Sharing buah pikir saat #makanSiang bersama Presiden Jokowi

-Yanuar Rizky-

elrizkyNet, 2 September 2015: Tulisan ini, saya buat di waktu Subuh (1 September 2015) sehari setelah siang hari sebelumnya saya menghadiri undangan makan siang Presiden Joko Widodo (Jokowi). Banyak yang bertanya ke saya, beberapa status facebook sudah mewakili, juga berita yang saya share. Tapi, sayang jika tulisan tidak jadi diupload, hanya karena kemarin masih ada perbaikan situs pribadi ini. Tulisan ini panjang, panjang ama lebaynisasi background, tapi semoga #enjoyAja diterima sebagai sharing diskusi “sehat wal’afiat tanpa sakit hati”, tentu ini hanya yang terkait dengan saya saja. 

Dalam sebuah acara tahun 2008, Gubernur Bank Sentral Cina (PBOC) Zhou Xiauchuan mengatakan kepada audiencenya, para generasi muda Cina, bahwa dunia ini penuh dengan misleading maka kita jangan misreading..

Pagi ini di banyak media, setelah sebelumnya juga beredar banyak WA komunikasi dari BI membandingkan data indikator 2015 dibanding 2008 dan 1998.

Sebenarnya, data yang sama juga saya lihat dalam acara undangan makan siang Presiden dengan beberapa anak bangsa ini yang berkarya, atau paling tidak berpikir dan menganalisa di dunia perekonomian.

Saya sendiri merasa kalau gini cara baca nya bisa misleading. Tentu, saya paham ini upaya mengajak masyarakat optimis dan juga tidak ikut ikutan mengambil posisi lebih membaca berita-berita di luar daripada dari dalam.

Tapi, bagi saya, mencintai negeri ini haruslah dibangun oleh bukan sekedar optimis dalam persepsi, tapi kewaspadaan melihat masa depan. Belajar dengan bacaan yang tepat dari masa lalu adalah bagian penting dalam strategi bangsa ini untuk mewujudkan optimisme masa depan dengan aksi hari ini yang tepat.

Orang sangat boleh berbeda pendapat, tapi perlu juga menyatakan pendapat atas dasar sesuatu yang diyakininya. Saat itu, seperti juga saya baca di media hari ini soal indikator 2015 dan 1998, seolah kita tidak ada apa-apa (leading statement). Semoga bukan itu senyatanya yang dibaca oleh para penguasa negeri ini. Karena, salah baca bisa salah respon.

Rupanya, keresahan saya tidak sendirian. Kemarin, seorang Ekonom Senior mengatakan kepada Presiden sebaiknya data yang dibandingkan di 2015 itu bukan dengan saat terjadinya krisis 1998, tapi sebelumnya di 1996-1997. Beliau mengatakan, karena 1998 adalah puncak krisis, dan sebelumnya angka dan indikator belum segitu buruknya.

Dalam hati, saya berkata dan juga berujar “saya setuju, ini belum apa-apa”. Posisi saya, sejak tahun 2004 bisa diurutkan, saya selalu menulis bahwa penting kita melihat “di depan kurva”, bukan sebatas kurva hari ini.

Saya orang yang dididik dari dunia empiris, belajar dari bekerja di pasar keuangan (learning by doing), sehingga saya sangat memahami soal “stock repeat by itself”. Yaitu, keadaan hari ini dalam harga di pasar keuangan polanya akan berulang dari waktu ke waktu.

Data 2015 dibanding 1998 ingin bicara bahwa pola “repeat on itself” tidak tampak. Tapi, sekali lagi apakah ini sudah puncaknya posisi bawah (bottom) dari krisis saat ini?

Itulah pertanyaan kuncinya, apakah leading saat ini itu puncak dari titik terendah (bottom)? Karena, 1998 adalah titik terendah itu. Kalau ya dan yakin seperti itu, benar bahwa membandingkan 2015 dan 1998 adalah bacaan yang benar.

Tiba saya bicara kepada Presiden di acara makan siang kemarin. Saya ini meski mungkin keliatan dan diposisikan “kaum pesimis”, tapi pada dasarnya itu bukan karena saya mempolitisasi keadaan. Saya pikir, dalam kapasitas saya sebagai anak bangsa yang tumbuh dewasa, tulisan saya sejak tahun 2003 menjelaskan satu hal, konsistensi.

Saya selalu menghormati Kepala Negara, dan salah satu rasa hormat saya adalah dengan menyampaikan apa yang saya tahu dan yakini sebagai sebuah masukan, untuk bertindak, bukan sekedar membangun tindakan dari persepsi.

