‘Self Regulation’ dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1995

-Yanuar Rizky-
Auditor, Edisi Maret-Juni 1996:
Perseroan terbatas (P.T.) merupakan suatu entitas yang bertujuan laba dengan misi masyarakat luas terikat di dalamnya. Dengan kaidah seperti itu P.T. secara idealisme akan mengemban visi kehidupan perekonomian masyarakat, dalam hal ini meningkatkan taraf hidup masyarakat. Karakteristik tersebut memerlukan adanya aturan-aturan yang mengatur entitas tersebut dalam apek kehidupan masyarakat serta pelaku-pelaku yang terkait di dalamnya.

Undang-undang R.I No. 1 tahun 1995 merupakan suatu aturan yang mengikat ke dalam maupun ke luar. Suatu UU merupakan struktur yang tertinggi dalam kehidupan masyarakat, Hal tersebut tercermin dari sikap DPR sebagai wakil rakyat yang mengesahkanya. Sehingga manajemen makro pemerintah dalam hal mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan PT dan hal lainnya yang terekait harus mengacu pada Undang-undang tersebut. Begitu pula secara manajemen mikro perusahaan berbentuk P.T. beserta para pelaku profesionalnya (manajer) maupun pihak independen (akuntan) yang menjembatani dua entitas, antara sarana manajemen perusahaan dan sumber daya ekonomi masyarakat.

Artikel ini akan menyoroti masalah dapat terjaganya indepedensi akuntan publik dalam artian norma maupun kode etik profesionalismenya dalam muatan yang tercakup dalam pemberlakuan UU No. 1 1995: tentang Dasar Hukum Perseroan Terbatas. Penulis akan menyoroti masalah ’self regulation’ (mengatur dirinya sendiri) profesi akuntan publik yang merupakan dasar isme-profesional dalam kaitan tujuan keterjagaan kepentingan publik. Penulis akan menyoroti apakah aturan tersebut perlu diatur secara melekat dalam jiwa profesionalisme (kode etik profesi) oleh Ikatan Akuntan Indonesia ataukah harus dalam daratan struktur ketatanegaraan yang lebih tinggi.

Kedudukan Akuntansi dalam UU No.1 Tahun 1995

Seperti telah banyak dikemukakan, bahwa kaitan dari pasal-pasal undang-undang tentang perseroan terbatas telah menyiratkan diperlukanya pihak ke tiga yang independen. Dimana, banyak pakar mengidentifikasi dalam UU ini kedudukan akuntansi, dalam artian kebutuhan akan profesi akun-tan, terkait dalam pasal 56 sampai 60: tentang laporan tahunan.
Dalam bagian penjelasan tentang pasal demi pasal tentang hal tersebut tersirat adanya ketergantungan kem-bali UU ini terhadap suatu standar akuntansi keuangan yang berlaku umum di wilayah perekonomian Indonesia. Berikut ini penulis akan mencoba melihat keterkaitan pasal demi pasal dengan konsep akuntansi dan pada bagian berikutnya penulis akan mencoba menyoroti kesiapan standar itu sendiri dalam struktur peraturan di negara kita.

Pasal 56, secara umum pasal ini sangat berkaitan dengan metode akuntansi yang berlandaskan kepada gambaran historikal (masa lalu) dengan kaitan yang secara sistematis harus mengacu kepada pemahaman sistem yang dapat dimengerti oleh pihak-pihak pengguna secara terstandarisasi dalam SAK. Disamping itu, pasal ini telah memuat ‘self regulation’ berupa pentingnya ‘disclousure’ dalam laporan auditan independen beserta norma pemahaman keterjadian disamping hanya sekedar bukti masa lalu. Hal tersebut tergambar secara terintegrasi dalam pasal ini dari huruf a sampai g.

Pasal 57, secara konsep auditing pasal ini memperkuat indikasi dalam standar profesional akuntan publik yang menyuratkan bahwa tanggung jawab tentang laporan keuangan terletak di tangan manajemen, sedangkan tanggung jawab auditor hanya pada pemahaman tentang siklus perusahaan yang termuat dalam laporan keuangan tidak salah saji secara material. Dalam dua ayat pasal ini jelas sekali pihak manajemen dalam menjamin kepentingan publik haruslah dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 58, gambaran ini telah mengikat manajemen untuk meng-gunakan bahasa bisnis yang dapat diterima umum dengan metode akuntansi sebagai jembatannya. satu hal penting terletak pada penekanan UU ini dalam melindungi publik pada aspek dipatuhinya UU ini di atas itu sendiri, standar akuntansi

Pasal 59, dalam hal ini peran akuntan publik memperoleh suatu kedudukan yang mengikat ke dalam entitas bisnis (terutama berbentuk PT. terbuka). Artinya, secara struktural dalam melindungi kepentingan publik secara luas terhadap kesan yang melekat dalam gambaran perusahaan yang terekam melalui laporan keuangan tahunan haruslah melalui proses audit dari pihak independen akuntan publik.

