Sistem Manajemen, Standar Akuntansi dan Sistem Audit * Tanggapan atas analisa Kwik Kian Gie

-Yanuar Rizky-
Jakarta, 25 Juli 1999:
Tulisan ini mencoba untuk mengkaji lebih lanjut analisa yang dipaparkan oleh Kwik Kian Gie tentang Standar Akuntansi Indonesia yang dimuat di Kompas tanggal 19 Juli 1999. Pola pikir yang dikembangkan dalam tulisan ini adalah dari sudut pandang auditor sedangkan tulisan Kwik Kian Gie tampaknya lebih mencerminkan sudut pandang ekonom, sehingga diharapkan wacana pembahasan tentang tantangan dan peluang yang dapat diberikan oleh sistem audit di tanah air dapat lebih simultan di kemudian hari.

Fenomena hubungan keterkaitan antara Auditor, Manajemen dan Publik

Analisa Kwik Kian Gie memberikan indikasi yang sangat kuat bahwa laporan keuangan yang telah diaudit (Auditan) telah turun nilai gunanya di mata publik pemakai informasi tersebut. Menurut Kwik, laporan auditan yang mendasarkan kepada bukti dasar dalam mengambil kesimpulan audit dapat berakibat timbulnya disparitas nilai informasi dengan adanya praktek mark up dan manipulasi dokumen. Hal tersebut menurut Kwik dapat terlihat lebih nyata lagi dengan adanya hasil audit tahunan (laporan keuangan) dengan audit yang bersifat investigative (due diligence).

Secara teoritis dapat dijelaskan bahwa sistematika hubungan keterkaitan antara tiga pihak yang memiliki kepentingan dari suatu proses audit, yaitu manajemen badan usaha, publik pemakai informasi laporan keuangan serta auditor, dimana auditor atas dasar fungsinya bertugas untuk memberikan keyakinan kepada publik bahwa laporan keuangan badan usaha tidak salah saji secara material, baik itu aspek subtantif maupun aspek normatif. Dengan demikian laporan auditan ditujukan sebagai media informasi yang dapat dijadikan acuan pertanggungjawaban manajemen kepada publik atas aktifitas badan usaha selama suatu periode, sehingga dapat diputuskan oleh publik itu sendiri tentang kualitas manajemen maupun kuantitas keuangan badan usaha pada periode tersebut. Secara sederhana profesi auditor dituntut untuk dapat melakukan pekerjaan audit yang profesional agar kepentingan publik untuk memperoleh fairness reporting yang terhindar dari kepentingan “kosmetik” pelaporan manajemen yang secara built in relatif tertanam dalam perilaku manajemen.

Sistem akuntansi telah memberikan rambu-rambu yang dapat diterima oleh semua pihak dalam menilai kewajaran laporan auditan tersebut yaitu standar akuntansi. Dalam analisanya Kwik tampaknya telah menyangsikan bahwa standar akuntansi Indonesia memiliki daya komparatif yang cukup efektif. Hal tersebut tercermin dari analisa yang memiliki kesan bahwa jika audit dilakukan oleh auditor internasional untuk due dilligence hasilnya lebih menakjubkan dibandingkan hasil audit tahunan auditor nasional yang didasarkan kepada standar akuntansi yang berlaku di Indonesia. Kesan pertama penulis terhadap analisa tersebut mencermikan bahwa Kwik menilai bahwa meskipun tujuan audit berbeda seharusnya standar yang jadi acuan audit pun sama, sehingga publik tidak bingung ataupun juga merasa dikhianati oleh “kolusi” auditor dengan manajemen dengan adanya dua hasil laporan auditan yang berbeda, atau dengan kata lain satu kali audit dua tiga tujuan publik tercapai. Teori-teori audit telah mengajarkan kepada kita bahwa sangatlah beralasan bila publik merasa kecewa apabila tali rantai tujuan hubungan tiga pihak terputus, akan tetapi apakah benar yang menyebabkan kegagalan proses tersebut adalah akibat lemahnya standar akuntansi yang dianut (Indonesia).

