Uang Beredar: Cermin Benggala Kebijakan Mikro-Makro

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 29 Januari 2018:
Pada saat harga komoditas tinggi, perekonomian Indonesia menerima berkahnya. Sebaliknya, saat harga komoditas turun, itu pulalah yang menjadi arus utama analisa ekonomi Indonesia yang mengalami tren penurunan pertumbuhannya.

Kendali (market maker) harga komoditas bukan di negara berkembang seperti Indonesia, tapi dampaknya begitu terasa. Lalu, apa yang bisa kita petik dari sisi pembelajaran kebijakan perekonomian negeri?

Inflasi dan Uang Beredar

Inflasi dari sisi uang beredar telah begitu mewarnai struktur kebijakan makro perekonomian sejak era pasar keuangan yang semakin terbuka di era internet.

Selisih suku bunga antar bank sentral telah memicu perpindahan dana yang semakin mudah difasilitasi pasar keuangan yang semakin real time dan tanpa batas teritori untuk pindah memindah dana portopolio.

Pola seperti ini menyebabkan tumpuan kebijakan moneter dalam mengelola temperatur makro (inflasi) dari sisi uang beredar menjadi ciri khas dari arus utama perekonomian global, utamanya di negara maju.

Nilai tukar mata uang secara fundamental ditentukan oleh neraca perdagangan antar negara (ekspor-impor). Namun, postur neraca pembayaran tidak hanya terkait sektor riil antar negara, tapi juga sektor keuangan. Disinilah, faktor teknikal di pasar keuangan juga menjadi penentu nilai tukar yang jauh lebih cepat arus keluar masuknya dana asing di surat berharga untuk mempengaruhi nilai tukar mata uang itu sendiri.

Daya pikat arus dana asing masuk ke pasar keuangan di negara berkembang dalam banyak literatur dinyatakan karena peluang keuntungan yang lebih besar dibandingkan di negara maju. Suku bunga acuan bank sentral adalah ukurannya.

Suku bunga acuan bank sentral adalah policy rate yang ditetapkan Bank Sentral dengan mengacu kepada tugasnya dalam menjaga inflasi dari sisi pengendalian uang beredar di perbankan (M1) dan di masyarakat (M0).

Untuk mendapatkan fakta berbasis data atas fungsi suku bunga acuan (BI rate), saya melakukan penelitian analisa regresi (OLS: Ordinary Least Squares) dengan persamaan berikut ini:

BIrate=α0+β1Inflasi+β2KursIDR-USD(i)+β3NETExport-Import+β4M0+β5M1+uit
1

(untuk membaca lebih teknis penelitian ini, dapat diunduh di http://rizky.elrizky.net/desertasi-doktor-yanuar-rizky-nuh-2016).

Singkatnya, persamaan di atas dibentuk untuk menjalankan analisa regresi dari data-data historis bulan ke bulan dari Januari 2002 sampai Desember 2014 (13 tahun / 156 bulan) untuk mencari pemicu dasar kebijakan suku bunga (BI rate) di Indonesia.

Hasil menunjukan, dalam long term BI rate memiliki korelasi signifikan negatif dengan Inflasi, Nilai Tukar Rupiah atas US Dolar dan Net (Ekspor-Impor) di neraca perdangan. Dan, berkorelasi signifikan positif dengan uang beredar di masyarakat (M0) dan di Perbankan (M1).

Itu artinya, kenaikan BI rate secara long term memang berperan untuk mengerem Inflasi serta pelemahan Nilai Tukar Rupiah atas US Dolar, yang diperkuat dengan mampu dipertahankannya pertumbuhan uang beredar di masyarakat dan perbankan. Hanya saja, terapi pragmatis tersebut, mengorbankan struktur net (ekspor-impor) di sisi struktur perekonomian itu sendiri.

Singkatnya, Inflatoir yang terjadi di Indonesia sangat erat kaitannya dengan nilai tukar Rupiah.

Dari temuan dari uji regresi dari fungsi BI rate di atas, saya melakukan olah data regresi untuk mengetahui postur uang beredar itu sendiri. Utamanya, memasukan hipotesa tentang dana asing di pasar keuangan. Untuk itu, saya melakukan uji regresi OLS atas postur uang beredar dalam arti luas (M2) bulan ke bulan dari Januari 2002 sampai Desember 2014 dengan persamaan berikut ini:

M2 =α1+β6M1+β7Volatilitas_KURSIDR-USD(i)+ β8Volatilitas_IHSG +β9BIrate￾FEDrate+β10Volatilitas_ObligasiSwasta_IBPA(ii)+
β11Volatilitas_ObligasiPemerintah+β12Volatilitas_ObligasiPemerintah_IBPA++
β13Volatilitas_ObligasiSwasta+β14FEDsupply+β15FEDabsorb+β16BIsupply+
β17BIabsorbuit2

(untuk membaca lebih teknis penelitian ini, dapat diunduh di http://rizky.elrizky.net/desertasi-doktor-yanuar-rizky-nuh-2016).

