elrizkyFamily 20 Maret 2022; Setelah 97 hari berada di Roterdam, tiba saatnya untuk kembali ke tanah air…
Perjalanan yang tak pernah kami (sekeluarga) perkiraan akan terjadi. Kami memahaminya ini memang sudah digariskan Allah SWT dalam episode anak sulung kami menjalani perjalanan sang waktu
Di pertengahan November 2021 anak kami yang tengah studi S2 di Erasmus School Economics menghungi ibunya, dia pusing dan demam…
Saat itu, omricon sedang seru-serunya di eropa…
Kami memintanya melakukan PCR Tes…
Begitu dia menyampaikan Negatif, tentu di tengah “globalisasi kecemasan pandemi”, kami mengucap syukur Alhamdulillah
Dan, memintanya istirahat dan minum vitamin dan obat flu biasa..
Tapi, setelah itu tetap mengeluh pusing, dan setiap tes negatif…
Sampai kami mendapat kabar dari teman satu rumahnya, yang juga teman SMA nya, bahwa anak kami blackout dalam berkomunikasi…
Kami meminta kawannya untuk membawa ke rumah sakit..
Tentu, saat ini jarak yang jauh di negeri orang, kami bersyukur atas persahabatan mereka…
Dengan upaya.keras kawannya di saat awal, maka kondisi hari ini perkembangan fase kesehatan anak kami adalah rejeki Allah yang paling bernilai bagi kami sekeluarga
Di tengah kebingungan, dan merasa “powerless” secara “birokrasi” (WNI biasa aja) saya berupaya mencari pertolongan cepat agar anak kami segera masuk rumah sakit, ditengah Eropa juga dalam badai Omricon
Saya mengontak kawan baik yang saat ini jadi menteri, Kang Teten. Dan, kemudian dari Kang Teten saya mendapat kontak dengan KBRI Belanda, melalui Pak Dubes Mayerfas
Saya tentu berterimakasih kepada Kang Teten, dsn tentu kepada negara via KBRI yang membantu warga negaranya di luar negeri untuk dilindungi..
Saya sangat berterimakasih kepada Dubes Mayerfas dan seluruh aparatur negara di KBRI Belanda, yang membantu Dante, sahabat Dafa untuk membawanya ke Emergency Erasmus MC Hospital di Roterdam.
Sebuah kekagetan yang luar biasa bagi kami, ketika dokter ER menelpon kami meminta persetujuam saat itu juga operasi biopsi, karena ada brain abses…
Tentu, kami menyetujui.. dan sambil gugel apa itu brain abses…
Betapa kaget dan bingungnya kami gugel mengatakan abses adalah bisul yang terjadi di organ dalam, akibat bakteri.
Kekagetan itu, karena abses yang berhenti di otak, kata gugel adalah bad luck. Karena, dari sisi bisul ya bisul biasa aja, tapi karena di otak menjadi tidak biasa..
Setelah Biopsi dokter menghubungi kami, bahwa ini bad luck karena bakterinya pun yang biasa aja, yang ada dalam keseharian kita di sekitar mulut
Kata dokter, ini bad luck saja, karena dia telat meminum antibiotik ketika merasa demam dan pusing
Saya bilang ke dokter, ya kami pikir semua folus pikiran di dunia ini ke virus Covid-19. Jadi, sakit apapun kosentrasi kita terpecah, hanya ke soal Covid (phobia)
Ini juga jadi pelajaran, penyakit bukan hanya covid… dan, jangan sepelekan pusing dan demam sebagai “flu biasa” hanya karena PCR tes negatif.
Ya, hikmahnya, Allah memberi saya kesempatan “kuliah online” dengan Dokter ER Erasmus MC, soal beda virus dan bakteri..
Dokter mengatakan, tampaknya full dosis vaksin yang didapat anak saya di Brisbane mampu menangkal omricon saat imunnya turun, tapi bad luck vaksin bukan untuk bakteri
(anak kami baru menyelesaikan S1 nya di FE UI dan Univefsity of Quensland Brisbane Australia di bulan Juli. Dari Brisbane, 3 minggu di rumah di Jakarta, langsung ke Roterdam memulai studi S2 sejak September)
Lalu, Dokter mengatakan apakah memungkinkan keluarga untuk datang, karena ada kemungkinan operasi lanjutan…
Erasmus memberikan surat ke Kedubes Belanda di Jakarta melalui KBRI agar diberikan humaterian Visa, karena anak kami memerlukan penanganan serius
Sebuah perjalanan yamg tak pernah kami duga, saat pandemi melakukan perjalanan masuk ke zona merah Omricon. Alhamdulillah sampai PCR kepulangan, kami sekeluarga selalu negatif.