Penulis berpendapat Kwik terlalu cepat (parsial) menghukum Standar Akuntansi yang berlaku umum di Indonesia merupakan sumber masalah yang menyebabkan terjadinya kegagalan sistematis dari setiap hasil audit Akuntan Publik Nasional. Ada tiga masalah fundamental yang seharusnya dibahas secara terintegrasi, yaitu masalah sistem manajemen, standar dan profesionalisme auditor untuk mencapai sebuah rerangka konseptual sistem audit yang memiliki nilai dan daya guna yang baik.

Implikasi struktural terhadap Sistem Manajemen

Secara struktural, sistem manajemen dunia usaha dapat dibentuk oleh lingkungan makro dan lingkungan mikro yang melingkupinya. Buku teks terbitan luar negeri selalu memberikan jargon bahwa lingkungan makro (antara lain regulasi, potensi pasar) sulit atau tidak dapat dipengaruhi oleh manajemen sedangkan lingkungan mikro (antara lain fungsi produksi) relatif dapat dipengaruhi oleh manajemen. Pengarang buku teks tentu tidak sembarangan berteori melainkan mereka menelurkan teori yang telah ditelaah dan diuji terhadap fenomena dunia usaha. Akan tetapi pertanyaannya apakah memang karakteristik lingkungan di Indonesia memang seperti teori tersebut ?. Jawabanya kita semua tahu rezim orde baru telah mewariskan sebuah kekuatan dunia usaha yang sangat ber-KKN sampai-sampai lingkungan makro dapat dengan mudah dipengaruhi melalui paket-paket regulasi yang menguntungkan kelompok usaha tertentu.

Struktur dunia usaha yang sangat nepotis telah melahirkan perspektif yang keliru tentang potensi pasar. Potensi pasar yang luas didukung oleh produk regulasi yang nepotis telah melahirkan strategi pemasaran yang ditarik oleh faktor permintaan lebih dominan (pull factor) dibandingkan faktor dorongan (push factor) dari penawaran akan produk. Hal tersebut tercermin sulit bangkitnya sektor riil akibat deraan krisis moneter, karena logikanya jika dunia usaha telah terbiasa dengan model push factor pasti telah lahir produk-produk kreatif yang menjamin dapat bertahan hidupnya perusahaan. Dunia usaha yang cenderung mengambil strategi pull factor mengkosentrasikan faktor produksi sebagai titik sentral sistem manajemen. Implikasi dari strategi dunia usaha tersebut mengakibatkan lemahnya perhatian manajemen terhadap pengendalian strategi.

Sebagai ilustrasi pada dasarnya dunia usaha nasional yang nepotis tidak perlu pusing-pusing memikirkan daya kompetitif produk sebagai akibat hadirnya regulasi yang mengarah monopolis, atau dengan kata lain sebesar apapun biaya produksi (Inefisiensi dan inefektifitas) tetap saja dibeli oleh pangsa pasar yang luas. Implikasi selanjutnya adalah pada dasarnya sistem manajemen dunia usaha tidak pernah tahu harus memulai darimana restrukturisasi produk yang didasarkan kepada struktur biaya yang memiliki daya kompetitif. Jika mereka memang perduli pasti mereka telah memiliki sistem akuntansi manajemen yang menunjukan nilai guna setiap tahapan manajemen produksi, artinya ketika krisis berlangsung bukan asal pangkas biaya (misalnya PHK) akan tetapi dilakukan kajian reduksi biaya yang tidak efisien dan efektif. Sangatlah sulit untuk menjelaskan detail restrukturisasi biaya dalam tulisan singkat ini, akan tetapi penulis ingin menunjukan bahwa pada dasarnya tidak pernah ada kepedulian dibuatkan sistem akuntansi yang integratif dalam dunia usaha yang nepotis.

