Usulan Terbuka: Strategi Pemanfaatan Instrumen Moneter untuk Mendukung Fiskal

[Tentang tulisan terbuka ini adalah ide Yanuar Rizky yang distrukturkan dalam Tulisan dengan bantuan notulensi oleh Rawanda Wandy Tutoorong pada pertengahan Agustus 2016. Diposting di blog pribadi Yanuar Rizky sebagai usulan terbuka sebagai sebuah ide untuk perekonomian Indonesia]

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 6 Desember 2016:

Pengantar

Masih lesunya perkembangan ekonomi dunia di tahun 2016 berdampak pada penerimaan pajak yang seret. Berbagai pilihan kebijakan lantas bermunculan, mulai dari amnesti pajak hingga pemangkasan anggaran. Semuanya berdasarkan asumsi bahwa pembiayaan pembangunan hanya berasal dari “kantong” fiskal (APBN).

Hampir tak ada yang melirik alternatif lain, yaitu pembiayaan yang menggabungkan kantong fiskal dan kantong moneter, yang sebetulnya sudah mulai menjadi tren di berbagai belahan dunia belakangan ini. Wajar, karena skema ini memerlukan pengaturan dan koordinasi antara pemerintah dan bank sentral (Bank Indonesia) sebagai syaratnya. Padahal, selama ini keduanya sudah terbiasa beroperasi secara terpisah.

Problem Statement

Sebelum masuk pada skema atau model interkoneksi antara fiskal dan moneter, maka ada baiknya untuk menggambarkan problem statement yang dialami oleh masing-masing pemangku kepentingan utama dalam pengelolaan keuangan secara umum.

Pemerintah. Masalah atau tantangan utama yang dialami pemerintah adalah keterbatasan anggaran yang diakibatkan karena penerimaan negara yang terbatas atau bahkan berkurang. Soal ini kemudian merembet pada hal-hal lain, seperti infrastruktur yang buruk dan industri nasional yang tidak berkembang (padahal kedua hal ini yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan kemudian penerimaan negara). Soal lain yang juga dihadapi pemerintah adalah inflasi, namun sebagai sebuah problem statement hal ini akan dikaitkan dengan Bank Indonesia (karena selama ini BI, yang dalam prakteknya, mengurusi soal inflasi).

Bank Indonesia (Bank Sentral). Soal utama yang dihadapi Bank Indonesia adalah inflasi, yang terutama disebabkan karena harga-harga melambung (terutama karena biaya produksi barang yang tinggi, yang umumnya terjadi karena ketergantungan pada impor – yang jika ditarik ke belakang, juga disebabkan karena infrastruktur dan industri nasional yang tidak berkembang tadi). Impor yang tinggi menjadi penyebab inflasi karena untuk mengimpor, kita memerlukan mata uang asing (artinya harus menukarkan rupiah terlebih dahulu, sehingga nilai rupiah pun melemah yang berarti harga barang secara relatif menjadi kian tinggi).

Untuk mengatasi inflasi tersebut, pilihan kebijakan yang biasanya diambil Bank Indonesia adalah dengan menaikkan suku bunga BI (BI Rate). Dengan naiknya suku bunga BI, maka dana masyarakat akan mengalir ke perbankan sehingga dapat menekan inflasi. Dengan cara ini pula harga barang yang tinggi mendapatkan kompensasi, yaitu bunga simpanan di bank yang juga lumayan tinggi.

Perbankan. Suku bunga BI yang tinggi dengan sendirinya membuat perbankan menetapkan bunga bank yang tinggi sebagai insentif untuk menarik dana pihak ketiga agar masuk ke perbankan. Namun, bunga bank yang tinggi juga berarti berkurangnya kemampuan para debitur untuk meminjam uang (mendapatkan kredit dari bank). Akibatnya, ekspansi kredit pun tertahan. Pertumbuhan ekonomi pun melambat.

Masyarakat. Dengan bunga bank yang tinggi, maka terdapat kecenderungan bagi masyarakat untuk “memarkir” uang yang dimilikinya di perbankan. Dalam konteks Indonesia, dana milik masyarakat ini sayangnya kurang tersalurkan ke berbagai instrumen investasi, baik surat utang negara maupun obligasi swasta maupun saham. Sehingga, lagi-lagi, kurang berkontribusi pada upaya menggerakkan ekonomi.

BUMN. Kita sebetulnya memiliki perusahaan-perusahaan negara yang bisa “ditugaskan” untuk membangun sejumlah proyek strategis, termasuk infrastruktur dan industri nasional. Namun, dengan situasi seperti yang tergambar di atas, terdapat kesulitan bagi BUMN untuk mendapatkan pembiayaan, baik yang bersumber dari APBN maupun kredit murah dari perbankan dan sumber-sumber pembiayaan dari masyarakat (misalnya melalui penerbitan obligasi).