Pasal ini memperjelas pula kedu-dukan dan kewajiban dari pihak manajemen dan komisaris serta pemegang saham untuk memberikan gambaran yang tidak menyesatkan. Dimana, keyakinan publik akan ketersesatan diperoleh melalui suatu kualitas laporan auditan. Mengenai kualitas itu sendiri, tampaknya pasal ini memberikan indikasi yang kuat atas kemampuan akuntan publik dalam kode etik profesionalnya serta standar-standar yang mengikatnya mampu untuk mengatur dirinya sendiri (self regulation).

Hubungan dengan metode akun-tansi, tampaknya secara intern suatu perusahaan telah diikat untuk mela-kukan metode akuntansi yang sis-tematis serta terkendali secara pe-ngendalian intern. Hal tersebut meru-pakan indikator penting untuk pem-berlakuan program audit selanjutnya, baik itu ‘test of control’ ataupun ‘subtantive test’.
Pasal 60, secara umum pasal ini memberikan gambaran tentang pen-tingnya integritas antara proses ma-najemen terhadap laporan keuangan yang telah di audit, dimana kepen-tingan publik secara minoritas akan dipertahankan melalui mekanisme RUPS.

Pasal ini pun memberikan hubungan yang kuat terhadap pem-berlakuan proses keterjadian setelah laporan auditan dibuat (sub-sequent event). Dimana, tanggung jawab secara subtantif tetap berada di tangan manajemen. Sedangkan, pihak inde-penden dapat menjembataninya de-ngan suatu pendapat susulan terhadap kejadian tersebut.
Dimana, tanggung jawab pihak independen hanya terletak pada secara subtantif kejadian tersebut tidak berdampak salah saji secara material. Bila material, maka tanggung jawab terletak pada manajemen. Bila tidak, maka manajemen terselamatkan

Secara umum dari pasal 56-60 dapat ditarik adanya benang merah antara pentingnya peran akuntan publik yang menjembatani dua kepentingan antara pemegang modal dan manajemen. Masalahnya tam-paknya undang-undang ini sangat mempercayai dapat berlangsungnya proses profesionalisme yang dapat mengatur dirinya sendiri. Dalam kaitan standar pun, undang-undang ini mampu mem’back up’ standar akuntansi keuangan yang di atur sendiri oleh kelompok akuntan profesional itu sendiri.

Walaupun nada sumbang tetap terletak dengan mengambangnya undang-undang ini secara tersurat, misalnya kesalahan prinsip yang digunakan dalam kepercayaan kepada kalangan akuntan, padahal yang dapat mengatur profesionalisme akuntan itu sendiri harusnya telah jelas-jelas diungkapkan Iktatan Akuntan Indo-nesia. Disamping itu, banyak kata-kata yang tidak jelas tersurat dalam undang-undang ini merupakan indi-kasi kuat pentingnya peran IAI dalam mengatur dirinya sendiri.

Standar Akuntansi:Konteks perundang-undangan

Penulis mencoba untuk mem-berikan argumentasi tentang kesiapan metode akuntansi yang terstandar dalam menghadapi suatu struktur undang-undang di negara kita, Arti-nya, penulis mencoba melihat kedu-dukan standar itu sendiri dalam struktur perundang-undangan yang terintegrasi dalam kehidupan ber-masyarakat (bernegara),
Dalam pasal 58 ayat (2) membe-rikan suatu indikasi bahwa kedu-dukan UU No. 1/1995 merupakan suatu produk masyarakat yang berada di atas standar akuntansi keuangan. Meskipun demikian, secara struktural suatu undang-undang merupakan kaidah tertinggi dalam nuansa hukum ketatanegaraan.