Pertanyaannya jika tidak perduli akan sistem akuntansi, apa yang harus diaudit dari dunia usaha?. Jawabannya sederhana saja untuk memperoleh kredit dan layak Go Publik perusahaan secara azas internasional harus memiliki laporan keuangan yang diaudit, artinya kebutuhan itu hanya diperlukan untuk tujuan yang sederhana bukan untuk tujuan willingness to control. Ketidakmauan mengendalikan keputusan melalui informasi akuntansi bukan saja dialami manajemen saja, akan tetapi betapa besar kebobrokan bankir kolutif yang didasarkan oleh bukti dasar bahwa kredit dikucurkan untuk perusahaan yang memiliki laporan keuangan auditan yang memenuhi syarat atau proses listing di bursa yang menganut asas bukti dasar yang sama. Selanjutnya apakah publik tidak memiliki hasrat mengendalikan keputusan ?, tentunya kita semua tahu investor di pasar modal kita lebih banyak yang bersifat follower atau secara kasar adalah investor yang berhasrat untuk profit taking jangka pendek sehingga penggunaan laporan keuangan sebagai dasar investasi sangatlah kecil dibandingkan faktor pergerakan harga saham per detik yang lebih menjanjikan keuntungan (sebagai ilustratif perusahaan lapis kedua di BEJ meskipun dalam kondisi rugi ataupun terlambat menyampaikan laporan auditannya masih bisa digerakan naik harganya), akhirnya laporan keuangan auditan hanyalah sebuah syarat normatif untuk memperoleh kredit dan masuk ke bursa. Untuk lebih menyederhanakan analisa selanjutnya, penulis berasumsi bahwa pejabat kredit Bank ataupun otoritas pasar modal sangat percaya bahwa laporan auditan telah memenuhi standar yang seharusnya (normatif).

Standar Akuntansi: suatu upaya standarisasi penyajian dan pengakuan sebuah peristiwa

Sebagai akibat tumbuhnya industri jasa audit yang hanya dibutuhkan untuk tujuan sederhana sebagaimana diuraikan di atas telah timbul persepsi keliru tentang akuntansi dan standar akuntansi di mata publik. Akuntansi secara filosofi modern dapat diartikan sebagai metode penyajian dan pengakuan (kuantifikasi) setiap peristiwa yang terjadi untuk disajikan menjadi informasi yang berguna bagi pemakai. Secara umum akuntansi telah membedakan dua hal peristiwa yang berbeda, yaitu peristiwa yang lebih bersifat kualitatif (akuntansi manajemen) serta peristiwa yang lebih bersifat kuantitatif (keuangan). Masyarakat lebih mengenal akuntansi keuangan dengan produknya laporan keuangan sedangkan akuntansi manajemen kurang dikenal oleh masyarakat. Standar sendiri secara filosofis dibuat sebagai produk “kompromistis” dari pelaku bisnis, akuntan dan publik (ada pula pendapat akademisi yang memasukan unsur pemerintah untuk negara berkembang) untuk menciptakan formulasi penyajian dan pengungkapan peristiwa yang dapat berterimakan umum sehingga informasi yang dihasilkan memiliki daya guna dan daya banding.

Standar akuntansi keuangan (SAK) secara normatif diterima lebih luas, karena setiap usaha pasti memiliki laporan keuangan yang memiliki kesamaan umum maupun kesamaan khusus (per industri) sedangkan akuntansi manajemen lebih ke arah kompromistis manajemen perusahaan sehingga standar yang diciptakan biasanya adalah sistem dan prosedur. Kembali ke analisa Kwik, penulis berpendapat hasil audit yang berbeda bisa diakibatkan pula oleh tujuan audit yang berbeda, artinya audit tahunan lebih mendasarkan kewajarannya kepada standar akuntansi keuangan sedangkan investigative audit dapat lebih menyeluruh atas dasar standar akuntansi keuangan dan juga dapat didasarkan kepada sistem dan prosedur manajemen kelas dunia untuk industri perusahaan yang diaudit (Industry Best Practice). Industry best practice yang menjadi acuan audit dapat pula dibentuk sesuai dengan pokok-pokok tujuan audit yang diinginkan oleh pemberi kerja, misalnya auditor internasional yang ditugaskan oleh BPPN untuk melihat kelayakan sistem kredit Bank X maka standar yang digunakan adalah SAK dan credit analysys best practice, sehingga wajar hasilnya lain.

