Transisi Isme-Profesional dalam Paradigma Baru Masyarakat

-Yanuar Rizky-
Auditor, edisi September-Desember 1996
: Akhir-akhir ini sering terdengar beberapa tanggapan masyarakat yang sangat kritis terhadap keberadaan sumber daya manusia kita, baik itu secara kualitas maupun kuantitas. Sebagai ilustrasi beberapa contoh kasus yang diperdebatkan antara lain: kasus pri-non pri dalam berusaha di Indonesia; kasus predikat tingginya tingkat korupsi yang diakibatkan oleh kolusi dari lembaga keuangan Jerman terhadap negara kita; kasus OS ITB; kasus tingginya tenaga profesional asing yang bekerja di tanah air tercinta, dimana hal tersebut ditindaklanjuti oleh rencana menteri tenaga kerja Abdul Latief untuk melakukan ‘audit profesional Indonesia’; serta tanggapan-tanggapan dari akademisi, birokrat, aktivis maupun gosip seputar masyarakat tentang berbagai kondisi yang menghangat.

Dari banyak hal di atas, dapat kita simpulkan bahwa masalah sumber daya manusia berlabel ‘Indonesia Asli’ merupakan suatu titik pangkal yang mengakibatkan maraknya perdebatan, terutama menjelang era perdagangan bebas. Hal yang menarik dari pembicaraan mengenai sumber daya manusia secara sederhana dapat difokuskan ke dalam tiga hal yaitu: (1)Idealisme, (2) Moralitas, (3) Realitas. Tulisan ini akan membahas mengenai adanya indikasi dari gerakan masyarakat tingkatan menengah, dalam hal ini kaum profesional yang diakibatkan oleh adanya pergerakan dari cara memandang masyarakat tentang konsep pembangunan yang interaktif dan integratif.

Tranformasi Idealisme: di antara pemberdayaan dan pembangunan

Masalah idealisme sumber daya manusia dalam kaitan pengembangan struktural dapat dilakukan dengan suatu perencanaan yang sistematis. Dimana, perencanaan tersebut tidak akan terlepas dari suatu cara memandang masyarakat tentang manusia itu sendiri (paradigma masyarakat). Paradigma tersebut tidak akan pernah terlepas dari masalah acuan dari negara yang telah maju, warisan nenek moyang serta tranformasi kemasyarakatan. Artinya, terdapat pergesekan yang tajam dari kehidupan bermasyarakat dalam konsep pembangunan itu sendiri. Secara sederhana tranformasi tersebut lebih diakibatkan oleh kondisi dilematis dari unsur pembentuknya, dalam hal ini ketika masyarakat melihat kondisi negara maju yang industrialis di tengah kondisi budaya turun menurun agraris. Kondisi tersebut, menurut hemat saya telah melakukan tranformasi ke arah perubahan. Hanya saja masalahnya terletak pada kesadaran akan perubahan itu terjadi atau tidak terasakan.

Ketika kondisi kuantitas manusia lebih besar dari kualitas, masyarakat lebih menitikberatkan perhatiannya ke arah sudut pandang faktor modal, produksi dan hasil. Sehingga, manusia pun dipandang serta dialokasikan ke dalam pemberdayaan dalam faktor produksi dengan kekuatan sendiri yang didukung oleh investasi asing yang saling menguntungkan (PMA). Masalahnya disini, hasil pembangunan ekonomi yang berorientasi pada hasil dalam artian pertumbuhan ekonomi. Rasanya data statistik (pertumbuhan GNP) telah menunjukan keajaiban ‘delapan negara asia’, termasuk Indonesia.

Persoalannya terletak pada saat kualitas sumber daya manusia mendekati kuantitas kebutuhan akan kesempatan. Hal tersebut, terlihat dengan banyaknya kasus-kasus yang terjadi akhir-akhir ini, ambil contoh masalah opspek yang sangat dilematis, di antara konsep regenerasi teori X (pemberdayaan) dengan konsep teori motivasi. Pada kondisi ini, masyarakat telah memiliki paradigma pembangunan manusia dibandingkan hanya pemberdayaan manusia, artinya manusia itu sendiri telah menjadi unsur yang integratif serta interaktif dalam faktor modal, rekayasa produksi dan kebijakan. Artinya, tranformasi telah terjadi hanya saja masalahnya sangatlah sulit manusia itu sendiri menerima perubahan. Indikasi penting dalam tranformasi idealisme pembangunan manusia ini dipelopori oleh UNDP tahun 1990, ketika indikasi statistikal pertumbuhan GNP menimbulkan dampak kesenjangan (Soekirman, 1995). Penulis berpendapat perubahan paradigma ini cukup memberikan perubahan mendasar dalam idealisme masyarakat.