BUMN juga menghadapi ancaman lain, sebagai bagian dari dampak sulitnya mengakses dana murah di dalam negeri. Yaitu, utangnya menjadi tak terkendali, dengan memanfaatkan dana murah yang tersedia dari luar negeri. Risiko terburuknya adalah BUMN dapat diambil-alih kepemilikannya oleh pihak asing dan kemudian tak dapat berkontribusi secara langsung pada pembangunan.

Solusi

Pemerintah. Untuk mengatasi tantangan pembiayaan pemerintah, skema dan model interkoneksi antara fiskal dan moneter yang dapat dikembangkan adalah melalui langkah-langkah berikut ini:

Pertama, pemerintah tentu harus menyusun rencana pembangunan berdasarkan visi besarnya yang diturunkan dalam rencana jangka panjang dan menengah (kemandirian, kesejahteraan, keadilan dan sebagainya), lengkap dengan rancangan anggarannya untuk tiap tahun.

Kedua, pemerintah memperkirakan berapa besar penerimaan negara yang akan diperoleh setiap tahun. Apabila perkiraan penerimaan negaranya memadai, maka tentu tak ada lagi persoalan dengan pembiayaan. Namun jika perkiraan penerimaan negaranya tidak mencukupi (atau mengalami defisit), maka bisa lanjut pada langkah berikutnya. Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Keuangan Negara batas defisit anggaran adalah 3% terhadap Produk Domestik Bruto.

Ketiga, terhadap rencana pembangunan proyek-proyek strategis yang memiliki dampak luas pemerintah lantas menerbitkan surat utang negara (SUN) sebagai sumber pembiayaannya (untuk belanja rutin pemerintah dapat mengandalkan penerimaan pajak yang ada). Tentu harus diperhatikan pula batasan utang dalam UU Keuangan Negara yang harus diikuti ketika hendak menerbitkan surat utang, yaitu maksimal 60% terhadap PDB.

Keempat, bilamana penerbitan surat utang pun ternyata masih belum mencukupi maka pada titik ini pemerintah dapat memainkan peran berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) strategis untuk menerbitkan obligasi atau surat berharga beragun aset (Asset-backed Securities). Obligasi yang ditawarkan ini bukan sembarang obligasi, tapi yang telah “diamanatkan” (earmarking) untuk membangun proyek-proyek strategis tertentu untuk menunjang visi dan rencana-rencana jangka panjang dan menengah pemerintah.

Masih pada tahap ini, pemerintah perlu berkoordinasi dengan Bank Indonesia yang akan diminta menjadi semacam penjamin akhir (last resort) terhadap obligasi atau surat berharga yang diterbitkan oleh BUMN-BUMN tadi. Singkatnya, para pembeli/investor obligasi BUMN tidak perlu khawatir jika sewaktu-waktu hendak melepas obligasi yang sudah dimilikinya karena Bank Indonesia akan selalu bisa menyerapnya (di sinilah “instrumen moneter” menjadi pendukung pembiayaan pembangunan). Itu artinya bahwa skema semacam ini memerlukan syarat adanya konsensus antara pemerintah dengan Bank Indonesia.

Kelima, untuk menarik para pembeli/investor obligasi BUMN, pemerintah perlu membuat paket insentif. Kebijakan amnesti pajak semestinya dibuat setelah ada instrumen-instrumen investasi seperti obligasi ini. Dengan demikian, amnesti pajak akan terlihat sebagai “peluang” bagi para investor dan bukannya “ancaman” – sehingga implementasinya kemungkinan besar akan lebih efektif.

Sinergi Bank Indonesia dan Pemerintah.
Dalam hal pengendalian inflasi, sebetulnya dalam teori dan prakteknya, bisa merupakan gabungan antara fiskal dan moneter. Dari sisi moneter, inflasi dapat dikendalikan melalui uang yang beredar dan dari sisi fiskal, melalui ketersediaan barang yang beredar (makin banyak uang beredar, makin tinggi inflasi dan makin sedikit barang beredar, makin tinggi inflasi). Jika uang beredar dan barang beredar seimbang, maka harga dan daya beli masyarakat untuk konsumsi akan mencapai tingkat yang optimum.

Pasca reformasi 1998, penataan inflasi di Indonesia memang hanya bertumpu pada uang beredar. Bank Indonesia memang diberi mandat untuk mengatur suku bunga. Sementara dari sisi barang beredar, Bulog telah dijadikan badan usaha dan bukan lagi badan penyangga inflasi dari sisi logistik dan distribusi barang.