Kami meminta adiknya yang tengah studi di Jerman untuk mewakili kami lebih cepat, karena Dokter akan melakukan Operasi kedua…
Sampai ijin visa keluar dan kami tiba di Roterdam… dimulai dari persetujuan operasi ke 3, sampai terus perjalanan panjang penanganan anak kami… sampai hari 110 hari Dafa dirawat, dan masih berlanjut homecare di Jakarta sesuai rekomendasi dokter.
Saya dan Ibunya menguatkan hati, bahwa ini cobaan yang harus kami lalui dengan takwa, sebaik senyuman ketika Allah memberi kami rejeki
Ya, saya pernah menjalani profesi stretegic advisor, dengan klien yang bertarung di papan catur pasar modal antar negara….
Itu juga yang bisa menjelaskan sumber dana kami, jika ada yang kepo hehe…
Bahkan, itu juga saya nyatakan saat saya menngikuti uji kelayakan Dewas BPJS-TK di DPR tanun lalu: “LHKPN saya jelas bahwa sebelum jadi Komisaris Independen Pupuk Indonesa,, saya sudah ada tabungan valas dari fee saya saat jadi konsultan, yang saya gunakan untuk pendidikan anak saya saat ini”
Saat kami mendapat rejeki, kami menganggap rejeki itu datangnya dari arah yang terduga sesuai janji Allah di Al Quran, kitab suci Agama yang kami imani
Dan, sebagai Ayah, tentu saya ingin anak saya bisa menempuh pendidikan yang meluaskan jejak pengalaman belajar dari lingkungan yang lebih luas
Kata istri saya, saat anak kami tersadar dari kritis setelah operasi ketuga dan bilang ada tugas dan ujian: “sudah tidak usah dipikirkan, bagi bunda dan ayah kakak sudah selesai S1 sudah pencapaian yang luar biasa”
Ya, kami berdua sepakat, anak kami pasti ada sedikit beban. Karena tau bahwa orangtua nya menggunakan dana tabungan, dan usaha juga tengah sulit karena pandemi.. beban itu harus kami gugurkan dengan sikap Iklas..
Saya juga tentu gemetar dengan berapa biaya yang harus kami bayar di negara orang…
Tapi, Allah memberi kami lagi hikmah kehidupan bahwa rejeki itu akan datang dari arah tak terduga.
Saya gemetar, karena berbeda dengan Australia dan Jerman, saat membayar visa studi juga membayar premi asuransi kesehatan
Gemetar saat kampusnya bilang by legal di Belanda mahasiswa harus sudah tau dan membeli asuransi kesehatan terpisah.
Anak kami belum sempat beli..
Dan, kami membeli asuransi kesehatan student (online) persis saat anak kami sudah di rumah sakit
Sebulan di rumah sakit, asuransi memberi sinyal keberatan.. karena dibeli saat sudah di rumah sakit, sakit berat dan klaim besar
Tapi, disini saya belajar soal “nyawa lebih penting dari uang”, dalam prinsip dasar sistem kesehatan sebuah negara
Rumah sakit di Belanda, tak pernah nanya deposit uang dan atau bicara uang…
Sampai di akhir Januari status intensive care unit dicabut, dafa ditanya dokter apakah akan melanjutkan studi…
Dia menjawab “ya, saya akan melanjutkannya…”
Lalu, satu-satunya informasi yang kami punya, yaitu ipad di kamar rawat, merubah status pembiayaan pribadi pasien menjadi ditanggung oleh sebuah kode, yang kami gugel adalah dinas kesehatan Roterdam
Saya lalu bertanya ke Ibu (orang Bandung yang sudah 25 tahun di Belanda) yang menungui suaminya, yang juga terkena abses tapi di sumsum tulang belakang
Kata ibu Jeni “pak, disini kalo ada no residen ada yang namanya jaring pengaman sosial dari negara, kalau seseorang yang saat nyawanya terancam tapi tak punya asuransi, maka rumah sakit tak boleh menolak pasien dan tindakan hanya soal uang. Kalo akhirnya tidak ada asuransi negara yang ambil alih”
Saya bertanya “jadi anak saya berubah, karena itu?”
