Sosial Demokrasi dan BPJS

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, iceBahn (Kereta) Berlin-Frankfurt, 3 Januari 2014:
Berlin boleh dibilang jadi ‘the living legend’ berakhirnya era politik ideologis ekstrim kiri (Komunis) dan ekstrim kanan (Demokrasi). Runtuhnya tembok Berlin menyatukan Jerman Barat dan Jerman Timur menjadi satu Jerman, serta tercerai berainya Uni Sovyet (kekuatan blok timur) menjadi beberapa negara. Era perang dingin yang sudah tidak dikenal oleh anak-anak kelahiraan 90 an.

Lalu, Jerman dikenal sebagai negara dengan aliran sosial demokrasi (sosdem), menyatakan aliran demokrasi (politik) yang kental dengan mainstream pasar dalam perekonomiannya disesuaikan dengan model sosial ekonomi yang menjadi keunggulan komunisme. Sosdem kurang lebih, secara politik demokrasi tapi tidak melepas perekonomian seluruhnya ke pasar.

Salah satu cirinya adalah ‘asuransi jaminan sosial’, dimana asuransi adalah produk kapitalis dalam melakukan lindung nilai masa depan dari transaksi hari ini, namun itu ditanggung oleh pemerintah (negara) sebagai bagian dari ‘jual-beli’ pembayaran pajak (kewajiban Warga negara) menjadi haknya dalam memperoleh perlindungan negara.

Jadi, konsep jaminan sosial menuntut berlangsungnya sistem perpajakan yang taat azas (dari sisi wajib pajak) dan penggunaannya dalam anggaran negara harus kembali ke rakyatnya itu sendiri, sebagai pembayar pajak.

Selama perjalanan di Belanda dan Jerman kami ditemani Andri, mahasiswa Indonesia yang sedang mengambil S-3 water management di Belanda. Dalam perjalanan di Kereta, karena ingin melihat infrastruktur berkereta (transportasi publik) di negara maju. 

Soal, kereta memang nyaman berkereta di Jerman, stasiun kereta Berlin seperti bandara udara. Kereta dimanapun lebih ke moda transportasi rakyat, dengan stasiun sekelas bandar udaranya, menunjukan soal alokasi anggaran negara dari pajak telah bernilai tambah bagi negerinya. Soal inilah, Catatan terbesar bagi pengelola negara di Indonesia.

Disisilain, dalam perjalanan bercerita dengan Andry yang akan membawa 2 anak dan Istrinya ke Belanda Februari nanti. Dimana, bisa mengajukan ke Pemerintah kota dari beasiswa (pendapatan bulanannya) jika kurang dari living cost bisa mengajukan permohonan ke pemerintah kotanya.

Dititik ini, salah satu ciri negara demokrasi adalah pasar terbuka, Warga negara asing asal jelas keberadaannya (sekolah atau kerja), juga jadi objek jaminan sosial. Kenapa? Karena, mereka juga ikut bayar pajak, entah itu transaksi sehari-hari (PPN: Pajak Pertambahan Nilai) dan atau penghasilannya (PPh: Pajak Penghasilan).

Misalnya di Italia, cerita dari Masruri (mahasiswa S3 Elektronika di Universitas Parma) yang jadi teman overland kami sebelumnya, bahwa orang asing yang buka usaha kecil seperti toko dikenakan pajak Eur4000, dan pekerja (pengusaha) individual sesuai dengan laporan pajak-nya. 

Jadi, konsep perlindungan sosial di negara-negara eropa ini menganut azas pasar (terbuka) dan pengembalian pajak. Sepanjang bayar pajak, Warga negara-nya maupun Warga negara asing akan mendapat perlindungan, karena bayar pajak.

Perlindungan dasar dari jaminan sosial adalah kesehatan, pendidikan, dana pengangguran (sepenuhnya dan atau kekurangan sebagian dari living cost). Sistem seperti inilah, kenapa di negara maju tidak ada keributan ‘upah minimum’, karena ‘minimum living cost’ adalah dana menganggur. Otomatis kalau kerja akan diatas itu. 

Tapi, tentu saja dana pengangguran hanyalah terkait Warga negaranya. Bagi Warga negara asing tak bisa nganggur, akan dideportasi. Kecuali, ada kekurangan terkait izin tinggal yang jelas seperti dapat bea siswa sekolah.