Singkatnya, disamping uang beredar di perbankan (M1) yang mempengaruhi uang beredar dalam arti luas (M2), juga diuji pengaruhnya di arus keluar masuk (volatilitas) dana portopolio di pasar keuangan, baik itu di bursa efek saham maupun bursa efek surat utang (obligasi). Juga, faktor selisih suku bunga antar bank sentral dan arus dana operasi moneter masing-masing bank sentral (absorb-suply), dalam penelitian ini adalah antara Bank Indonesia dan The Fed karena acuan hipotesisnya nilai tukar Rupiah-US Dolar.

Hasil olah data dari persamaan di atas memberikan fakta bahwa secara long term struktur uang beredar di Indonesia (M2), nilai dana pihak ketiga di perbankan (M1) benar bertumbuh dan mendorong naiknya uang beredar dalam arti luas (M2). Tapi, diikuti oleh volatilitas nilai tukar rupiah atas US Dolar dan Indeks harga saham (IHSG).

Besarnya, faktor cari untung dana asinh dari transaksi pasar keuangan juga dikonfirmasi oleh korelasi signifikan positif juga terjadi dari melebarnya selisih BIrate-FedRate sebagai pemicu pertumbuhan M2.

Bahkan, posisi absorb-suply dalam postur operasi moneter The Fed juga berkorelasi positif terhadap pertumbuhan M2 di Indonesia. Sementara di sisi lain, korelasi signifikan negatif terjadi antara pertumbuhan M2 dengan cadangan devisa dan operasi pasar terbuka Bank Indonesia.

Artinya, dana lebih didorong dari “gorengan” dana operasi moneter The Fed ke negara berkembang. Dan, harga yang harus dibayar Bank Indonesia memadamkannya untuk mengendalikan volatilitas nilai tukar Rupiah-US Dolar dari pasar keuangan itu sendiri.

Yang menarik, sejak dihidupkannya acuan pasar sekunder (bursa) surat hutang di tahun 2009. Data uji korelasi menunjukan bahwa faktor surat utang pemerintah (SUN) menggantikan peran selisih suku bunga BIrate-Fedrate sebagai pemicu pertumbuhan M2. Dimana, transaksi obligasi pemerintah di pasar sekunder (volatilitas) berkorelasi signifikasi positif terhadap M2 dan selisih suku bunga BIrate-Fedrate berbalik menjadi negatif.

Memang tidaklah mudah bagi saya untuk menjelaskan hal teknis dalam tulisan ini. Tapi, saya ingin mengangkat tradisi bahwa sebuah titik pandang harus mengacu kepada asumsi yang telah diuji berbasis data.

Nah, inilah asumsi saya dalam argumentasi selanjutnya dalam tulisan ini. Bahwa, fakta empiris menunjukan pengaruh operasi moneter bank sentral negara maju seperti The Fed adalah nyata dalam “gorengan” mencetak uang di kuali pasar keuangan seperti Indonesia.

Seting Inflasi rendah di negara maju, yang memicu suku bunga rendah di negaranya, di satu sisi dalam jangka pendek adalah berkah bagi negara berkembang seperti Indonesia, di sisi lain secara jangka adalah resiko. Dimana, harga yang harus dibayar adalah biaya moneter untuk mengendalikan volatilitas nilai tukar yang berdampak ke inflasi di negara berkembang itu sendiri.

Uang beredar yang permainannya seperti ini, tidaklah sehat dari sisi kebijakan perekonomian. Kita rentan mengalami the fallacy of composition, yaitu kebijakan ekonomi yang diambil saat ini dirasa baik dari sisi mikro tapi dampaknya secara makro di masa depan adalah buruk.

Kita terperangkap “hot deal” dari uang panas dana asing yang kita rindukan sebagai pemicu tumbuhnya uang beredar dalam perekonomian. Persoalan inflasi yang tersandera inflatoir dari nilai tukar uang beredar di pasar keuangan dan perbankan, menjadi selalu jangka pendek selama fundamentalnya tetap tidak tersentuh kebijakan itu sendiri.

Solusi: Menghidupkan Sekuritisasi

Berkeluh kesah, berdebat dan mencaci-maki negara maju tidaklah menyelesaikan persoalan.

Juga, mencaci-maki dan saling menyalahkan antar rezim politik dan pemerintahan di negeri ini juga tidak akan menyelesaikan persoalan.