Ibu ini menjawab “kemarin anak Bapak saat kritis ditunggu adiknya, selalu bilang ke adiknya dia mau pulang… mungkin, ada keraguan dokter apakah dia akan mempertahankan status student residence nya… tapi, begitu segar dan bilang akan lanjut, keliatannya itu yang jadi ukuran”
De Javu… saya merasa bacaan saya sejak lama soal sistem jaminan sosial di eropa barat , Allah kasih rejeki dan kesempatan saya mengetahuinya dari mengalami…
Lalu, dokter bilang, kalau kamu akan studi lagi, kamu akan menjalani recovery yang masih lama, dan akan menjalankan beberapa terapi pemulihan paska operasi di otak…
Anak kamj bilang, dia ingin recovery di Jakarta saja….
Ipad berubah lagi … jadi, kami mikir aduh kumaha ieu teh….
Sampai anak kami menghubungi kampusnya, dan dikatakan sesuai rekomendasi dokter dia dinyatakan siap kembali meneruskan studi bulan september
Anak kami bilang ke kampusnya, dia ingin pulang dulu dan memulihkan di Jakarta
Lalu, Dokter mengatakan prinsipnya kamu harus tuntas dulu absesnya, kalo pemulihan mau di JKT, kami akan urus transfer ke dokter di JKT
Dokter bilang bagi mereka “kamu harus sehat dan studi kamu dilanjutkan dan kamu sukses menyelesaikannya”
Saya tertegun mendengar pembicaraan Dafa ama Dokternya.. betapa tindakan soal nyawa di atas uang…
ya, karena sampai saat itu ngak ada satupun di RS yg nanya deposit seperti layaknya pengalaman kita di negara sendiri
Kemudian Dokter di pertengahan Februari mengatakan akan mentransfer anak saya bentuk perawatan berbeda, yaitu homecare di apartemennya
Dokter bilang dia sudah 80 hari di rumah sakit, 51 harinya intensive care… fase pemulihan kita alihkan homecare agar dia gembira, karena mungkin dia sangat jenuh di rumah sakit
Barulah saat itu, saya nanya ke dokter soal biaya..
Dokter bilang kalo soal itu, disini dokter tugasnya menyelamatkan nyawa, soal biaya bukan domainya… tapi, akan bantu ditanyakan kata dia
Lalu, saya bilang soal telat asuransi, dan minta Dokter mempertemukan kami dengan admin RS untuk minta keringanan…
saya katakan akan bertanggungjawab, tapi jumlah sebesar itu bagi saya biaya sangat besar dalam valuta asing
Dokter hanya bilang akan dia sampaikan, dan minta no telpon orang asuransi yang menghubungi kami…
Besoknya, admin RS nelpon saya, kata dia saya harus ke RS jemput anak saya karena sore ini dialihkan homecare ke apartemennya..
Saya lalu nanya, berapa biayanya?
Kata dia, dokter sudah bicara masalah anda, untuk homecare kami sudah meminta asuransi mau menanggung, karena yang besar soal rumah sakit yang mereka keberatan sudah kami selesaikan..
Tentu, saya antara gemetar di telpon sekaligus mengucap syukur rejeki dari Allah di negeri orang… saya juga bukan wong gerot, WNI biasa aja, tentu disaat masa sulit usaha diasa pandemi ini sangat membantu
Tim Dokter, Suster di Rumah Sakit dan homecare di Roterdam akan selalu kami kenang sebagai “orang baik yang Allah pertemukan, meski sama sekali tidak kenal secara pribadi”
Di ujung telpon, admin RS bilang “sepanjang anak anda homecare di Belanda, maka anda tak usah memikirkan biayanya… tapi, kalau pulang, maka rumah sakit, pemerintah Belanda, dan asuransi student sudah tidak ikut campur lagi (semua tanggung jawab kami dengan sistem di negara kami)
Saya menyepakati….
Dan, menjadi pengalaman keluar Rumah Sakit ngak ada bayar sepeser pun, bahkan nandatangan juga ngak ada..