Kondisi tersebut membawa kon-sukuensi terhadap komunitas profesi, dalam hal ini Ikatan akuntan Indonesia, untuk mengatur sendiri suatu proses strategik dari suatu standar yang menjamin kepentingan publik secara sosial, ekonomi, hankam maupun politis. Penyusunan standar tersebut haruslah merupakan perumusan dari suatu filosofi, tujuan, misi dan visi yang melekat dalam kedudukan akuntan sebagai pihak ketiga. Artinya, komunitas akuntan jika ingin dikatakan berhasil menegakan aturan sesuai keahlian yang hanya dimengerti oleh ang-gotanya sesuai peranya, tampaknya harus telah menyelaraskan berbagai kondisi dalam proses standarisasi tersebut.

Kondisi undang-undang yang merupakan penyelarasan pemikiran melalui lembaga wakil rakyat merupakan dasar dari suatu peraturan pelaksanaan. Dimana, peran indepe-densi yang terjaga dari akuntanpun turut mewarnai berhasilnya pelak-sanaan visi masyarakat luas. Kondisi ini tentunya perlu penyelarasan dalam standar akuntansi keuangan maupun standar profesional akuntan publik. Permasalahannya standar yang diacu-pun tidak murni merupakan produk ‘self regulation’ dari akuntan In-donesia.

Tampaknya hal tersebut cukup baik, terutama dengan usaha ‘public hearing’ dalam penyelarasan idenya. Hanya saja satu hal yang perlu diingat dalam masalah adopsi suatu pemi-kiran adalah penyelarasan pula dengan kondisional lingkungan harapan mas-yarakat dan standar pekerjaan profesional. Kondisi ekspansi usaha, perkembangan tehnologi, pengem-bangan pasar modal serta pola manajemen kita memang mengacu kepada pola negara lain yang lebih maju, hanya saja kondisional budaya bangsa serta masalah transisi dari pola agraris ke industri yang belum sempurna akibat dari tranformasi idealisme negara maju dan warisan nenek moyang tetap merupakan faktor cermatan penting. Artinya, masalah harapan masyarakat akan ‘pahlawan’ yang menjamin keputusannya perlu dicermati. Artinya, akuntan terlalu dituntut ke depan akan tetapi bekerja secara historis, atau menjamin investasi masyarakat akan tetapi dibayar oleh manajemen.

Kondisi struktur ketatanegaraan telah memberikan kondisi ‘given’ dari suatu undang-undang terhadap proses ‘self regulation’ profesi disamping masalah kesenjangan komunikasi antara auditor, manajemen dan masyarakat akan peran indepensi profesional. Permasalahnya adalah bagaimana kondisional tersebut dapat distandarisasi oleh komunitas akuntan ke dalam keseragaman metode akuntansi maupun standar profesional pekerjaan, disamping pentingnya pula kejelasan secara filosofis dari undang-undang yang berkaitan, maupun peraturan pelaksanaannya.

Kesenjangan Komunikasi serta Proses ‘Self Regulation’

Persoalan kesenjangan komunikasi tampaknya merupakan pola terkuat yang ditimbulkan oleh pengkaitan masalah akuntansi dan masalah jami-nan hukum oleh Undang-undang R.I No. 1 tahun 1995. Kesenjangan tersebut diakibatkan oleh dua hal pokok, yaitu (1) idealisme dan (2)rea-litas.

Secara idealisme, tampaknya ter-dapat perbedaan proses pembentukan antara bahasa hukum dengan bahasa akuntansi. Hal tersebut secara seder-hana terilustrasi banyaknya kata-kata yang tersirat dalam tersurat yang dijembatani oleh peraturan pelak-sanaan suatu produk hukum yang berdampak pada harapan akan profesi akuntan. Sementara itu kesenjangan komunikasi terbentuk melalui per-bedaan persepsi yang cukup mendasar tersebut, karena yang mengetahui persoalan yang menuntut profesio-nalisme hanyalah kaum profesional itu sendiri.

Sebenarnya masalah kesenjangan tersebut secara realitas harusnya dapat diatasi oleh kaum profesional, dimana salah satu fungsinya untuk mengatur dirinya sendiri harus berhasil. Artinya, peran akuntan untuk mampu me-nyelaraskan berbagai kesenjangan yang diakibatkan perbedaan persepsi (idealisme). Sehingga, tampaknya da-lam hal ini pengembangan bahasa akun-tansi secara perekayasaan in-formasi keuangan yang dapat men-jembatani antara tanggung jawab auditor dan harapan akan peran auditor sangat diperlukan.