Dan, perlu saya akui Presiden Jokowi adalah orang yang terbuka, dalam perjalanan saya sebagai anak bangsa yang menyalurkan aspirasi di ruang publik, baru kali ini saya diundang langsung Presiden datang.

Orang boleh percaya atau tidak, saya ini belum pernah ketemu Jokowi. Ini penting, karena banyak orang menanggap dan berprediksi segalanya ke politik hehe…

Saya pernah sekali ketemu Jokowi ketika masih Walikota dan akan ikut Pilgub DKI. Itupun rame rame makan soto. Yang mengundang saya waktu itu adalah orang yang sekarang di medsos dikenal netizen sebagai “Jokowi Hater”.

Saya sendiri tak pernah berada dalam posisi “lover” ataupun “hater” terhadap siapapun. Saya selalu menjaga kewarasan saya dengan dasar “tak mungkin semua orang kita buat senang, tapi kita harus membangun respek satu sama lain baik dengan orang yang kita sukai ataupun tidak”.

Bicara soal pasar, saya selalu konsisten di arah pasar yang saya baca, katakan saja perbandingnnya zaman SBY dan Zaman Jokowi. Saya meyakini, jejak rekam pikiran saya membuktikan konsistensi itu.

Bahkan, anda boleh cek di pilpres saya katakan mau Prabowo, mau Jokowi, bahkan SBY lagi pun posisi iklim pasar keuangan tidak bagus, dan irsional mengatakan persepsi figur akan menguatkan Kurs disaat pemain domonan di pasar sudah ON scenario.

Beberapa paragraf di atas penting saya tuliskan, meski pasti ada yang menganggap saya lebay, tidak mengapa tapi positioning penulis menjadi penting agar pembaca memahami bahwa ini bukan tulisan politisi, ini hanyalah tulisan aspirasi dari WNI biasa saja dalam melihat pasar dan negeri ini.

Kembali ke makan siang di Istana, saya sempat bicara di awal ketika Presiden menunjukan foto-foto proyek irigasi dan sawah-sawah yang sedang dibangun. Saya mengutarakan ke Pak Presiden, data produksi gabah kita dibanding Vietnam lebih besar, tapi barang akhir berupa beras lebih besar Vietnam. Saya katakan bahwa itu ada soal paska panen juga, teknologi.

Presiden tampaknya memang menguasai isu ini, dia langsung memotong itu Rice Mill, dia mengatakan sudah melihat mesin penggilingan besar dan modern, yang menghasilkan beras yang banyak. Menurut Pak Presiden, kalau itu dilakukan penggilingan padi yang kecil-keci di desa milik petani akan habis gulung tikar. Beliau mengatakan di Indonesia kita juga harus melihat soal bisnis petani.

Saya kemudian mengatakan, kalau saya pernah dengar presentasi dan belum pernah melihatnya, mesin Rice Mill bisa juga kecil-kecil, Jadi, inefsiensi mesin giling lama di sentra penggilingan desa, sudah tidak menghasilkan banyak beras juga bahan bakarnya solar. Berdasarkan, dari presentasi yang saya pernah dengar, ada mesin kapasitas kecil di running skala kecil jalan dengan bio mass, dan bisa dioperasikan petani. Baiknya, program modernisasi itu mengganti mesin lama di penggilingan tradisional dengan mesin baru, tapi tetap mereka yang jalankan bisnis.

Beliau kemudian mencatat dan bilang, ya itu harus beliau lihat. Dan, saya pun mengutarakan apa adanya “saya juga belum lihat Pak, karena baru dengar presentasi saja dari laporan proyek percontohan”. Lalu, Presiden bilang “ya, terimakasih infonya”.

Lalu, diskusi berjalan, dan bicara satu per satu. Dalam diskusi soal “krisis” ini, saya mendapat giliran bicara terakhir, tentu kami masing-masing tak bisa bicara banyak. Maka, saya pun menyampaikan hal yang menurut saya penting dan genting diatasi Presiden sebagai Kepala Negara.

Saya katakan di awal Pak Presiden seperti juga sudah diutarakan tadi oleh senior kita di awal, sebaiknya dilihat data 2015 ke posisi tahun 1996-1997.

Yang saya rasakan pada waktu itu sebagai orang yang bekerja di Bursa Efek Jakarta (sekarang namanya Bursa Efek Indonesia), tidak ada indikator fundamental yang buruk, namun lalu tiba-tiba begitu iklim (teknikal) di pasar keuangan berubah total di 1998 dan dipicu politik semuanya menjadi berantakan seketika.