Sampai saat keluar, kami tidak tau dimana kasir di rumah sakit ini hehe
Perjalanan homecare juga luar biasa, bagaimana suster datang setiap hari dan ke rumah sakit kontrol dengan dokter
Minggu lalu, dokter mengatakan abses anak kami masih harus lanjut homecare…
Anak saya bilang visa orangtua habis… kata dokternya “kami uruskan perpanjangan untuk orangtua kamu”
Lalu, dengan beragam pertimbangan dan banyak urusan dan aktivitas di tanah air…
Saya bilang ke dokter, kami harus pulang
Dokter bilang OK, anda cari homecare di rumah anda dan kami akan buat korespodensi untuk rawat jalan dengan dokter di Jakarta
Lalu, dokter bilang, dari penelusuran tim kami di negara kamu ada karantina 1 hari di hotel, “anak kamu dan kamu harus segera ke rumah, memberi homecare di rumah kamu memberi infus obat yg dibawa darisini”
Toleransi tanpa obat antibiotik via infus, kata dokter hanya 24 jam dan itu sudah habis dengan durasi long flight ke JKT.
Dokter bilang “kami akan buat surat untuk kamu meminta ijin pemerintah di bandara, ahar segera homecare di rumah”
Saya juga berterimakasih ama sohib yang sekarang di KSP, Binyo, yang membantu surat menyurat sampai keluarnya ijin dari satgas covid “tetap karantina 1×24 jam, tapi isoman di rumah, referensi satgas surat dokter Erasmus yang menyatakan homecare harus segera dilakukan di rumah”
Saya sekali lagi, sebagai WNI biasa aja mengucapkan terimakasih bantuan KBRI Belanda dan ijin Satgas Covid 19..
Kami pun berterimakasih sebagai WNI biasa aja, KBRI Belanda memberi pendampingan protokoler di Bandara Schipol Amsterdam, melewati sekuriti (karena membawa satu koper obat untuk infus amtibiotik dan pump infusnya, yang dibekali rumah sakit Erasmus MC)
Saat menyerahkan obat pihak farmasi Erasmus MC mengatakan “kami hanya memberi obat 7 hari, karena anak kamu perlu isoman.. selanjutnya sesuai kesepapatan jika pulang, penanganan dan obat selanjutnya kamu dapatkan dengan sistem asuransi di negara kamu”
Ya, dalam hati saya bergumam “belum tau dia, BPJS itu pake ngantri, dan dicek apa itu masuk kategori BPJS” hehe…
Ya, saatnya saya juga akan memcoba bagaimana BPJS mandiri bekerja.
Meski, saya paham soal kesehatan negara kita ini kayak Amerika Serikat “uang dulu di depan, mau cepat bayar sebagai pasien swasta”
Mungkin saya mengingat kata-kata keluarga Belanda naturalisasi Suriname saat sama-sama nunggu keluarga
Pas, saya bilang saya bersyukur anak saya dicover sistem Belanda… kata dia “ngak usah berlebihan, anggap aja itu ganti rugi saat mereka menjajah negara kita” …. wkwkkwk
Ya, saya tetap berharap suatu hari kita akan mewarisi sistem jaminan sosial seperti praktek VOC yang lama memerintah di Indonesia di jaman pra kemerdekaan..
Catatan ini, saya tulis di Garuda Indonesia udara Amsterdam menuju Jakarta ..
Terakhir, kami berterimakasih kepada sahabat keluarga kami pak Dodi (DNA) yang membantu segala hal untuk menyiapkan homecare di rumah kami di JKT…
Kami berterimakasih kepada semua orang baik yang membantu kami, mendoakan kesempatan Dafa melewati masa kritis dan segera pulih …. semoga Allah yang membalasnya dengan kebaikan…
Menulis apa yang dipikir dan sharing pengetahuan dan pengalaman berpengetahuan:
—saya yakini sebagai aktivitas positif, yang Allah balas dengan kebaikan lewat tangan dan bantuan dari orang yang bahkan tidak kami kenal
Saya berdoa, ini akan jadi perjalanan yang mendewasakan anak-anak kami, menuju jalan hidupnya yang masih panjang
Saya dan Istri, memahami ini fase awal kami berdua menua bersama, saat anak-anak menuju kemandirian dan passionnya jauh dari Rumah
Banyak hikmah, juga pengetahuan…
semoga Allah Rido dan menjadikan sebaik-baiknya warisan seperti Hadits Rasulullah:
“anak-anak yang soleh, yang menjadi ahli sedekah dari ilmunya yang memberi manfaat bagi orang banyak”
Amin ya Rabb…
#enjoyAja
Roterdam Desember 2021 – Maret 2022
Yanuar Rizky
Elsa Rasyilawati
Dafa Dzikri Harvardhika Putraelrizky (Roterdam, Belanda)
Tsaqif Dzikri Bivardhika Putraelrizky (Esslingen, Jerman)
Daiyan Dzikri Divardhika Putraelrizky