Sinyal Presiden Jokowi: Pilkada DKI, Ketimpangan Sosial dan Isu Redistribusi Lahan

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 22 April 2017:
Sinyal yang dikirimkan Presiden Jokowi sebelum dan setelah pilkada DKI adalah soal lahan.

H-2 pilkada DKI (17 April 2017) dalam pertemuan dengan Ulama dan Tokoh Islam, beberapa media memuat pernyataan Yusuf Mansyur bahwa dalam pertemuan itu Presiden sempat melontarkan wacana pemerintah mengarahkan Taipan untuk meredistribusi lahannya untuk kepentingan masyarakat melalui kerjasama dengan ormas Islam.

H+3 setelah Pilkada DKI (22 April 2017) setelah hasil Quick Count KPU diketahui dimenangkan oleh Anis-Sandi dengan jarak suara yang signifikan dari pertahana Ahok-Djarot, sekali lagi Presiden Jokowi mengirim sinyal soal lahan.

Di acara Kongres Ekonomi Umat – MUI, seperti di beritakan banyak media, Presiden bicara soal dapat digeser dan dicopotnya seorang Menteri jika tidak mencapai target yang ditetapkannya. Banyak media, juga media sosial menangkap anglenya adalah Resufle dalam kondisi reposisi Presiden menuju 2019.

Mungkin benar arahnya adalah reposisi untuk konsolidasi kekuatan Presiden dalam menjaga stabilitas serta posisi politiknya di pemilu raya 2019. TAPI, bagi saya yang menarik adalah contoh target yang dikemukakan Presiden lagi-lagi soal redistribusi lahan.

Dia mengambil contoh target penerbitan sertifikat rakyat yang dibebankan ke Menteri Pertanahan memang tinggi, karena beliau ingin ini segera selesai dengan jumlah signifikan dan dirasakan rakyat.

Saya pikir, Presiden telah mampu menangkap sumber masalah adalah ketimpangan sosial. Itu juga bisa dilihat dari exit pool beberapa lembaga survey dalam Quick Count menunjukan 52% masyarakat berpendapatan rendah (dibawah Rp 2 juta sebulan) memilih Anis-Sandi.

Barangkali, Presiden Jokowi menangkap sinyal isu agama yang berkembang tidak akan efektif jika kepuasan masayarakat berpenghasilan rendah tidak berada dalam ketimpangan yang terus melebar. Sehingga, dalam teori politik elektoral rakyat yang sulit selalu akan menghukum pertahana.

Ada 2 hal mendasar yang disasar, (1) soal ketimpangan dan (2) yang saat ini dekat dalam komunitas aksi rakyat, yaitu ulama dan ormas Islam.

Instrumen ketimpangan yang disasar adalah soal redistribusi lahan, itu sinyal jelas dalam acara Presiden dengan tokoh dan ormas Islam pada saat sebelum dan sesudah Pilkada.

Saya memahami kenapa Lahan adalah kunci memperbaiki ketimpangan. Itu bisa dijawab dari data hasil sensus pertanian terakhir (2013).

[Data Sensus Pertanian BPS (2013), dicapture dari foto slide presentasi Abdul Salam (Ketua Pokja Pupuk Nasional, Kemenko Perekonomian)]

*Data Sensus Pertanian BPS (2013), dicapture dari foto slide Abdul Salam (Ketua Pokja Pupuk Nasional, Kemenko Perekonomian)

Kalau kita lihat data pendapatan petani (usaha tani) sawah per 1 hektar per sekali panen padi sawah adalah sebesar Rp4.507.690.

Kalau 1 tahun panen hanya bisa 2 kali artinya setahun rakyat di desa (petani) mendapatkan uang per tahun Rp.9.000.000. Jelas itu dibawah rata-rata upah minimum (UMR) nasional yang sudah di atas Rp12.000.000 per tahun.

Ketimpangan, sangat jelas ada di buruh ambang batas (UMR) dan petani. Sementara, masyarakat sebagai konsumen juga teriak-teriak harga pangan yang naik, petaninya juga teriak.

