Persepsi dan The Law of Deminishing Return

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 6 Februari 2014:
Dalam sebuah diskusi (mendalam) di sebuah institusi negara pekan lalu, saya ditanya ‘apa yang bisa diperbuat dalam merebut kendali sentimen global terhadap Rupiah?’ Saya menjawab singkat dulu, dari platform dasarnya dulu bahwa sentimen (persepsi) akan efektif sebagai mesin penggerak pasar, jika arus uang (barang) beredarnya pun dikuasai.

Pengertian ‘dikuasai’, akan masuk ke identifikasi apakah pasar efisien, dalam arti apakah terjadi efisiensi distribusi uang (barang) beredar yang merata di publik, ataukah terjadi inefisiensi dimana barang (uang) beredar dikuasai pihak tertentu saja (bandarnomics). Dalam ranah akademis, itulah yang disebut efficient-market hypothesis.

Sebuah pasar dikatakan efisien, jika terjadi persaingan sempurna. Dalam arti, posisi harga sebagai pertemuan penawaran (produsen) dengan permintaan (konsumen) berada dalam posisi persepsi (informasi) yang simetrik. Sedangkan, distorsi pasar menjadi tidak sempurna terjadi tatkala ada informasi (persepsi) yang tidak simetrik. 

Kembali ke diskusi yang saya ikuti pekan lalu, dalam asumsi ‘informasi tidak simetrik’, idenya publik diluruskan informasinya disaat banyak stok isu negatif berkembang di pasar. Betul secara teoritis, tapi akan tidak efektif dalam prakteknya? Kenapa? Karena, kalau ingin efektif menggerakan mesin isu (persepsi) tapi barang (uang) beredarnya sendiri tidak efisien distribusinya, alias penguasaan lapaknya ada di tangan bandar, maka apakah bandarnya punya kepentingan yang sama dengan otoritas negeri?

Itulah kenapa otoritas seperti The Fed punya instrumen QE (Quantitative Easing) saat pasar meradang (krisis). Yang dilakukan adalah merebut barang (uang) beredar ke saku otoritas, agar jika telah dikuasai akan menjadikan mesin penggerak pasar dengan persepsi komunikasi kebijakan yang ingin dicapainya efektif. Ini, seperti telah saya utarakan dalam tulisan Bandarnomics di blog ini sebelumnya, yaitu menguasai dua hal sekaligus (1) Uang (Barang) beredar; dan (2) Mesin Persepsi pembentuk Isu.

Kondisi seperti itu, jika otoritas negara berkembang ingin melawan ‘isu’ yang dibentuk sang Bandar, sepanjang kepentingan lagi sama dengan bandar maka akan efektif. Tapi, kalau lagi berbeda, jangan harap!. 

Misal, ketika dana QE Fed dalam fase merebut barang beredar (Maret 2009 – Juni 2010), maka uang beredar akan deras masuk dengan apa yang disebut ‘capital inflow’ yang memperkuat Rupiah seolah apa aja yang disebutkan sebagai sentimen positif oleh negara berkembang ‘seolah direspon pasar’. 

Sebaliknya, saat seperti saat ini dimana dana QE sudah injury time dan tujuan penguasaan instrumen beredar telah mencapai track yang diinginkan The Fed untuk mengatur pasar untuk tujuan keuntungannya (profit taking), apapun hal baik yang dikemukakan akan kalah dengan stok isu buruk yang dihembuskan sang bandar di pasar.

Menjadi penting, diingat oleh negara berkembang (emerging market), bahwa saat posisi membaik haruslah didukung isu baik dan saat posisi melemah harus diikuti isu buruk dan itu akan datang silih berganti. Kenapa silih berganti? Karena anda kalau jadi bandar kapan untungnya kalau trennya naik terus, ataupun turun terus. Selisih jual disaat terbaik (tren harga menaik) dengan harha beli terbaik (saat tren menurun) itulah yang disebut ‘untung’ (trading gain).

