Akuntansi Kasir (daripada) BBM di APBN

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 30 Agustus 2014:
Secara data (saat ini) Presiden SBY benar bahwa harga minyak dunia dalam posisi ‘down trend’, yang menyebabkan kenaikan harga dikarenakan impor, ya melemahnya kurs rupiah atas USD..

Disisi lain, dia mengatakan defisit APBN berjalan (2014) masih aman… lalu, kenapa BBM langka?

Coba kita pahami dari sisi Akuntansi, ngak usah yang rumit, model akuntansi kasir aja :)

APBN itu anggaran, disusun pakai asumsi… dimana ada asumsi harga minyak dunia, asumsi kurs Rp-USD itu adalah komponen ‘Harga’… untuk dpt jumlah subsidi di APBN maka ‘harga’ X ‘volume’

Nah, Volume konsumsi ini juga asumsi… yang terjadi sekarang… Konon (itu juga), menurut pertamina asumsi ‘volume’ di APBN sudah menipis dan jika dihitung-hitung di sebuah berita on-line pernah saya baca hanya tinggal sampai 20 Desember 2014…

Jadi, karena ada pembatasan sesuai asumsi agar tidak jebol, diatur lah distribusinya, maka jadi langka…

Jadi, jika diintervensi ‘harga konsumen’ maka komponen ‘harga ditanggung subisidi dalam APBN turun, maka ‘over budget Volume’ bisa terjadi, karena harga turun X volume naik akan tetap mempertakan angka total subsidi dengan asumsi harga asumsi x volume asumsi

Nah, yang harus dipahami terkait transisi, keliatannya Jokowi-JK berasumsi bahwa jangan sampai pas awal memerintah tidak ada BBM di SPBU hanya karena ‘over bujet’. Itu terkait APBN 2014, yang sisa 2,5 bulan masa awal pemerintahan baru.

Lalu, dengan naikkan harga konsumen, maka akan mengintervensi perubahahan asumsi di RAPBN 2015, sehingga terjadi pengurangan Defisit di APBN 2015 (menurunkan penerbitan surat utang) dan atau tetap mempertahankan defisit, tapi sisa subsidi BBM dialokasikan ke program lain.

Kalau gini semoga kita mudah paham, jadi ribut harga itu bukan karena harganya yang naik, tapi Volumenya nyaris over budget. Dan, soal harga BBM dikoreksi untuk program lain, itu untuk asumsi pembahasan RAPBN 2015 yang dilakukan pemerintahan dan DPR saat ini (era SBY).

Soal ini, Menkeu Chatib Basri ngomong kalau 1 Januari 2015 pukul 00:00 APBN mau dirubah ya rubah saja, artinya adalah ruang APBN-P. Dengan kata lain, keputusan skema ‘intervensi harga’ adalah pemerintah baru, bukan asumsi pemerintah lama.

Itu dari sisi kasir, kita debat terus soal harga. Bagaimana ceritanya volume bisa ‘nyaris over budget’?

Konon (katanya), itu diakibatkan hargaa bbm (konsumen) di SPBU jarak harganya (spread) dengan harga pasar terlalu jauh. Secara teori ekonomi, jika antara dua pasar spread harga antar keduanya semakin jauh, maka akan semakin besar terjadinya ‘pencolongan’ barang di pasar yang lebih murah untuk dijual di pasar yang lebih mahal.

Jadi, ada semacam ‘motif’ untung yang terbuka, jika beli barang di pasar yang lebih murah ditambah ongkos ‘nyolong’ (suap) dan angkut masih tetap lebih murah dari harga dasar di pasar yang lebih mahal, maka secara ekonomi terjadilah ‘destructive growth’ di pasar yang lebih murah.

Dalam banyak persepsi, entah mengapa kita tak ada data ‘over budget’ ini apakah karena ‘dicolong’? ditimbun? Atau gimana? Konon persepsi yang dikembangkan karena pemakaian konsumtif kendaraan pribadi. Jadi, tidak tepat sasarannya, karena ‘si Kaya’ tak tahu diri. Itupun karena, harga pertamaxnya spread nya jauh.

Segala hal dijatuhkan ke ‘harga’, karena ‘harga’ maka ‘volume tak terkendali. Sesederhana itukah? Mana datanya? Pertanyaan ini menjadi penting, karena untuk proses perencanaan (anggaran) yang kredibel, asumsi volume pun tentu dihitung dari tren volume konsumsi BBM bersubsidi yang terukur.

Kalau asumsinya dihitung terukur, lalu realisasi overbudget, maka ada 2 kemungkinan (1) yang pakai pertamax beralih; dan atau (2) terjadi penyolongan / penimbunan BBM dengan motif harga pasar berbeda di dua lokasi berbeda.

Untuk menjawab itu, kita pun debat kusir tanpa data (note: jika ada pembaca yang memiliki data konsumsi volume premium – solar dan pertamax per bulan selama 10 tahun terakhir, jika berkenan share ke email saya rizky.elrizky@gmail.com). Tanpa, data kita terus mengatakan ‘tidak tepat sasaran’ ke konsumen. Soal nyolong, juga kita teriak-teriak mafia migas.

Saya membayangkan kalau data tersedia, kita bisa menjawab penambahan volume dari yang diasumsikan dalam APBN itu apa karena, elastisitas penurunan volume konsumsi pertamax dan solar dex ke peningkatan premium – solar. Jika elastis, benar masalahnya ada yang beralih. Kalau tidak, berarti kan dicolong!

Jangan sampai karena lemahnya hukum monitoring data, serta pengawasan distribusi, segalanya kita tumpahkan jadi beban masyarakat. Benar, cara mudah secara ekonomi, ya spread harga dikurangi agar insentif ‘nyolong’ dan atau ‘beralih’ menjadi tidak ada.

Ya, ini pilihan sih, mau (1) cara mudah dengan harga, maka yang berar adalah resiko sosial di masyarakat. Kalau (2) cara monitoring, itu mungkin moderat, yang penting ada data dulu agar bisa terpetakan dengan data bukan ‘katanya’ (asumsi). Atau, (3) cara yang lebih sulit, yaitu setelah temonitor, tegakan hukum melawan mafia sekaligus menata ulang industrinya.

Dalam, ranah ilmu ‘strategic management’ ada yang disebut ‘transaction cost economic’. Setiap kebijakan, ada ‘return’ dan ‘risk’nya. Masalahnya, inefisiensi di tataniga dan birokrasi pemerintahan misalnya saja, apa harus dibebankan ke masyarakat? Itu pertanyaan kuncinya.

Jadi, kalau pemerintahan baru ingin ada bedanya, maka cara strategik yang berbeda (change management) akan membuat anda terasa berbeda, dan pelan tapi pasti berkontibusi terhadap pembenanahan ‘pertumbuhan organik yang sehat’ dari ekonomi bernegara untuk Indonesia yang lebih baik!

Selamat memilih kebijakan, karena masa kampanye telah lewat, memerintah itu ya berinvestasi untuk negara melalui instrumen kebijakan.

-yanuar Rizky, WNI biasa saja, yang nulis ini dalam isi waktu kemacetan di Jakarta (jarak 10 menit ditempuh 40 menit)…. tapi, pemerintah jangan takut mobil saya ini tidak pakai bbm bersubsidi, jadi sah ya #enjoyAja

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.