Saya katakan, ada masalah mendasar kita tidak menguasai surat berharga di pasar yang merangsek Kurs, dan begitu kurs tak terkendali dan bergerak cepat ke dasar (bottom) semua menjadi berubah.

Saya katakan, adalah penting bagi kita saat ini melihat di depan kurva daripada kita berdebat apakah ini seperti 1998 atau tidak. Di depan kurva, pertarungan pasar keuangan dari waktu ke waktu semakin kompleks. Dan, dari kompleksitas itu rasanya di depan kurva kita masih akan menemui banyak drama di papan catur antar bank sentral dominan.

Kalau itu cara kita melihat, maka kita belajar ke 1997, yaitu mencegah “1998 terulang”. Aksi itulah yang harus diambil saat ini, membuat permainan kita sendiri di depan kurva, bukan mengikuti kurva di belakang apalagi malah asyik berdebat masa lalu.

Saya katakan secara langsung, meski saya sering bilang di setiap kesempatan di media maupun medsos, bahwa struktur ekonomi kita sekarang semakin rapuh di hulu. Yang krusial, ketahanan pangan.

Saya katakan yang penting dan genting dilakukan saat ini menjaga stabilitas harga pangan, karena itu urusan rakyat kebanyakan yang tidak mampu meraih madu pasar keuangan dengan ‘ikut main saham dan dolar’ tapi merasakan dampaknya dari harga.

Sehebat apapun kita membangun optimisme pakai komunikasi, bagi rakyat kebanyakan medium komunikasi itu adalah kemampuan daya beli dan harga yang mereka temui sehari-hari.

Sebagaimana juga saya usulkan di media, saya katakan ke Presiden sebaiknya Bapak sebagai Kepala Negara menghitung cara logistik jangka pendek untuk menjaga stamina drama US Dolar ini. Baiknya, kalau kita tak terlalu kuat membawa penguatan di pasar, dana Operasi Pasar Terbuka berupa valas BI difokuskan dulu ke menjaga inflasi pangan. Ke sumbernya aja, digunakan untuk kurs ‘murah’ (relatif ke kurs pasar saat ini) yang diperoleh di masa kurs kemarin untuk pengadaan pangan saat ini.

Cara ini tentu tak begitu disukai pasar keuangan, karena itu harus juga dihitung bahwa ini dilakukan saat proyek memperbesar stok swasembada sedang dilakukan, jangan lama-lama, agar pas cadangan operasi logistik menipis yang kita tanam hari ini panen pada saat yang tepat.

Saya juga mengatakan, tidak mungkin US Dolar ini akan kuat terus. Ada saatya begitu titik terkuat, mereka akan balik lagi memborong aset di negara ke 3 yang menjadi murah karena penguatan mata uangnya.

Saya rasa capital inflow-outflow dana asing hanyalah drama, nanti juga masuk lagi. Kalau itu dramanya, daripada habis waktu merayu-rayu, lebih baik Presiden memulai “Budaya Investasi Lokal”.

Saya katakaan, bagi kelas menengah ikut ikutan, ini kan cari selisih aja beli di bawah jual di atas. Kalau itu kurva di depan yang kita liat, justru kita perlu khawatir, bahwa di depan kurva masalah kita adalah likuiditas Rupiah nya. Bisa ngak dibyangkan jika orang konvesi deposito Rupiah ke USD saat kurs 12 ribu dan membalik ke Rupiah lagi saat 14 ribu, ada selisih 2ribu rupiah yg harus ‘dicari’. Kalau cuma pindah kan gampang, kalau mau diambil? Itulah masalah di tahun 1998.

Saya katakan itu kita potong aja saat ini, Presiden harus ada sinyal kuat bahwa masa depan itu aset rupiah, daripada ke USD, pemerintah tawarkan Investasi Rupiah masa depan di harga sekarang. Kenapa demkian, karena saya yakin setelah semua sampai puncaknya, asset Rupiah yang dijatuhkan akan diambil lagi dengan harga murah (hostile take over) seperti selalu terjadi, dan kita seolah merasa krisis pulih dikarenakan dana inflow asing masuk, padahal sebelumnya outflow pun kalau kita pahami sejarah kapitalisme selalu “soal drama” menghantam asset murah di depan kurva.

Saya katakan, kalau begitu Pak Presiden bias memberi posisi swap (menukar) asset US Dolar hari ini dari masyarakat kita dengan nilai asset di depan kurva yang akan naik sebelum terlambat diborong balik oleh asing. Belilah mendahului kurva, ayo bangsaku kita bisa kok “kecil kecil menjadi bukit”, misalnya saja di depan kurva soal pangan dan energi alternatif akan jadi bisnis masa depan. Kenapa pusing merayu asing captal inflow disaat mereka lagi mau main drama keluar-masuk, padahal itu barang disitu-situ aja. Kita ambil aja sawah dari modal lokal, irigasi dari modal lokal.

