Cerita “Call Margin” dan Yunani

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 30 Juni 2015:
Ini cerita kira-kira terjadi diantara tahun 1998-2000. Saat itu, saya dan beberapa teman belum lama bergabung di satuan pemeriksa Bursa Efek Jakarta (BEJ). Sebuah unit kerja di Bursa yang lahir bersamaan dengan lahirnya UU no 8 tahun 1995 tentang pasar modal. Sebagian besar dari kami waktu itu sebelumnya berasal dari Kantor Akuntan Publik (KAP) dengan brand ‘Big 6’ di dunia persilatan hehe..

Lalu, krisis moneter menerpa Asia, termasuk Indonesia. Saat itu, saham di BEJ dilanda panic selling, yang membuat indeks jatuh besar-besaran. Narasinya, di politik menjadi indikator jatuhnya kepercayaan secara politik kepada pemerintahan orde baru. Ya, selanjutnya kita tau lah terjadilah reformasi politik…

Dalam proses paska gempa di bursa, adalah munculnya banyak kasus. Ketika itu, saya beruntung sekali dikasih kesempatan banyak belajar dari melakukan pekerjaan pemeriksaan. Meski saat itu ya saya pusing juga, apalagi baru aja menikah haha..

Tapi, kalau kejadian saat itu saya lihat hari ini, sungguh saya bersyukur diberi Allah kesempatan untuk belajar banyak soal pasar finansial dari bekerja di masalahnya :)

Saat itu, saya banyak dikasih penugasan pemeriksaan terkait kasus perselisihan antara nasabah dengan broker, dan atau antar broker. Disitulah, saya mengenal istilah Margin Trading.

Beberapa nasabah mengadu ke otoritas bahwa sahamnya dijual (dieksekusi) oleh brokernya dan atau sudah dijual pun masih ditagih hutang oleh brokernya.

Aturan Bapepam yang berlaku (Peraturan no V.D.3) bahwa transaksi jual dan beli efek (saham) haruslah didasari perintah nasabah. Aturan yang sama menyatakan bahwa dana dan efek yang cukup (100%) sebelum transaksi.

JADI, kalau beli jumlahnua Rp100ribu ya sebelum dimasukan ke order sudah ada uangnya di broker sebesar itu. Begitu juga kalau jual 10 lot ya udah ada 10 lot.

Konservativisme seperti itu membuat tidak akan ada gagal bayar dan gagal serah, karena manajemen resiko nya 100% tercover ketersediaan dana dan efek sebelum transaksi.

Di sisi broker saat saya memeriksa, ditunjukanlah posisi ‘call marjin’ dimana nasabah punya posisi hutang, sehingga saham-saham dan atau dana deposit dieksekusi oleh broker untuk menutup “call marjin”. Yaitu, posisi nilai agunan nasabah sudah dibawah posisi call membolehkan broker mengeksekusi agunan jika posisi call tidak diatasi nasabahnya (call adalah nilai rasio jaminan dibagi nilai total transaksi nasabah).

Argumentasi ini, kalau marjin maka akan mengacu kepada peraturan Bapepam lainnya, yaitu no V.D.6 yang waktu itu baru berlaku. Jadi, segalanya memang baru terjadi, dan belajar juga untuk memahami aturannya.

Dalam V.D.6 aturan marjin di Bursa kita jauh lebih konservatif dibanding dengan negara lain. Karena rasio call marjin nya 60%, artinya kalau nilai jaminan nasabah sudah dibawah 60% tidak boleh diberi fasilitas marjin. Atau dengan kata lain, pembiayaan dilakukan dengan nilai 40%.

Ciri konservatif lain adalah saham yang boleh ditransaksikan Marjin adalah yang diumumkan oleh Bursa, dimana itu mengacu ke likuiditas dan volatilitas saham tersebut secara historis. Jadi, jika terjadi posisi call marjin, sahamnya bisa dilepas segera ke pasar dikarenakan posisinya yang likuid.

Yang terjadi waktu itu, jikapun mengacu ke V.D.6 ya semua posisinya off side. Dan, satu hal lagi, konservatif pasar keuangan kita juga ditandai tidak adanya link antara pasar keuangan dengan perbankan. Di negara lain, itulah yang disebut investment bankers, dimana fasilitas pembiayaan marjin itu juga credit line dari dana di perbankan dalam mengatur likuiditasnya.

Jadi, kalau bicara krisis perbankan Indonesia 1998 itu bukan karena pasar keuangan seperti yang terjadi di Wall Street 2008. Saat itu, perbankan yang melahirkan BLBI dan LOI IMF, terkena posisi gagal bayar pasar kredit perbankan. Dimana, kredit disalurkan ke Rupiah tapi dibelanjakan ke barang modal US Dolar, sehingga begitu kurs melemah, maka kreditnya bermasalah.

Hal berbeda yang terjadi hari ini, dimulai di Yunani. DIMANA, surat utang (di bursa, pasar keuangan) gagal bayar, merembet ke perbankannya. Ada 2 alasan, di sisi aset, Bank memang memegang surat utang (bond) pemerintahnya dan di sisi perdagangan (bursa) surat utang juga jadi jaminan untuk posisi call margin.

Jadi, itulah kenapa terjadi yang orang bilang ‘crash market’, karena di sisi asetnya bermasalah dan di sisi pasarnya pun terjadi eksekusi jaminan secara bersamaan.

Jadi, yang tengah terjadi saat ini adalah mengelola resiko terjadinya posisi marjin, dan cilakanya yang dihantam bukan lagi era tradisional perbankan kayak dulu di kredit. TAPI, di instrumen surat utang yang diperdagangkan juga di bursa.

Kalau pemain hedge fund seperti Paul Singer mengatakan era saat ini “shorting bond” lebih “ngeri ngeri sedap” dibandingkan gagal bayar surat berharga subprime mortgage di Wall Street yang memicu crash September 2008, itu ada benarnya juga. KARENA, setiap negara punya surat utang (bond) dan perbankan dimanapun memang boleh alokasi ke surat utang pemrintahnya. JADI, kalau subprime sebatas ke instrumen kredit perumahan yang belum tentu semua Bank memegang dan ikut dalam game transaksi bursanya, tidak demikian dengan bond.

Kira-kira narasi “doomsday scenario” di Yunani itu gagal bayar dan atau serah, eksekusi call marjin. DAN, yang punya tabungan ikut panik, maka Bank di Yunani di suspen.

Bank Sentral Eropa (ECB) akan ditekan dalam game “cornering” ini, mereka akan dibuat dilema kalau mengorbankan Yunani, dikarenakan “bond” bisa merembet ke perbankan eropa lainnya. Kira-kira, mungkin itu drama di episode Yunani ini akan mendunia sebagai sinyal siaga posisi “call margin” di episentrum penyangga likuditas perbankan, yaitu government bond.

Sekedar catatan, semoga dikit-dikit ada manfaatnya berbagi cerita kecil soal “call margin” yang mungkin akan ramai beberapa hari ke depan.. kalau shorting bond saya udah ngeBlog juga kan ya sebelumnya #enjoyAja

-yanuar Rizky
WNI biasa aja

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.