Moralitas pembangunan: sebagai suatu tolok ukur masyarakat

Kondisi tranformasi paradigma yang diwarnai oleh maraknya pendapat, yang terkadang sudah tidak berpola pikir sederhana, dapat ditarik suatu kesamaan yang serupa walau agak berbeda dalam hal tolok ukur moralitas pembangunan. Artinya, ketika kasus kolusi mencuat banyak pihak mengukur hal tersebut bukan kegagalan struktural pembangunan melainkan masalah mentalitas, demikian pula masalah opspek yang dianggap sebagai kegagalan mental ‘kekuasaan’ senior. Sementara, pihak lain memandang terdapat kegagalan struktural yang melekat dalam orientasi. Akan tetapi, saya berpendapat masalah mentalitas dan orientasi merupakan interaksi moralitas pembangunan yang saling mendukung dalam paradigma masyarakat yang terintegrasi.

Hanya saja, masalahnya terletak dalam usia negara asia tenggara, kecuali Singapura, menurut Alvin Toffler masih berusia remaja dalam konsep negara industri, serta menurut Ravri Batta masih berada pada gejolak ke ttiga yang akan mengarah pada gejolak selanjutnya (Bambang Sudibyo, 1995). Sehingga, menurut saya masalah moralitas tetap merupakan tolok ukur penting. Hanya saja, tranformasi tersebut belum sempurna, atau dengan kata lain gesekan warisan nenek moyang dan konsep negara acuan sangat kuat. Kesenjangan yang diakibatkan merupakan indikasi kurang kuatnya konsep industri serta konsep agraris mulai ditinggalkan. Pihak yang paling merasakan gejolak tranformasi tidak sempurna ini adalah kelompok masyarakat menengah, dalam hal ini kaum profesional.

Realitas isme-profesional: suatu pola transisi

Mahasiswa sebagai sumber daya potensial untuk mengisi kelompok menengah dalam kesempatan awal karirnya, tampaknya mudah untuk dijadikan tolak ukur ketidaksempurnaan pergeseran paradigma yang berakibat menimbulkan suatu pola transisi. Masalahnya, perlu suatu hasil sampel statistikal dari survey yang bersifat pengauditan sumber daya manusia kita berawal dari pemahaman tentang konsep strategik pembangunan manusia itu sendiri. Saya berpendapat, persoalannya terletak sering tidak terintegrasinya pola kebijakan pendidikan kita secara formal kurikulum dan kebutuhan akan manusia itu sendiri. Disamping itu, pola interaksi struktur formal tersebut sering enggan untuk bersinggungan dengan struktur informal. Dimana, peran terpenting sebenarnya terletak pada unsur informal itu sendiri. Unsur informal misalnya kelembagaan mahasiswa, dunia praktek serta organisasi-organisasi masyarakat dan profesi.

Permasalahan opspek yang mencuat akhir-akhir ini sebenarnya akibat yang tidak mau kita katakan sebagai akibat dari kegagalan interaksi unsur informal itu sendiri dengan struktur formal, bahkan mungkin tidak integratif secara norma lama dengan norma harapan. Para aktivis mahasiswa mau tidak mau, jika secara jujur kita adakan diskusi yang fair dari masalah ini, tampak sekali ada rasa enggan meninggalkan pola lama atau kebanggaan dunia mahasiswa masa lalu akan tetapi konsep aktivitas tersebut secara integratif dirasakan tidak cocok dengan harapan masa depan secara individu. Saya teringat pada sebuah diskusi rekan-rekan aktivis yang digelar oleh sebuah radio swasta di Bandung baru-baru ini. Pada saat itu yang menjadi pertanyaan adalah mengapa garang pada masa lalu diartikan oleh aktivis saat ini lebih signifikan ke arah masalah internal dibandingkan masalah kemasyarakatan (external).

