Catatan Ringan Soal ‘Perpanjangan Kontrak’ Freeport

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 26 Januari 2014:
Ditengah hiruk pikuk KPK vs Polri di media sosial, beberapa teman di facebook saya mentag dan inbox soal berita diperpanjangnya kontrak Freeport oleh pemerintah Indonesia.

Komentarnya adalah seputar ‘nasionalisme pengelolaan SDA’, yang banyak diharapkan muncul dari pemerintahan baru tampaknya sirna.

Yang harus dipahami, agar juga terjadi azas ‘fair play’, persoalan perpanjangan kontrak Freeport di Papua (Indonesia) dari sisi prinsip sudah dibuka oleh pemerintahan sebelumnya (SBY).

Di masa-masa akhir pemerintahannya, kabinet SBY membuka ruang pemberian izin usaha khusus ke Freeport. Ini dikarenakan, model kontrak karya telah dihilangkan dan diganti dengan rezim perizinan usaha.

Kontrak Freeport sendiri akan habis di tahun 2017. Sehingga, seperti dikatakan oleh Menteri ESDM Sudirman Said adalah wajar dunia usaha mencari kepastian secepat-cepatnya atas kelanjutan usahanya sebelum tengat waktu kontraknya habis.

Sekitar bulan April 2014, pemerintahan SBY memulai ruang diperpanjang (diberikannya izin) kepada Freeport, tetapi harus dimulai dengan renegosiasi butir-butir kontraknya. Ada 6 butir agenda renegosiasi, diantarnya soal membangun smelter, divestasi saham, skema bagi hasil.

Jadi, pemerintahan Jokowi pada dasarnya menerima limpahan renegosiasi yang belum selesai, tapi prinsip pemberian izin sudah sudah ada.

Yang jadi heboh adalah pemerintahan Jokowi seolah ‘mengalah’ dengan memberikan lampu hijau padahal poin-poin renegosiasi sebagai penekan ke Freeport belum dipenuhi.

Kalau dilihat secara seksama, poin-poin renegosiasi ini sendiri belum selesai. Salah satunya, Presiden Jokowi ketika dilaporkan Menteri ESDM menginginkan format bagi hasil dibalik, yaitu jika dulu posisi pemerintah Indonesia mendapat porsi 40%, maka Jokowi ingin menjadi 60%.

Jadi, kalau dilihat renegosiasi masih berlangsung, sedangkan watak meneruskan kiprah Freeport ini sudah jadi warisan antar pemerintahan.

Hanya saja, yang ditekankan oleh Freeport adalah renegosiasi terus berlangsung, tapi keran ekspor minerba mentah diberikan juga ke Freeport saat ini.

Larangan ekspor minerba mentah adalah buah UU Minerba tahun 2009. Dimana, mulai 2014 semua usaha minerba (tanpa kecuali) diharuskan membangun smelter, dan dilarang mengekspor minerba mentah-menth tanpa proses nilai tambah di smelter.

Jadi, butir pertama dalam renegosiasi yang mengharuskan Freeport membangun terlebih dahulu smelter adalah perintah UU bukan semata kontrak renegosiasi semata.

Nah, sejak UU Minerba efektif berlaku, Freeport memang ingin dikecualikan. Dan, inilah yang mereka dapatkan sekarang, yaitu meneruskan renegosiasi tapi diberi izin untuk ekspor minerba dengan janji pararel mereka akan bangun smelter.

Jadi, dari konsep bangun smelter dulu baru ekspor lagi, Freeport berhasil melobi merubahnya jadi pararel membangun (komitmen) smelter tapi juga saat yang sama masih boleh ekspor minerba mentah.

Kalau dilihat dari sisi Freeport McMoran, perusahaan induk Freeport Indonesia yang listing di Bursa New York (NYSE), maka sejak adanya larangan ekspor minerba mentah dari Indonesi serta keharusan membangun smelter telah menganggu kontribusi keuntungan dari Indonesia terhadap konsolidasi keuangan holdingnya.

2015-01-26-00-15-11

Dari data laporan keuangan Freeport McMoran (FCX) per 30 September 2014, terdapat fakta terjadinya pelemahan dibandingkan setahun sebelumnya, yaitu:
1. Penurunan persentase pendapatan (revenue) terjadi di Indonesia;
2. Penurunan produksi tampak terjadi di Indonesia, yang terindikasi dari ‘penghematan’ biaya (cost) unit produksi terjadi di Indonesia;
3. Meskipun Cost sudah dihemat dari produksi, namun penurunan sales (revenue) lebih besar, sehingga keuntungan bersih (net income) di Indonesia turun besar.

Kalau liat cara berpikir Freeport McMoran, disamping penjelasan kondisi harga komoditas yang jatuh di pasar dunia seperti dijelaskan dalam laporan keungannya, maka faktor larangan ekspor minerba mentah di Indonesia memukul ‘revenue driver’ mereka. Disisi lain, membangun smelter akan memicu cost investasi.

Jadi, wajar saja kalau manajemen Freeport McMoran memilih dan meminta manajemen Freeport Indonesia untuk habis-habisan meminta dibukanya keran ekspor ini. Tapi, soal sikap konsistensi pemerintah atas UU yang berlaku tentu itu adalah hak pemerintah juga untuk konsisten.

Dalam politik, hal ini kemudian memicu banyak asumsi dari pihak pengkritik bahwa ini soal ‘kuku pengaruh politik Amerika Serikat di negara berkembang’. Namun, jika dilihat yang punya kepentingan adalh korporasi yang berpusat (holding) di Amerika Serikat bukan secar langsung kepentingan pemerintahnya.

Namun, adakah pemerintahannya terganggu dikarenakan turunnya pendapatan Freeport McMoran yang secara persentase terbesar di Indonesia, tentu saja terpengaruh.

Paling tidak data dari pemantau donasi politik di Amerika Serikat (open secret) ini menjelaskannya, yaitu terjadi penurunan donasi politik Freeport McMoran di tahun 2014 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

2015-01-26-06-47-27

Lalu, kenapa pemerintah Indonesia mengalah dengan memberi izin khusus ekspor minerba? Apakah ini bagian dari strategi untuk menaikan porsi 60% seperti yang diinginkan pemerintah Jokowi? Dan atau, apakah ini juga pragmatis dari kebutuhan penerimaan pajak ekspor yang juga turun karena ekspor minerba turun? Lalu bagaimana buat usaha minerba lain untuk dapat fasilitas sejenis?

Pertannyaan-pertanyaan itu, saya bukanlah orang yang tepat menjawab. Selain ikut bertanya, yang semoga saja dijawab oleh pemerintahan Jokowi.

-yanuar rizky, WNI biasa saja, menuliskan yang terpikir #enjoyAja

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.