Dana Aspirasi dan Retorika Reformasi Struktural Ekonomi

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 24 Juni 2015:
Dalam banyak kesempatan Bank Indonesia (BI) sering ngomong diperlukan reformasi struktural perekonomian Indonesia sebagai pondasi fundamental.

Mungkin, Bahasa nya ketinggian, sama halnya BI sering mengutarakan Financial Deepening (pendalaman pasar keuangan) atau Otoritasi Jasa Keuangan (OJK) yang sering ngomong Financial Literacy (literasi keuangan, masyarakat yang menggunakan lembaga keuangan untuk kegiatan menabung dan atau investasi) serta Financial Inclusion (akses pembiayaan sektor usaha kecil dan pedesaan oleh lembaga keuangan)

NAH, itulah soal ketinggian bahasa di telinga awam. Bagi saya yang kuliahan dan berkarir di sektor finansial, hal itu kadang menjadi alam bawah sadar dan atau biat keliatan orang “financial” nya ya semakin beristilah makin baik barangkali hehe..

TAPI, bukan soal bahasa yang ingin kita diskusikan dengan sehat wal afiat tanpa sakit hati sambil #enjoyAja :) melainkan soal putusan dana aspirasi (bersumber ke APBN) Rp20M/Angggota/Tahun..

Saya rasa ketika Gubernur BI dan jajarannya sering bicara “reformasi struktural perekonomian”, banyak wakil rakyat di DPR tidak paham hehe..

Kenapa, ada asumsi “gagal paham” para anggota dewan kita? Karena, menurut pandangan saya data-data yang sering disampaikan secara official oleh BI menunjukan separuhnya dari kue Ekonomi (GDP) dari sisi output (barang dan jasa) tercatat Biro Pusat Statistik (BPS) dari beragam dinas, pemda dan departemen, akan tetap dari sisi input (uang beredar, sumbernya) tidak teridentifikasi dengan baik. Sehingga, sering ditulis “lainnya”.. lucu juga kan kalau lainnya sampai separuh raga GDP?

JADI, kalau kita berpikir “strukturalis”, maka pajak yang menjadi sumber APBN dari putaran ekonomi dalam kue GDP rasionya selalu rendah jawabannya karena si “lainnya” yang terlalu besar dan berada diluar struktur formal perekonomian kan?

NAH, kalau itu dipahami dengan baik, maka apa agenda yang mendesak? Ya “Reformasi Struktural” perekomian, yaitu menciptakan formalisasi dari sesuatu yang belum jelas menjadi jelas. Kejelasan, akan meningkatkan rasio pajak dan atau keaehatan ekonomi dapat terindikasi dengan data yang terklasifikasi dengan baik pula :)

Rasanya, apakah anggota DPR memahami makna “reformasi struktural”? KARENA, kalau paham produk legislasi yang jadi alat reformasi bersama pemerintah dan otoritas moneter (sektor keuangan) akan menjadi prioritas.

Melihat, alasan dana aspirasi Rp20M/anggota/tahun yang katanya untuk mengejar “financial inclusion” dari daerah pemilihan masing-masing dengan alasan panjangnya rantai akses “financial literacy” masyarakat di daerah, saya pikir “jaka sembung bawa golok, kagak nyambung Jek” dengan upaya serius melakukan reformasi struktural perekonomian nasional itu sendiri.

Betapa tidak, penyebaran yang dilakukan oleh per anggta ke dapilnya akan menambah tradisi penyebaran uang beredar secara “informal”. KALAU mau, kenapa tidak disertakan di dana desa (misalnya saja) dan anggota DPR tiap dapil menjadi “penjamin” dari program di dapilnya. Sehingga, program terstruktur sesuai namanya “aspirasi”. KALAU sekarang modelnya, siapa yang ngawasi dan untuk apa kan menjadi lagi’lagi “lainnya” :)

Menariknya, ada penolakan dari 3 Fraksi. Pertanyaannya apakah secara substansi mereka paham soal “reformasi struktural APBN” ataukah sekedar populis kejar rating opini publik? Kalau semata kejar rating, ya ini hanya drama soal siapa ambil posisi apa yang penting toh ujungnya disepakati dan ikut terciprat juga :)

Aaaah, soal politik saya tidak terlalu suka, karena ya semua bisa punya pembenaran masing-masing. TAPI, saya ingat paska pemilu 2009 pernah diundang makan oleh seorang Konglomerat. Makan malam di rumahnya itu dihadiri orang-orang muda segenerasi dengan saya, dari beragam latar belakang. Beberapa waktu itu juga anggota DPR, yang sekarang makin berkibar di partai masing-masing. Ada juga yang sekarang jadi pemimpin daerah dan menteri :)

Sang Konglomerat waktu itu mengatakan bahwa generasi dibawahnya (mungkin maksudnya kami-kami ini) adalah penentu masa depan Indonesia. Dia bilang, kami harus merubah tradisi biaya politik mahal, sehingga mesin politik dibiayai sponsor. Dalam hati saya berpikir, ya salah satunya yang ngomong juga hehe..

Lalu, dia bilang di forum itu “Yanuar, coba dipikirkan pembiayaan parpol oleh negara, agar governancenya jelas serta terjadi pengkaderan parpol yanf lebih baik”.. waktu itu, saya ya menikmati makanan aja, saya pikir satu sisi ada benarnya, di sisi lain tidak mudah mensyrukturkan tata kelola dari dana politik yang dimaksud…

Sampai sekarang, saya pun tak mencoba mencari jawabannya.. TAPI, sering saya ketemu para elit politik alsani (alasan sana sini) soal dana aspirasi itu selain kerenisasi pembiayaa program Dapil juga terkait “biaya politik”…

Ya, gitu deh. Saya sih hanya berpikir kalau gini caranya siapapun akan menghindar bermain terstruktur (formal), karena kena pajak dan lalu resistribusi pajak ke penguatan fundamental perekonomian yang dibutuhkan pembayar pajak pun selalu tidak jelas…. jangan sampai muncul pameo klasik para kapitalis dalam merekrut buruhnya “you give peanut, you get monkey”..

Salam #enjoyAja
-yanuar Rizky, WNI

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.