Komponen upah pun sudah tidak menghitung kesehatan dasar, karena itu bagian jaminan sosial. Ini membuat konsep upah produktifitas, dimana soal upah adalah urusan antara pekerja dengan pemberi kerjanya, karena soal-soal dasar ditangani negara. Demikian pula, komponen biaya PHK juga sudah menjadi urusan negara. 

Dampaknya, negara akan mengalokasikan anggaran untuk penciptaan lapangan kerja warganya, karena kalau tidak anggaran berjalan negara akan jebol membayar klaim dana pengangguran. Itulah kenapa, di Eropa dan Amerika Serikat 5 tahun terakhir ini isu defisit fiskal, sehingga Bank Sentralnya melakukan operasi pembelian surat utang pemerintahnya menjadi dominan. Karena itu terkait naiknya pengangguran.

Coba kita lihat begitu lapangan kerja sulit di Eropa, maka itu jadi isu politik besar seperti sembako di Indonesia. Dan, fokus pemerintahnya akan ke penciptaan lapangan kerja, karena jika tidak, anggaran pemerintah terbebani jaminan sosial.

Nah, sekarang dimana posisi BPJS yang Implementasi di Indonesia 1 Januari 2014? Pertama, dari sisi penjaminan ini baru kesehatan. Nanti, bergerak ke ketenagakerjaan, tapi juga belum jelas kapan postur APBN kita juga akan inheren (bawaan) dengan resiko pengangguran. Karena, yang akan ditarik ke BPJS ketenagakerjaan nantinya adalah fungsi yang sudah berjalan di jamsostek, soal dana pensiun dan kecelakaan kerja. 

Dari sisi konsep, sebenarnya ekonomi Indonesia itu sudah sangat pasar, dan kalau bicara konstitusi (UUD 45) negara Indonesia negara kesejahteraan ‘fakir miskin (pengangguran dan atau miskin) ditanggung negara. Tapi, sudah sejak lama kita menjadi ‘market mainstream’. Yang jadi masalah, sistem perpajakan kita, baik dari sisi manfaat, politik anggaran (alokasi) dan kebocoran (korupsi) nya juga masih dominan.

Yang saya lihat di negara-negara eropa ini, tertib bayar pajak, identifikasi pajak terintegrasi dalam sistem perekonomian, bahkan untuk transaksi ritel. Jadi, soal jaminan sosial ada juga peran Warga negara ‘tertib bayar pajak’, ada redistribusi dari yang bayar besar ke yg tak bisa bayar. Fungsi negara membangun infrastruktur dan menjamin resiko sosial. 

Ayam dan Telur, jika negara sudah berorientasi ke pelayanan yang memberi manfaat maka Warga negara akan senang bayar pajak. Tapi, kalau alokasi tidak jelas, korupsi dimana-mana tak ada jaminan sosial, siapa yang mau? -itu masalah pajak di Indonesia. 

Disisi lain, pemerintah (siapapun Presidennya) untuk bisa melayani butuh penerimaan pajak yang tinggi. Ayam (Pajak) akan menghasilkan pelayanan dan jaminan sosial (Telur) yang akan jadi benih Ayam baru (Pajak).. tapi, kasus Indonesia dimana Ayam-nya? Kemana telur-nya? Itulah persoalan kepemimpinan, siapapun Presidennya.

BPJS yang berjalan saat ini, dimulai saat soal pajak belum bisa diberdayakaan. Itulah sebabnya, model yang ditempuh bukan instrumen ‘pajak’ tapi ‘premi’ (iuran). Dimana, yang mampu disuruh bayar premi, yang dibawah garis kemiskinan preminya dibayar pemerintah. Ini jelas menunjukan masalah jaminan sosial versi BPJS masih ‘ribet’, karena modelnya ‘iuran’. 

Bagi yang bayar pajak, akan terasa dua transaksi ‘pajak dan premi’. Bagi yang bayar premi, seolah untuk apa bayar pajak karena perlindungan sosial datangnya dari keanggotaan BPJS (bayar premi keanggotaan). BPJS juga ada pelayanan bagi Warga asing, asal bayar iuran 6 bulan berturut-turut. Jadi, konsep iuran ini belum melekat ke perpajakan.

Tak apalah, memulai dulu lebih baik daripada tidak pernah memulai. Tugas sejarah pemerintahan selanjutnya, membenahi pemerintahan dan membuat pajak itu adalah jaminan sosial bagi pembayarnya. Semoga saja, kita harus optimis Indonesia lebih baik lagi!
IMG_00000949

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.