Perilaku Deposan, Dollar AS dan Target Tax Amnesty Repatriasi Dana Luar Negeri

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 10 September 2016:
Di harian Kompas hari ini (10 September 2016) saya memberikan pendapat “…masih banyak investor masih memilih berinvestasi dalam Dollar AS”. Apa dasarnya?

Konteks diskusi saya ketika ditelpon LAS dari Kompas kemarin sore adalah soal repatriasi dana dari luar negeri yang lambat, meski sudah didorong oleh tarif diskon besar-besaran dari program Tax Amnesty.

Kompas 100916

Saya awali diskusi kami dengan menganalisa kebijakan sejenis sebelumnya, yaitu kebijakan repatriasi dana hasil ekspor (DHE) dari Bank Indonesia serta insentif pajak NOL persen dalam Kebijakan Ekonomi jilid II jika dananya disimpan di perbankan nasional selama 6 bulan atau lebih (lengkapnya bisa diliat di orat oret saya sebelumnya di blog ini: http://rizky.elrizky.net/dari-kebijakan-repatriasi-dana-hasil-ekspor-ke-tax-amnesty-indonesia-menggugat-reborn)

Lalu, kami mengupas fakta yang juga diberitakan Kompas akhir tahun yang lalu yang memuat pernyataan Gubernur BI bahwa kebijakan wajib lapor dana hasil ekspor selama tahun 2015 telah mencapai 96% tapi hanya 11% yang dikonversi ke Rupiah (baca beritanya di: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/12/14/171800026/Hanya.11.Persen.Devisa.Hasil.Ekspor.yang.Dikonversi.ke.Rupiah).

Jadi, pelajaran yang bisa kita tarik dari kebijakan wajib lapor DHE menunjukan fakta seperti yang saya kemukakan di Kompas hari ini, bahwa pemilik dana yang kita bidik dalam upaya repatriasi dana domestik di luar negeri dalam target Tax Amnesty memiliki pola “lebih senang menyimpannya dalam bentuk valuta asing Dolar AS”.

Itulah kenapa saya juga memberi argumentasi, jika menempatkan dana valas yang dipilih di perbankan nasional, maka pembenahan jasa layanan penyimpanan, penyelesaian dan atau investasi dalam bentuk valas akan juga diperbandingkan dengan jasa layanan sejenis di Perbankan negara lain.

Itulah mengapa, saya duga pada akhirnya UU Tax Amnesty pun lentur untuk membuka peluang deklarasi dibandingkan repatriasi. Disamping, tentu saja seperti saya kemukakan dalam orat oret terdahulu juga terkait aturan memaksa DHE disimpan di perbankan nasional tersandera oleh rezim devisa bebas yang diatur dalam UU Lalu Lintas Devisa

Sebenarnya, seperti juga dikatakan oleh Gubernur BI dalam berita hasil DHE di atas bahwa menyimpan dana dalam bentuk valas di sisi lainnya akan memperkuat juga cadangan devisa valas jika disimpan di perbankan nasional. Dengan kata lain, bahwa otoritas moneter pun memberi ruang produk valas dan Rupiah.

Hanya saja, pertanyaannya sudah seberapa jauh perbaikan layanan valas dari sisi kebijakan operasi moneter, relaksasi peraturan perbankan, maupun inovasi perbankan nasional untuk menyerap jasa layanan dan investasi valas ini? Untuk menjawab ini, lebih ideal jika kita mendapatkan data dari DHE yg 96% sudah tercapai di akhir tahun 2015, berapa besar yang bertahan sampai 6 bulan atau lebih.

Data itu penting untuk menganalisa, apakah 89% dari 96% DHE dalam Valas ditempatkan dalam deposito Valas berdurasi panjang, ataukah hanya sekedar memenuhi kewajiban lapor DHE dan lalu keluar lagi ditransfer melalui transakai instrumen keuangan di pasar ke Bank Kustodian di luar negeri. Karena, toh kita menganut devisa bebas.

Kalau kemudian ada data yang menunjukan 96% DHE berhasil kita jinakkan dengan mekanisme pasar (rezim devisa bebas) untuk bertahan di perbankan nasional, meski itu deposito valas, maka artinya kita bisa punya argumentasi bahwa target dana repatriasi itu masuk akal. Tapi, jika data berkata lain, maka peta jalan yang detail (the evil is in detail) telah dilupakan sebagai asumsi penting dalam menyusun target dari repatriasi yang menjadi goals dari Tax Amnesty itu sendiri.

Disitulah, ruh analogi sederhana saya soal pemanis dan kopi. Tax Amnesty bagi saya itu kebijakan pemanis, kopinya adalah instrumen-instrumen investasi yang telah matang dan siap untuk dihudangkan.

DAN, cangkirnya adalah infrastruktur standar jasa layanan perbankan dan sektor keuangan yang juga siap menampung kopi, dan airnya adalah bauran kebijakan moneter-fiskal yang siap diminum oleh pelaku sektor riil. Kita perlu belajar dan mereview setiap detil kebijakan dan pelaksanaannya, agar kita tidak tersesat dalam merumuskan strategi masa depan kemana bangsa ini akan dibawa. Semoga, segalanya menjadi lebih baik. #enjoyAja

-yanuar Rizky, WNI

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.