Penulis mencoba meraba kemungkinan lain dari analisa Kwik yang merasa bahwa SAK Indonesia tidak mengakomodir industry best practice dalam standarnya, maka jawabannya dapat dijelaskan melalui aspek historis lahirnya SAK di Indonesia serta aspek fundamental Standar akuntansi itu sendiri. SAK di Indonesia lahir di saat booming di pasar modal telah terjadi, sehingga mau tidak mau akuntansi dari perusahaan pun harus berkelas dunia, utamanya banyaknya BUMN yang diproyeksikan untuk dual listing pada saat itu. Atas dasar hal tersebut, SAK yang saat ini berlaku merupakan standar yang diadaptasi dari International Accounting Standard (IAS). Besar harapan dari para akuntan pada saat itu bahwa dengan mengadaptasi standar internasional, maka akuntansi perusahaan Indonesia pun dapat dipaksa untuk memiliki kualitas kelas dunia. Penulis sependapat dengan Kwik, jika memang saatnya untuk mengkaji kembali SAK adalah dengan mencoba untuk lebih membumikan SAK untuk kepentingan audit laporan keuangan tahunan sesuai dengan kondisi struktur manajemen yang tidak bisa dipaksakan persis berkelas dunia. IAS dibentuk oleh negara-negara yang memiliki sistem manajemen yang cukup baik sehingga banyak hal yang diatur tidak banyak menimbulkan masalah. Sebagai ilustrasi, aktiva tetap dalam PSAK diatur atas dasar nilai buku (yang diperoleh dari nilai perolehan dikurangi penyusutan), bahaya mark-up yang dikhawatitrkan oleh Kwik dapat terjadi jika nilai buku melebihi nilai pasar sebagai akibat terlalu tingginya nilai perolehan dibandingkan harga pasar aktual atau secara sederhana mark-up terjadai atas nilai perolehan.

Sekarang pertanyaannya apakah tidak ada kewajiban bagi auditor secara profesional untuk mengkaji perlu-tidaknya revaluasi ?. PSAK 16 alinea 29 (16.11.29) mensyaratkan bahwa revaluasi aktiva tetap tidak diperkenankan secara akuntansi yang mendasarkan pengukuran awal aktiva tetap adalah atas dasar nilai perolehan, mewskipun dimungkinkan harus melalui ketentuan pemerintah. Artinya, secara SAK tidak dapat disalahkan jika tidak dilakukan revaluasi yang mengarah ke harga wajar (pasar) sepanjang tidak diatur oleh pemerintah. Untuk menemukan siapa saja yang selama ini melakukan mark-up terhadap nilai perolehan sebenarnya mudah saja (tidak perlu melakukan due delligince atas seluruh perusahaan nasional sebagaimana yang diusulkan oleh Kwik) sepanjang secara legal dikeluarkan peraturan pemerintah yang mengaturnya, dan jika itu terjadi publik cukup melihat angka yang disajikan dalam rekening “Selisih penilaian kembali aktiva tetap” beserta penjelasannya yang wajib disajikan tidak terpisahkan dari laporan auditan itu sendiri.

Uraian di atas telah menunjukan bahwa pada dasarnya di negara maju sangat mudah untuk mengetahui harga wajar dari sebuah barang. Ilustrasinya auditor yang memeriksa laporan keuangan yang meyajikan tahun pertama dari suatu aktiva tetap dapat dengan mudah mencari nilai pasar barang tersebut dengan cara melihat database harga barang yang mutahir ataupun jika tidak ada database yang mutakhir dapat dilakukan cara konfirmasi kepada pemasok barang tersebut sehingga metode penilaian atas dasar nilai perolehan dapat dianggap memenuhi unsur fairness. Di negara kita yang telah terlanjur membentuk struktur manajemen yang nepotis tidak mudah untuk mendapatkan konfirmasi tersebut sebagai akibat adanya pengenyampingan kekuatan hukum atas setiap dokumen. Seorang pemasok tidak segan-segan untuk menandatangani nilai kuitansi yang lebih tinggi dari nilai transaksi dan bahkan untuk menjawab konfirmasi dari auditor rekanan pun mereka tetap akan menjawab hal yang sama, hal tersebut diakibatkan setiap pihak tidak memiliki legal control yang built in dalam perilakunya sehari-hari.