Melihat kecenderungan yang terjadi di negara-negara maju, pengendalian inflasi tidak lagi bisa dibebankan pada Bank Sentral. Dengan adanya interkoneksi antara Pemerintah dan BI, maka bisa tercapai potensi pertumbuhan ekonomi dan pengendalian inflasi sekaligus. Lalu, bagaimana cara mencapainya?

Pertama, sangat penting untuk memiliki visi tentang kedaulatan pangan dan energi. Sebab, jika keduanya tercapai, maka biaya produksi barang akan lebih mudah dikendalikan dan inflasi dari sisi barang beredar pun dapat dikendalikan. Namun, itu adalah posisi yang ideal (dalam kenyataannya, kita mungkin akan berhadapan dengan soal keterbatasan dan/atau berkurangnya lahan dan sumber daya alam yang menyebabkan negara tak sepenuhnya bisa berdaulat pangan dan energi). Jika kedaulatan tak tercapai, artinya akan muncul risiko eksternal dalam bentuk impor – yang seperti dijelaskan di atas, akan berdampak pada inflasi melalui penurunan nilai rupiah.

Kedua, jika kedaulatan pangan dan energi belum tercapai, maka peran manajemen logistik dan persediaan impor perlu dipersiapkan. Untuk itu, harus terdapat manajemen dana logistik dalam jangka pendek dengan mengkategorikannya sebagai biaya (Cost Center). Artinya, Bulog tak usah diharapkan menjadi lembaga usaha tetapi Badan Layanan Umum (BLU) di bawah Kementerian Keuangan atau langsung di bawah Presiden dengan mendapatkan alokasi dana APBN untuk pengendalian inflasi. Sumber alokasi pembiayaannya bisa berasal dari pajak yang kemudian dianggarkan sebagai biaya rutin, atau alternatifnya, pemerintah menerbitkan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) dengan jangka waktu pendek (1 tahun).

SPN ini bisa dibeli oleh perbankan dengan bunga yang ditetapkan sesuai dengan target inflasi dari kurs manajemen impor pangan dan energi dalam setahun. Dengan demikian, jika perbankan selama ini mengandalkan kompensasi inflasi melaui BI rate (dengan menempatkan dana masyarakat ke SBI di Bank Indonesia), maka kali ini digeser ke SPN.

SPN ini juga bisa menjadi alat repurchasing agreement atau Repo (digadaikan dengan perjanjian untuk dibeli kembali) dari perbankan ke BI dan sebaliknya – dengan demikian mengubah operasi moneter BI dari menyerap lelang SBI ke SPN. Hal ini dapat menjadikan BI rate lebih rendah dan berarti ekspansi kredit bisa terbantu. Sedangkan kompensasi atas terjadinya inflasi didapatkan melalui SPN yang likuid (mudah dicairkan) karena operasi moneter beserta bunga SPN yang dipatok setara target inflasi dari kurs impor.

SPN memiliki keunggulan dibandingkan SBI yang tidak jelas hubungannya dengan pengendalian impor. Dengan didahului oleh revitalisasi Bulog (untuk mengatur mekanisme barang beredar), SPN dapat menciptakan interkoneksi antara operasi uang beredar di sisi moneter dengan kebijakan fiskal untuk mengelola logistik dan distribusi barang melalui Bulog.

Ketiga, untuk memitigasi inflasi dalam jangka menengah dan jangka panjang, ketergantungan terhadap impor harus dikurangi secara strategis (tidak situasional) melalui pembangunan infrastruktur industri pangan dan energi. Untuk pembiayaannya (lihat penjelasan di atas tentang bagaimana Pemerintah harus mengatasi tantangan pembiayaan), kembali dapat diterbitkan Surat Utang Negara (SUN) yang “diamanatkan” untuk pembangunan pertanian dan energi. Bunganya ditetapkan senilai dengan potensi keuntungan dalam mid-term dan long-term dari operasional infrastruktur tersebut.

SUN tersebut merupakan instrumen investasi karena peruntukannya sudah jelas – sama saja dengan sekuritisasi kredit produktif lewat perantaraan fiskal. Dengan posisi yang demikian, perbankan dapat mengalokasikan dana untuk kredit dengan membeli SUN yang sudah terfokus tersebut. BI pun dapat menjadikannya instrumen untuk operasi devisa untuk menjaga inflasi jangka panjang.

Untuk menjaga efektivitas skema ini, tentu saja Kementerian/Lembaga yang akan fokus menjalankan pembangunan infrastruktur tadi harus benar-benar siap. Begitu pula dengan pasar perdana sekuritisasi infrastruktur untuk SUN Pertanian dan Energi, harus sama siapnya. Hanya dengan begitu, kedaulatan pangan dan energi secara kongkrit dapat diwujudkan.