Jadi, kalau kita bicara kedaulatan pangan dalam arti ketahanan pangan diperoleh dari swasembada, maka kita mengalami ancaman dari sisi hilangnya generasi petani. Karena, penghasilan yang didapatkan tidak menarik. Sisi suply masalah dari sisi penghasilan, sisi demand pun masalah dari daya beli. Itulah ketimpangan!

Ini masalah kita hari ini, jangka pendek yang kalau kata orang politik sumbu pendek mudah kecewa sekaligus mudah “diasuh” kekuatan lain.

Lalu, kenapa intrumen untuk atasi ketimpabgan adalah lahan?

Kalau diliat data Sensus Pertanian 2013 biaya sewa lahan adalah biaya terbesar, yaitu 29,86%. Artinya, kalau redistribusi lahan dapat dilakukan jadi milik petani, maka otomatis (ceteris paribus) pendapatan usaha tani akan menghemat biaya sewa lahan.

Cost Reduction Program (CRP) biaya sewa dari kepemilikan lahan tani menjadi milik sendiri itu akan menambah pendapatan usaha tani per hektar sekali panen menjadi Rp8.293.123. Atau dengan asumsi panen 2 kali setahun, per hektar per tahun usaha tani menghasilkan sekitar Rp16,6Juta. Setidaknya ketimpangan dengan UMR telah mendekati.

Tentu saja, jika kepemilikan lahan lebih dari 1 hektar juga akan memperbaiki ketimpangan.

Tapi, masalah tidak linear dan matematis sebatas lahan. Karena, lahan sendiri tidak semuanya lahan siap dan cocok untuk padi dan pertanian. Juga, ada peternakan.

Ada faktor lahan, infrastruktur (misal irigasi dan jalan untuk distribusi hasil panen), kemampuan (skill) petani dan juga teknologi rekayasa pertanian pendukung.

Masalahnya kompleks, tapi setidaknya per data sensus pertanian jelas soal redistribusi lahan menjadi milik petani akan meningkatkan pendapatan petani dan berkontribusi mengurangi kesenjangan.

Sisi lain, lahan yang siap juga rata-rata di daerah yang sudah bersertifikat dan dimiliki pemelik modal dalam kantung “land bank” di neracanya.

Itu kenapa, ada juga isu pemerintah akan meminta konglomerat (bahasa media memakai kata Taipan) untuk meredistribusi lahannya. Ya, itu tadi karena sebagian besar memang milik mereka.

Karena pebisnis properti dan lahan ini pulalah usaha tani mengenal sewa lahan dengan harga yang tidak murah karena bersaing dengan harga lahan yang digoreng oleh taipan properti.

Jadi, bagi saya jelas sinyalnya hasil pilkada DKI bicara kesenjangan sosial. Memang tidak ada petani di DKI, tapi kalau bagi-bagi sembako saja masih jadi andalan maka artinya terjadi kesenjangan juga di masyarakat industri yang jadi ciri ibukota.

Balik ke kampung jadi petani pun pendapatan rendah, di kota pun ya tetap hanya lebiih sedikit tapi tetap ambang batas (miskin). Inilah fakta, budaya agraris sudah ditinggalkan dan masyarakat industri belum kita pegang betul.

Saya setuju, masalah kesenjangan harus kita perbaiki. Menghidupkan kembali negeri agraris melalui redistribusi lahan memang peran negara yang akan mengintervensi kesenjangan di daerah secara cepat (Quick Win). Keliatannnya itu yang coba dipilih Presiden dalam sisa masa pemerintahannya menuju 2019.

Meski, saya malas bicara politik praktis, tapi tampaknya sinyal Menteri Pertanahan yang dijadikan contoh bisa juga diartikan sinyal Presiden ke Wapres yang kata kehebohan di media sosial berbeda pilihan dukungan di pilkada DKI. Karena, kata banyak orang Menteri pertanahan ini pribadinya adalah orang dekat Wapres.

Aaah ngelantur deh…. pokoknya siapapun pemimpin politik anda harus mengatasi kemiskinan yang diakibatkan ketimpangan struktural kapital!

Salam #enjoyAja,
Yanuar Rizky, WNI biasa aja

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.