Secara fundamental standar seharusnya melihat kondisi lingkungan usaha yang belum sempurna dengan mengarahkan semua pihak yang berkepentingan untuk mengkaji kembali SAK (jika memang diperlukan) duduk bersama untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap standar internasional yang diadaptasi sesuai dengan kondisi perilaku pelaku bisnis di Indonesia. Jangan mendasarkan sebuah standar yang secara fundamental diasumsikan untuk kondisi usaha yang ideal sementara pelaku bisnisnya sendiri masih tertinggal jauh di belakang. Secara jargon, dapat dikatakan adapatasi yang dilakukan tanpa penyesuaian akan melahirkan “generasi kodok” yang melangkah secara meloncat-loncat sehingga terkadang makanan utama yang terletak di atas tanah yang seharusnya dilalui terlewati setelah sang kodok mencapai tujuan. Mejawab pertanyaan kemungkinan dimasukannya industry best practice yang mendorong sistem manajemen yang baik dalam kajian selanjutnya atas SAK Indonesia dapat saja dilakukan sepanjang semua pihak yang berkepentingan dalam proses pembuatan SAK (pelaku bisnis, akuntan, publik dan mungkin pemerikntah) dapat urun rembuk dan memasukan beberapa masalah yang diakomodir sesuai prinsip akuntansi keuangan. Hasilnya pasti ada beberapa hal yang tidak dapat diakomodir oleh akuntansi keuangan sebagai akibat dari terlampau kualitatifnya hal tersebut sehingga hanya memungkinkan diatur sesuai asas akuntansi manajemen. Yang perlu diingat oleh Kwik ataupun publik secara prinsip adalah jangan sampai mencipatkan SAK yang tidak auditable dan terlalu sempit, misalnya sebenarnya PSAK 16.11.29 sebenarnya telah mengakomodir kemungkinan terjadinya perubahan lingkungan yang bersifat khusus tanpa membuat standar itu sendiri menjadi terlampau khusus atau PSAK-PSAK lainnya yang dikeluarkan sesuai dengan karakteristik khusus per industri.

Sistem audit sebagai alat reformasi kultural

Gambaran dan sudut pandang yang telah penulis uraikan di atas semoga dapat lebih memfokuskan pola pikir semua pihak bahwa standar yang dimaksud adalah PSAK pada dasarnya tidak perlu banyak berubah, karena hal tersebut lebih mencerminkan metode akuntansi kelas dunia yang seharusnya terjadi. Akan halnya ketidakidealan sistem manajemen yang nepotis harus didorong untuk dapat mencapai nilai-nilai asumsi sistem manajemen kelas dunia seperti yang mendasari disusunya IAS yang menjadi acuan SAK. Solusi yang dapat ditawarkan untuk mendorong manajemen melakukan sistem manajemen kelas dunia adalah dengan menetapkan peraturan pemerintah yang mewajibkan manajemen memiliki lembaga internal audit yang berkelas dunia pula yang akan memantau manajemen untuk selalu melakukan proses bisnis berkelas dunia untuk lebih menjamin terciptanya manajemen yang tahan banting dan bersrategi yang tepat guna.

Tentunya akan ada pertanyaan dari publik, jangankan internal auditor yang terkait langsung dalam struktur manajemen eksternal auditor pun tidak mampu menyajikan informasi yang memenuhi kriteria publik ?. Sebenarnya secara profesional, internal auditor maupun eksternal auditor harus dapat melakukan peanyampaian kesimpulan yang independen meskipun mereka dibayar oleh manajemen, akan tetapi kritik tajam dari publik tersebut telah mensyaratkan pentingnya auditor secara institusi (Ikatan Akuntan Indonesia) untuk mengkaji standar profesionalnya secara lebih membumi. Misalnya standar profesional akuntan publik (SPAP) seksi 326 yang berjudul Bukti Audit telah menimbulkan kesalahan yang melembaga terhadap prosedur audit dalam memperoleh bukti, karena bukti audit secara normatif dapat diartikan bukti dasar yang memiliki kekuatan legal sedangkan bukti-bukti yang bersifat subtantif cenderung diabaikan.