Saya menutupnya denagn mengatakan, kalau investasi lokal ini dilakukan saat ini, maka jangka menengah akan sampai swasembada dan itu harus tepat itungannya untuk mengambil alih stamina yang kita pakai dalam zig zag operasi valas terfokus di jangka pendek untuk menahan harga perolehan importase pangan dan energi dalam usul pertama saya.

Menurut aspirasi saya sebagai warga Negara biasa saja, itulah zig zag kita `ditengah pertarungan besar antara The Fed (Bank Sentral Amerika), PBOC (Cina), BOJ (Jepang), ECB (Eropa). Dan, new deal yang mungkin jadi ide Presiden Jokowi seperti usul Keynes yang dilakukan oleh Presiden Roselvelt di Amerika Serikat untuk keluar dari krisiis besar 1929, yaitu belanja Negara besar-besaran di infrastruktur.

Tapi, tentu kita ingat belanja besar new deal ala Keynes di era Roselvelt, juga menyerap pengangguran yang besar bekerja di proyek infrastruktur pemerintah. Ini penting, agar isu seperti investasi infrastruktur dari Cina, tapi tenaga kerjanya juga dari negaranya. Rasanya, gaya new deal di era Roselvelt tidk begitu. Karena modelnya rakyatnya bekerja di pusat pertumbuhan yang diciptakan di proyek pemerintah.

Makanya, saya meyakini, kita akan keluar dari krisis jika konsolidasi modal nasional bergerak ke depan kurva, mengambil inestasi sawah, pangan, energy alternatif di harga saat ini. Kalau ini dilalui, kita akan seperti Cina 1998. Dimana, 1997 Kongres Partai Komunis Cina sudah menetapkan konsensus soliditas politik ekonomi mendahului kurva krisis moneter di Asia 1998. Fakta empiris mencatat, langkah 1997 Cina itu dimulai dari konsolidasi modal domestic, mampu mencuri kesempatan krisisi 1998 untuk menjadi kekuatan ekonomi baru yang kita lihat saat ini.

Akhir kata, saya ini penganut aliran #enjoyAja, ada yang suka ada yang tidak.. ada yang setuju ada yang tidak dengan yang saya katakana, tapi saya selalu menmpatkan diri seperti nasihat Ibu saya “kita harus menjadi orang yang direspek orang lain, kalau senang dan tidak senang kita juga pasti banyak tidak puas dalam hidup ini, tapi bangunlah respek”.

Saya sebagai warga Negara biasa saja sudah menikmati makan siang (yang menurut saya relative sederhana disbanding institusi Negara lain yang pernah mengundang diskusi meja makan, di tempat lain terasa “hotel bintang 5 pindah” di istana kemarin menurut saya seperti “kantin belakang pindah ke dalam” hehehe, tapi saya rasa itulah kelebihan Presiden Jokowi)

Mohon maaf, jika ada yang terlewat ingin saya sharing dengan warga Negara lainnya tentang apa yang saya utarakan di acara dengan Presiden Jokowi ini. Saya mensharing hanya yang jadi bagian saya, jangan tanyakan bagian yang lainnya, bahkan respon Presiden. Yang bsa menjawab soal itu ya masing-masing yang hadir. Saya hanya mewakili pendengaran , pikiran dan perkataan yang saya ingat untuk ditulis.

Akhir kata, positivism bagi saya bukanlah bicara yang indah-indah, tapi bicara apa adanya. Jangan hanya bicara di belakang, Alhamdulillah diberi kesempatan oleh Presiden Jokowi bicara langsung, meski waktu terbatas, semoga yang saya katakan ada manfaatnya untuk negeri ini mencegah krisis, dan melangkah bersama mendahului kurva yang akan terjadi dalam pertarungan eksternal.

Suka tidak suka, Presiden Jokowi adalah Kepala Negara. Pemahaman saya, dalam masa sulit seperti ini Kepala Negara adalah “political dealing” untuk mempersatukan bangsanya untuk kepentingan bersama, tugas politisi (elit) adalah menjadi “negarawan”, dan tugas kita sebagai warga Negara biasa saja ya “mengingatkan”. Saya hanya warga Negara biasa saja, semoga yang saya ingatkan ini semata karena saya merindukan Indonesia gemah ripah loh Jinawi bukan hanya di doktrin dan mitos, tapi di langkah kita dalam menujunya…. Semoga saja!

-yanuar Rizky, WNI biasa saja

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.