BUMN (yang juga harus ditempatkan dalam konteks sinergi Pemerintah dan Bank Indonesia). Pada saat yang bersamaan, peran BUMN sebagai badan usaha yang akan menyangga strategi pemerintah perlu diberdayakan. Paralel dengan penerbitan SUN infrastruktur tadi, BUMN juga menerbitkan obligasi dan/atau sekuritisasi proyek (Efek Beragun Aset, EBA) yang diperuntukkan untuk investasi di “bisnis” pangan dan energi yang terintegrasi dengan pembangunan infrastruktur yang dibangun melalui SUN tadi. Mengapa pilihannya obligasi dan/atau EBA? Karena jika pilihan pembiayaannya “privatisasi” atau melepas saham negara maka kendali pemerintah atas tujuan besar proyek bisa terlepas.

Bila terdapat kekhawatiran bahwa obligasi dapat menjadi debt equity swap di belakang hari, maka terdapat dua langkah yang dapat dilakukan BUMN. Pertama, melalui proyek investasi terukur dan ruang revaluasi aset di BUMN yang masih terbuka. Dalam konteks inilah, langkah “holdingisasi” BUMN harus ditempatkan . Visi besarnya harus menempatkan peran BUMN sebagai penunjang strategi kemandirian bangsa.

Lagi-lagi, obligasi dan/atau EBA BUMN, seperti halnya dengan SUN terfokus dan SPN, dapat menjadi alat operasi devisa dan moneter BI dari dan dengan perbankan. Cara untuk mengintervensi dana di perbankan yang bergerak lambat dan tidak fokus pada kredit investasi adalah dengan menjadikan instrumen fiskal (SPN, SUN, Obligasi dan EBA BUMN) bisa diserap dan dihitung sebagai kredit (melalui kebijakan OJK tentang Loan to Deposit Ratio atau LDR dan Giro Wajib Minimum) serta membuatnya likuid dengan memasukkannya dalam operasi moneter BI.

Untuk meringankan beban moneter dan gagal fiskal dari model ini, maka kuncinya adalah penyerapan dari instrumen-instrumen investasi tadi sebanyak mungkin harus diarahkan pada investor dan bukannya terpusat pada bank. Caranya seperti dijelaskan di bagian sebelumnya adalah dengan memberikan insentif pajak bagi yang membeli instrumen-instrumen investasi tersebut (Tax Amnesty dan potongan PPh).

Tentu ada risiko jika masyarakat mengalihkan dananya dari deposito ke SUN atau Obligasi BUMN, maka bank bisa melakukan “perlawanan” karena berebut likuiditas dengan pemerintah dan BUMN dan kehilangan fee-based income. Di sini, kebijakan insentif pajak kembali bisa dimainkan, yaitu bahwa dana yang ditukar ke instrumen dalam negeri akan mendapat insentif pajak tambahan jika surat berharga yang diserap masyarakat berada di Bank Kustodi di perbankan nasional. Sehingga, surat-surat berharga tersebut akan tetap menjadi Dana Pihak Ketiga (DPK) yang likuid bagi perbankan dan dihitung dalam Capital Adequacy Ratio (CAR), termasuk fee-based income atas DPK tersebut – Ini sesungguhnya cara untuk melakukan repatriasi dana dari luar negeri.

Perbankan. Jika inflasi dapat ditekan melalui pengendalian uang beredar dan barang beredar seperti dijelaskan sebelumnya, maka persoalan bunga bank yang tinggi dapat diatasi. Sedangkan untuk memastikan DPK dan fee-based income tetap dimiliki perbankan, kebijakan-kebijakan seperti dijelaskan di atas juga sudah memberikan jawaban – yaitu (1) menjadikan instrumen fiskal (SPN, SUN, Obligasi dan EBA BUMN) bisa diserap dan dihitung sebagai kredit (melalui kebijakan OJK tentang Loan to Deposit Ratio atau LDR dan Giro Wajib Minimum) serta membuatnya likuid dengan memasukkannya dalam operasi moneter BI, dan (2) memberikan insentif pajak tambahan jika surat-surat berharga seperti SUN dan Obligasi BUMN yang diserap masyarakat berada di Bank Kustodi di perbankan nasional.

Masyarakat. Sinergi fiskal dan moneter, sebagaimana dijelaskan di atas, dengan sendirinya akan memberikan lebih banyak instrumen investasi pada masyarakat, sehingga tak harus menyimpan uangnya dalam bentuk deposito. Tapi, masyarakat bahkan bisa berperan langsung dalam pembiayaan pembangunan proyek-proyek strategis nasional (melalui SUN dan obligasi terfokus).

Yanuar Rizky, WNI biasa saja, rizky.elrizky@gmail.com, catatan pertengahan Agustus 2016

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.