Persoalan masa depan, menurut Bung Karno hanya bisa dibaca jika masa lalu kita jadikan cermin benggala untuk melihat masa depan. Setelah melihat, tentu aksi nyata dalam melangkah hari ini ke arah masa depan, itu kuncinya. Kata Bung Hatta, syarat terjadinya perubahan kalau pemimpin tahu ke arah mana bangsanya akan dibawa dan dia bertanggungjawab untuk mencapainya.

Kita hari ini berdebat soal disruptif. Tapi, kalau mau jujur lagi-lagi soal ekonomi digital dan inovasi yang menghilangkan model bisnis lama pun datang dari langkah para pelaku ekonomi negara maju yang merambah negara berkembang. Tak ada hal baru, secara aksi reaksi, sikap kita ribut ribut disruptif adalah reaksioner atas aksi yang dilakukan negara maju.

Saya melihatnya, akar dari disruptif adalah terjadinya The Fallacy of Composition di masa lalu.

Saya ambil contoh untuk ilustrasi. Pada saat booming harga komoditas dimulai tahun 2005, khususnya batubara, eksplorasi batubara untuk ekspor menjadi andalan. Cina adalah negara yang paling banyak membeli batubara saat itu.

Karena, saat itu harga bagus dan tren jangka pendek menjanjikan, investasi dan pembiayaan perbankan pun diserap ke ekplorasi batubara.

Lalu, karena tekanan gagal bayar kredit perumahan di Amerika Serikat yang memicu krisis Wall Street di tahun 2008 memaksa The Fed memangkas bunga.

Pemangkasan bunga ini hanya bisa dilakukan bank sentral jika inflasi rendah. Disinilah, kemudian terjadi ‘disruptif’ terhadap harga energi dan komoditas.

Ramai dibicarakan energi gas digantikan oleh inovas eksplorasi shale gas di Amerika Serikat dan di sisi lain Cina mendapatkan manfaat dari pengumpulan cadangan batubara yang dikonversi menjadi gas (gasifikasi).

Harga energi turun oleh hadirnya energi pengganti. Itu disruptif bagi negara berkembang yang selama ini mengandalkan berkah harga komoditas?

Benar, tapi makna yang harus dilihat sebagai pelajaran kebijakan ekonomi adalah integrasi strategi makro dan mikro di negara maju. Bukan semata inovasi mikro, tapi kebijakan makro (inflasi) pun mensinkronkan ke arus barangnya tak semata arus uang.

Masalahnya, ekses likuiditas arus uang pun dibawa ke gorengan kuali pasar keuangan negara berkembang yang dibuat sibuk dengan disudutkan (cornering) oleh isu disruptif.

Disruptif adalah sisi pandang di permukaan masalah industri (makro) kita saat ini. Tapi, kita jangan lupa dibalik permukaan hari ini adalah dampak dari reaksioner kita dimasa lalu yang menyebabkan The Fallacy of Composition di hari ini.

Saya memiliki pandangan, yang terjadi hari ini bagi pembelajaran generasi baru kita bukan disisi disruptifnya, tapi di sisi jangan ulangi lagi “The Fallacy of Composition”.

Kalau itu titik cermin benggalanya, ketegasan kepemimpinan nasional akan berbasis komunikasi publik membenahi masalah-masalah mikro hari ini untuk mengambil inisiatif strategi dari aksi kita sendiri, dengan tujuan membuat situasi makro di masa depan yang lebih sinkron antara industrialisasi dan konsumsi (mikro) dengan situasi arus baramh dan uang dalam struktur perekonomian (makro) itu sendiri.

Ini tidaklah mudah. Kenapa? Karena, kita hari ini pun mengalami beban dari masa lalu saat bersamaan harus pula memikirkan kelambatan inisiatif kita di masa depan.

Tak heran, kita pun berdebat soal infrastruktur yang dikontra dengan kebutuhan fiskal menopang turunnya daya beli (konaumsi) saat bersamaan. Turunnya pajak saat bersamaan, akibat menurunnya produktifitas uang beredar yang terkena arah baru kondisi makro global (eksternal) yang tidak kita kendalikan.

Saya rasa, dari negara maju kita belajar bahwa kebijakan ekspansif disaat tekanan likuiditas uang beredar via sistem perbankan adalah sinkronisasi inisiatif mikro di arah fiskal pemerintanya dengan inisiatif makro dalam operasi moneter Bank Sentral.

Inflas rendah yang ditarget guna mendorong bunga rendah, tapi sekaligus dapat dimanfaatkan ekses likuiditas dari bunga rendah di perbankan untuk kebutuhan alokasi fiskal, adalah inti dari istilah yang kita kenal dengan Quantitative Easing (QE).