Saya rasa persoalan mendasar aktivitas mahasiswa saat ini adalah masalah kebanggaan masa lalu dan perubahan memandang masa depan itu sendiri. Masa depan saat ini lebih ke arah profesionalisme, saya rasa sebagian besar rekan mahasiswa menyetujui hal ini. Akan tetapi masalahnya, ketika hal tersebut kita anggap sebagai peluang memotivasi diri masalah realitas yang mempersempit ruang gerak kesempatan itu sendiri. Masalah klasik dari kesempatan tentunya sering terdengar struktur manusia kita belum kuat, hal tersebut secara statistikal terlihat dalam tingginya tenaga profesional asing yang masih bekerja di tanah air ini beserta bergesernya pengangguran tidak berpendidikan ke arah pengangguran berpendidikan tinggi. Ketika hal tersebut menjadi kenyataan yang harus dihadapi mahasiswa keseluruhan, ada beberapa pola transisi yang dibentuk oleh motivasi per Individu. Besarnya skala formal akademis dibandingkan skala aktivitas menggeser mahasiswa pada orientasi studi. Ketika hal tersebut ditempuh, kesempatan karir berjenjang tampaknya sulit diperoleh dengan alasan kurangnya kemampuan manajerial sebagai faktor penting kelompok masyarakat menengah disamping keahlian. Kondisi ini berakibat mahasiswa mencoba berinteraksi dengan dunia aktivitas, hanya saja cara memandang ini belum sempurna betul. Ketidak sempurnaan ini sebagian besar menjebak mahasiswa pada kenangan masa lalu dibandingkan pola manajemen interaktif

Kasus dilematis dalam masalah opspek akhir-akhir merupakan indikator yang harus kita sadari pada daratan realitas dibandingkan daratan masa lalu. Tetapi itu semua menurut hemat saya hanyalah suatu pola transisi dari kelompok menengah kita yang kelak akan sempurna dalam memandang. Hanya saja seberapa cepat tranformasi itu berlangsung dengan tepat, cepat dan akurat, jawabannya saya rasa terletak dari kemauan unsur formal dan informal dalam pembangunan manusia itu sendiri untuk berinteraksi dan secara integral dalam nuansa kebijakan struktural.

Penutup

Tampaknya persoalan saat ini lebih ke arah pembangunan manusia dibandingkan pemberdayaan manusia. Sehingga, ada baiknya energi yang kita buang akhir-akhir ini untuk lebih diarahkan kepada suatu nuansa diskusi yang interaktif serta tetap pada rel kebijakan pembangunan manusia itu sendiri, baik dari sudut pendidikan maupun kebutuhan dunia kerja itu sendiri, karena program link and match yang terarah saya rasa perlu pula dimulai pada saat ke arah mana sebenarnya masa depan hendak kita bentuk.

Hasil optimal dari perdebatan yang terarah ini tentunya akan mengandung konsukuensi pada program tiap unsur struktural pembangunan manusia profesional kita, baik itu formal maupun informal. Masalahnya suatu keberhasilan akan mencapai titik sukses jika terdapat regenerasi suri tauladan. Sehingga, jangan sampai rekan-rekan mahasiswa yang selalu membandingkan dengan manajemen ‘harakiri’ Jepang dalam mengatasi kegagalan pola kolusi dan korupsi dari seorang struktural negara ini, tetapi pada saat yang sama kita tidak melakukan suri tauladan yang sama ketika kita memperoleh gejolak dalam kepemimpinan dunia kita sendiri. Masalah suri tauladan inipun perlu menjadi renungan pihak generasi pendahulu tentunya. Dan saya berpendapat hal terbaik dalam bertransisi bukanlah mengklaim negara acuan merupakan pola yang tepat untuk negara kita, karena pola yang tepat terletak pada pemahaman kita tentang negara yang telah maju, warisan nenek moyang serta tranformasi kemasyarakatan. Apakah pola ini yang terbaik, wallahuallam.

-yanuar rizky, mahasiswa jurusan akuntansi fakultas ekonomi universitas gadjah mada yogyakarta
* Auditor adalah majalah akuntansi yang diterbitkan oleh Ikatan Mahasiswa Akuntansi Gadjah Mada, ISSN: 0854-2007 -dimana penulis juga terlibat dalam organisasi kemahasiswaan kampus tersebut

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.