Secara konservatif, banyak prosedur audit yang sangat sederhana dalam melakukan uji subtantif lebih disukai oleh auditor untuk melakukan prosedur pengecekan dokumen dasar (vouching) dibandingkan melakukan analytical procedure untuk mengarahkan uji subtantif sebelum menelusuri dokumen dasar yang diperlukan. Secara profesional, auditor merasa bahwa bukti dasar tersebut bukanlah tanggung jawabnya, secara legal seluruh isi laporan keuangan tersebut adalah tanggung jawab manajemen, sedangkan auditor hanya bertanggungjawab atas kewajaran penyajiannya sesuai standar yang berlaku. Dengan mengubah kata bukti audit dalam SPAP seksi 326 menjadi norma pemeriksaan pemahaman akan bukti audit akan mendorong auditor untuk mulai mempertimbangkan aspek subtantif disamping hanya sekedar aspek normatif bukti dasar audit atau dengan kata lain standar audit tentang penggunaan asersi dalam merumuskan tujuan audit (SPAP seksi 326.3.09) akan lebih ditekankan untuk digunakan oleh auditor.

Perlu diketahui, dalam menggunakan asersi biasanya didasarkan penilaian profesional tentang kecukupan bukti audit dari sisi biaya dan manfaat (SPAP seksi 326.7.21), sehingga wajar saja untuk audit rutin laporan keuangan tahunan jarang dilakukan prosedur uji subtantif yang lebih luas dibandingkan proses due dilligence. Pertanyaannya mengapa tidak setiap kali audit dilakukan sifat uji subtantif yang luas, sehingga setiap tahun diperoleh informasi yang lebih akurat dari laporan auditan tahunan ?, jawabannya adalah biaya audit yang akan dikeluarkan sangat besar sebagai akibat lebih banyaknya konsumsi waktu tenaga profesional auditor yang diperlukan, artinya jika harus “dipaksakan” standar profesional audit yang lebih uji subtantif dalam laporan auditan tahunan maka publik (khususnya pemegang saham perusahaan) harus siap untuk menyetujui anggaran audit laporan keuangan yang sangat besar. Di atas telah diuraikan, betapa pada dasarnya proses audit sangat ditujukan untuk tujuan yang sederhana, sehingga secara profesional kemungkinan besar proses audit hanya untuk hal-hal yang normatif. Hal tersebut berakibat kepada konsukuensi logis terhadap perilaku profesional auditor yang kemungkinan besar hanya melakukan uji normatif sepanjang masih diperkenankan dalam SPAP maupun SAK.

Siklus audit ideal yang diperlukan oleh sistem manajemen perusahaan nasional yang telah rapuh saat ini adalah dengan menghidupkan (meningkatkan) peran internal auditor sebagai faktor pendorong terciptanya kualitas manajemen yang sejalan dengan world class – industry best practice, kemudian secara bersama-sama (antara pemerintah, manajemen dan publik / pemegang saham) menumbuhkan pentingnya manfaat uji subtantif dilakukan (secara sistematis dapat digunakan review oleh eksternal auditor atas laporan auditan internal auditor) serta dibudayakannya peer review oleh institusi profesional. Terlepas dari masalah kegagalan kultural setiap unsur di atas (akuntan, publik, manajemen dan sistem pemerintahan), perlu diingat oleh institusi profesional akuntan (IAI) bahwa gugatan publik yang semakin meragukan kualitas judgement auditor telah menyiratkan adanya pekerjaan rumah lainnya untuk yaitu lebih menghidupkan saling mereview (peer review) antar kantor akuntan publik atas dasar SPAP yang lebih kontemporer, sehingga lambat laun kultural manajemen, publik dan dunia usaha dapat terdorong untuk lebih bertanggungjawab dalam menjalankan perannya dengan adanya willingness to control di setiap unsur.

-yanuar rizky, Senior Auditor PT Bursa Efek Jakarta, pemerhati masalah akuntansi dan manajemen, pendapat dalam tulisan ini adalah pendapat pribadi

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.