panggung, pertanyaan banyak soal pemuda dan membangkitkan partisipasi dari apatisme politik kaum muda. Di panggung, diutarakan pemuda dibawah 50 tahun, ada yang bilang yang matang itu antara 35-45 tahun.

Pak Anhar bilang ke saya “anda tadi sering bilang 1930 Bung Karno menyusun konsep Indonesia dgn Indonesia Menggugat, itu umurnya Bung Karno baru 28 tahun… Sumpah Pemuda 1928 itu konsep bernegara disusun oleh Pemuda usia 18-30 tahun… bagaimana bisa menjawab pertanyaan soal pemuda tapi meragukan kapasitas di umur produktif dalam sejarah adalah 18-35”

Lalu, saya bilang zamannya berbeda Pak, sekarag 18-35 sangat tidak mau seserius generasi sumpah pemuda. Tapi, kenapa demikian karena meski zaman berbeda, harusnya ideologi tidak hilang. Saya katakan, 1930 Indonesia Menggugat Bung Karno dan diperkuat Ekonomi Daulat Rakyat di 1931 dari Bung Hatta sebenernya situasi dunia sama dengan hari ini, krisis, ditandai crash di bursa new York 1929.

Hanya saja, kalau Amerika Serikat begitu crash di bursa yang sama, mereka memutar ulang sejarah di titik yang sama. Saya rasa Obama menghidupkan nuansa kampanye yang menghadirkan Roselvelt menang pemilu, keduanya dari partai yang sama juga menang paska krisis di bursa new York.

Saya katakan ini yang hilang dari budaya politik kita, tak ada satupun partai yang membakar semangat ‘mimpi pemuda Indonesia’ seperti Sukarno dengan Indonesia Menggugat, apakah karena terlena kemerdekaan, ataukah seperti yang dikatakan Bung Karno bahwa zaman kita akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri. Ideologi, semoga cepat ketemu ya, karena tanpa harapan dan ideologi pesta pemilu hanyalah ajang prossedural menuju kebangkrutan politik itu sendiri.

-yanuar Rizky, kalau pakai definisi politik 2013 masih anak muda :)

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Comments

  1. […] pemuda-pemilu-ideologi-dan-generasi-ahistoris […]

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.