Kesenjangan komunikasi secara idealisme di atas serta banyaknya harapan terhadap keberhasilan kalangan akuntan Indonesia (dan hal ini perlu dipertegas oleh asas legalitas serta pengakuan pada organisasi tunggal profesi akuntan, Ikatan Akun-tan Indonesia) mampu mengatur dirinya sendiri. Secara realitas usaha reduksi kesenjangan komunikasi tersebut tampaknya masih berat untuk dilakukan secara sempurna.

Masalah mengatur diri sendiri se-cara realitas terletak pada gejala pola transisi isme-profesional di negara kita sebagai dampak dari terdapatnya paradigma baru masyarakat tentang konsep pembangunan manusia. Artinya, gejala tersebut merupakan akibat gesekan yang tajam dalam tranformasi kemasyarakatan sebagai akibat dari pandangan masa depan (pola negara acuan) serta pandangan masa lalau yang masih enggan ditinggalkan (warisan nenek moyang). Untuk mengatasi hal tersebut banyak pendapat mengarah kepada aspek moralitas sebagai tolak ukur. Hal tersebut turut pula mewarnai profesi akuntan yang masih tergolong muda dan belum tersosialisasi dengan baik.

Tampaknya hal inilah yang mendorong semakin senjangnya perbedaan antara keinginan masyarakat yang terakumulasi dalam produk ketatanegaraan suatu undang-undang serta motivasi dari kalangan profesional itu sendiri untuk dapat me-
ngatur dirinya sendiri. Ketidak-empurnaan ini dapat terlihat dalam masih besarnya peran pemerintah dalam mendorong perkembangan profesi beserta standarisasinya, contohnya dalam hal pembiayaan. Disamping itu, motivasi pengelolaan secara interaktif serta terintegrasi dengan kebijakan peme-rintah (given) dari struktur komunitas profesional belum cukup terwujud dalam proses mengatur diri sendiri dari akuntan, terutama akuntan publik.

Proses mengatur diri sendiri ini pun tampaknya tidak akan terlepas dari pola transisi tersebut dan hal tersebut suatu saat akan mengalami kesem-purnaan. Hanya saja masalahnya seberapa cepat, tepat dan akurat. Rasanaya, yang dapat menjawab hal ini hanyalah pihak-pihak yang telah melakukan riset dan bergelut cukup lama di dunia akuntansi Indonesia.

Penutup

Implikasi terpenting dari pember-lakuan undang-undang ini tampaknya perlu ada penyelarasan dalam pera-turan pelaksanaan yang lebih me-ngarah kepada peran indepedensi akuntan publik yang mengatasi kesenjangan harapan dalam komu-nikasi auditor, manajemen dan masyarakat. Disamping itu, legalitas komunitas akuntan yang mengatur proses mengatur dirinya sendiri perlu dinyatakan secara tegas kepada Ikatan Akuntan Indonesia.
Hal di atas membawa konsukuensi yang cukup berat kepada Ikatan Akuntan Indonesia, baik itu praktisi maupun akedemisi yang tergabung di dalamnya untuk lebih menso-sialisasikan bahasa hukum ke dalam bahasa akuntansi. Persoalan disini tampaknya bukan hanya masalah keterkaitan standar akuntansi keuangan dan standar profesional akuntan publik saja, akan tetapi juga peran yang lebih mendasar untuk mendorong proses mengatur diri sendiri yang interaktif serta integratif dalam nuansa ketatanegaraan mau-pun harapan masyarakat.

Daftar Pustaka

Carmichael, D. R. and John J. Willingham., Perspectives In Auditing, Fourth Edition, McGraw-Hill Book Company, 1985.

Hoesada, Jan., Pengumpulan Bahan Masukan Untuk Penyusunan Peraturan Perundangan UUPT Khusus Masalah Akuntansi, pada diskusi panel menyambut pemberlakuan UUPT Kajian Pasal-Pasal Yang berkaitan dengan Akuntansi, Dirjen Lembaga Keuangan Depkeu, IAI dan Poyek Elips Kantor Menko Ekku dan Wasbang, Jakarta 1995.

Mautz, Robert K., Self-Regulation – Perils and Problems, artikel pada buku Perspectives In Auditing, Fourth Edition, McGraw-Hill Book Company, 1985.

-yanuar Rizky, mahasiswa jurusan akuntansi fakultas ekonomi universitas gadjah mada yogyakarta
* Auditor adalah majalah akuntansi yang diterbitkan oleh Ikatan Mahasiswa Akuntansi Gadjah Mada, ISSN: 0854-2007 -dimana penulis juga terlibat dalam organisasi kemahasiswaan kampus tersebut

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.