Jadi, kalau lagi pengen ‘sering untung’ dan ‘untungnya membesar’, maka harus sering-sering pula naik dan turun silih berganti dengan jarak harga jual terbaik dengan harga beli terbaik terus melebar. Itulah yang disebut fluktuasi dan volatilitas. Jadi, sebuah pasar yang fluktuatif diikuti peningkatan jarak volatilitas (return) sudah jelas ‘ada yang sedang ambil untung’.

Dalam perpektif ini, tentu pertanyaannya gimana ‘hot deal’ dengan bandar tercapai untuk kepentingan yang ingin dicapai otoritas negara berkembang? Kalau mau jawaban ‘simple’ atau bahasa kerennya ‘market friendly’, ya deal saja dengan menerima volatilitas daripada mengeremnya malah mengakibatkan ‘dananya ditarik seketika’. Itulah cara market mainstream melihat keadaan, berbeda dengan yang ‘anti market’ hajar aja bandarnya :) 

Hot deal dengan hot money, harga yang akan dibayar adalah biaya ekonomi mahal akan terjadi, karena jarak harga jual dan harga beli meningkat dalam frekuensi yang sering. Jadi, mau BI rate rendah sekalipun, dalam kondisi seperti itu return di satu sisi dan biaya modal (bunga) di sisi lain secara riil meningkat.

Persoalannya kemudian soal ‘durasi waktu’, kalau waktunya lama main (game) volatilitas, maka ongkos riil pun akan menguras stamina. Seperti main bola, dalam injury time tim yang kehilangan pengendalian bola dan staminanya menurun pasti berharap ‘peluit wasit’ segera ingin ditiup..

Dalam teori ekonomi itulah yang disebut ‘The Law of Deminishing Return’ atau ada yang menyebut The Law of Deminishing marginal return (cost). Sederhananya gini, kalau marjin keuntungan akan meningkat dalam jangka waktu menengah-panjang akan menurun dikarenakan kenaikan cost di sisi lain.

Cost yang meningkat dalam teori ekonomi, dari sisi strategi dikarenakan aksi akan menimbulkan reaksi. Artinya, suatu pasar yang tingkat keuntungannya besar akan menyebabkan munculnya pemain-pemain baru yang mengakibatkan ‘optimal output’ yang dapat diraih pemain lama berkurang, Bisa juga, untuk meraih untung lebih besar maka input pun harus diperbesar, dimana di satu titik akan menurun tingkat keuntungan marjinalnya (output dibagi input). 

Masa-masa menurun dikarenakan marjinal return turun karena ‘over capacity input’ ataupun dikarenakan iklim persaingan akan menyebabkan posisi Deminishing return, atau menurun. Dalam logika inilah, makanya ‘market mainstream’ meyakini Rupiah nantinya akan balik arag lagi, masalahnya apakah kita merebut kendali di tangan Rupiah ataukah US Dolar yang sudah ‘over capacity’? 

Itulah persoalan klasik yang tak pernah disadari pemimpin kita di tengah dunia yang terus berubah, dimana negara maju yang bilang negara jangan jadi ‘pemain’ ternyata bukan hanya jadi pemain, tapi malah jadi bandar.

Dalam diskusi di pekan lalu, saya bilang kalau mau percepat aja titik Deminishing nya agar permainan cepat dan stamina masyarakat masih ada. Ini kemudian yang kita lihat dalam arus pendapat bahwa setelah Presiden terpilih akan selesai, yang ingin dimainkan adalah memancing bandar dalam posisi over capacity dimana isunya dihabisin di masa-masa sebelum Pemilu, dan setelah Pemilu muncul lagi ‘baby boomers’ yang perlu juga didukung bandarnya :)

Apa persoalan fundamental nya selesai, dan apakah bandarnya direbut? Itulah sejatinya tugas berat pemimpin Indonesia paska reformasi, kita perlu problem solver bukan sekedar ‘media darling’. 

Semoga saja, pemimpin terpilih adalah sang petarung, karena dunia sejatinya hanyalah senda gurau bagi kaum elit tapi kemiskinan bagi masyarakat awam. Pemimpin dibutuhkan bagi masyarakat banyak (awam), kalau elit mereka sudah tau ini mau kemana game-nya :)

-yanuar Rizky [BIG: Bejana Investidata Globalindo]

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.