Inflasi dibuat rendah tak bisa pula sulap. Harga energi yang murah didorong shale gas di Amerika Serikat dan Gasifikasi batubara di Cina adalah buah kebijakan yang sebelumnua dilakukan.

Ambil contoh, saat harga energi tinggi, kita bahagia melihat capaian ekspor dan menjual stok batubara ke Cina.

Yang terjadi selanjutnya batubara yang terkumpul cukup, gasifikasi terjadi di Cina. Sehingga, Cina mampu mengimbangi Amerika Serikat yang bermain harga rendah shale gas.

Apa yang kita rasakan? Harga batubara jatuh, maka kita mengalami masalah. Gasifikasi batubara dan shale gas menekan harga Gas juga ke bawah.

Tapi, kita sulit merespon penurunan harga gas di industri ke harga internasional. Gasifikasi batubara pun tidak bisa sulap merubah batubara yang ada.

Industri pupuk misalnya saja, dengan 70% bahan baku gas untuk amoniak dan pupuk kimia (urea) mengalami masalah harga pokok yang tertekan harga gas, disaat produsen negara lain menggunakan harga gas yang elastis ke permainan “inflasi” zona harga energi rendah.

Ilustrasi di atas, saya maksudkan untuk memberi benang merah bahwa kita butuh sinkronisasi mikro-makro yang solid. Membutuhkan peran industri yang dipandu oleh solidnya kebijakan fiskal-moneter.

Yang sudah terjadi kita jadikan pelajaran melihat masa depan. Ijinkanlah saya sharing dari sedikit pengetahuan saya soal dunia pupuk dan pertanian.

Dari yang saya pelajari bahwa soal harga gas misalnya, itu benar masalah utama, tapi juga perspektifnya terlalu sempit kalau ingin dijadikan paradigma kekinian industri pupuk yang menopang ketahanan pangan.

Saya beberapa bulan lalu mengikuti acara IFA (International Fertilizer Association) di Shanghai Cina.

Dan, ternyata dari rencana transisi pupuk kimia (urea:N) selama 5 tahun, Cina mengkonfirmasi pemupukan berimbang (NPK) akan dilakukan dimulai tahun 2018. Itu artinya, hanya 3 tahun masa transisi dari rencana 5 tahun.

Jadi, harga urea tertekan pada dasarnya diakibatkan harga gas turun dan menurunnya demand urea. Turunnya demand ini dikarenakan riset tanah di banyak negara menunjukan penggunaan urea (N) berlebih telah membuat marjin produktifitas hasil panen pangan yang menurun (Law of Deminishing Return).

Itulah tren diet urea menjadi suara yang sering saya dengar dalam banyak outlook global farming. Arahnya, ke pupuk berimbang (NPK).

Cina menutup 20% pabrik urea dengan shifting ini. Bisa kita bayangkan kita masih mikir gasifikasi batubara, Cina udah pindah frekuensi industri pupuk nya.

Tapi, yang saya liat adalah kebijakan yang mengeksekusi riset. Pindahnya kebijakan pemupukan untuk pangan, dasarnya adalah riset lahan dan produktifitas.

Cepatnya transisi di petani Cina yang saya dengar dari presentasi pejabat Cina adalah dengan edukasi. Dimana, petani diberi pendampingan lahan sawah dengan urea hijau lebih hijau dibandingkan dengan lahannya dengan NPK++ yang kurang hijau tapi hasilnya lebih besar.

Dari contoh sharing di peta arah industri pupuk dan ketahanan pangan, saya rasa masalah debat data panen dan impor beras sudah usang. Itu hanya konsumsi para politisi dan menguntungkan rente importir saja.

Tugas pemerintahan ini tidak mudah. Para kaum terdidik perlu berkontribusi dalam riset yang lebih solid. Pemerintah butuh eksekutor untuk meramu kebijakan fiskal-bumn-moneter yang mewujudkan hasil riset sebagai basis arah masa depan.

Apa alat eksekusi kebijakan? Saya mengusulkan sekuritisasi, yang sudah saya tuliskan dalam buku pemikiran 100 ekonom tahun lalu.

Obligasi pemerintah (SUN) dari riset saya adalah alat stabilitas pasar keuangan. Saya rasa kalau sekuritisasi tepat arahnya, menyasar perputaran uang beredar di domestik (perbankan), maka kita akan menyambut Indonesia baru yang lebih baik.

-yanuar Rizky, WNI
Tulisan ini dibuat untuk buku pemikiran 100 Ekonom Indonesia edisi kedua

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.