GDN dan Mobnas

-Yanuar Rizky-
Diskusi Mahasiswa Ekonomi UGM, Yogyakarta April 1996:
Gerakan Disiplin Nasional (GDN) merupakan gerakan peningkatan etos kerja masyarakat yang dicanangkan serta dikampanyekan pemerintah melalui beberapa media, baik itu media cetak elektronik ataupun promosi suatu produk. Akronim tersebut apabila sedikit diplesetkan ke dalam Gerakan Deregulasi Nasional akan memiliki nuansa keterkaitan dengan akronim MobNas (Mobil Nasional). Inpres No.2 tahun 1996 tentang kemudahan bea bagi program pembuatan mobil nasional menjadi hangat sekali, pendapat tersebut lebih diarahkan pada tiga pihak, yaitu masyarakat (konsumen dan produsen), pemerintah dan kinerja perekonomian. Kehangatan tersebut terasa semakin relevan dengan suatu teori motivasi yang melibatkan unsur plesetan dari akronim MobNas (mobilitas nasional).

Ada sebuah gerakan yang menarik untuk ditelaah dari kepentingan masyarakat luas, baik dalam artian konsumen ataupun produsen. Gerakan tersebut sangat adaptif terhadap setiap kejutan-kejutan yang ditimbulkan oleh suatu penyegaraan sebuah regulasi (deregulasi). Yang menarik dalam keadaan tersebut tampaknya terdapat kesenjangan persepsi dalam tranformasi idealisme pembangunan kinerja perekonomian negara oleh pemerintah dengan kepentingan masyarakat. Kesenjangan tersebut tampaknya beranjak dari motivasi kinerja masyarakat. Artinya, banyak kejadian yang menimbulkan motivasi untuk meningkatkan kinerja per individu tidak dapat terakumulasi dalam wujud kolektifitas kesempatan.

GDN: Diantara Disiplin dan Deregulasi

Disiplin dan deregulasi memiliki kesamaan secara struktural, dimana disiplin lebih mengarah kepada per individu (mikro) dan deregulasi mengarah kepada masyarakat (makro). Ke dua hal ini merupakan upaya pengoptimalan suatu keadaan yang perlu diatur untuk memberikan arahan yang jelas dalam dimensi kebutuhan dan kesempatan. Perbedaan yang mendasar terletak pada nuansa aturan disiplin lebih diarahkan pada kesadaran internal-untuk mengatur dirinya (kebutuhan) sendiri dalam meraih kesempatan, sedangkan deregulasi merupakan penyempurnaan suatu aturan external-untuk mendorong motivasi kesempatan serta memancing arahan yang jelas akan kebutuhan masyarakat luas. Kedua hal tersebut sangat berkaitan serta berdampak satu sama lain, dimana tranformasi dari idealisme kebijakan ke arah kebijakan baru akan ditanggapi oleh pola transisi disiplin per individu.

Persoalannya etos kinerja individu dalam dimensi kebutuhan dan kesempatan secara disiplin orientasi sedang berada pada pola transisi yang cukup tajam. Hal tersebut terutama diakibatkan oleh tranformasi kemasyarakatan sebagai akibat pergesekan dari pandangan masa lalu (warisan nenek moyang) serta pandangan motivasi masa depan (negara acuan), dimana hal tersebut memiliki relevansi yang cukup kuat dengan keterkejutan dari suatu deregulasi. Persoalanya dalam kondisi transisi etos kinerja individu berharap terlalu banyak akan terkuaknya kebutuhan serta cara memperoleh kesempatan tersebut dengan suatu tranformasi regulasi (deregulasi). Akan tetapi, pola yang masih bertransisi serta dalam pola tranformasi tidak sempurna tampaknya sangat mengacu pada masa depan yang kurang teraih serta konsep masa lalu yang hampir ditinggalkan.

Diantara disiplin dan deregulasi tampak adanya kesenjangan persepsi yang cukup jauh, sehingga ada baiknya masalah deregulasi secara external disertai pula pemacuan regulasi internal-disiplin secara terintegrasi dan interaktif. Kondisi tersebut secara moralitas telah pula melahirkan keiinginan debirokrasi untuk mengatasi kesenjangan motivasi individu serta ketatanegaraan. Tampaknya persoalannya bukan pada masalah tolokukur moralitas dalam pengoptimalan struktur birokrasi, tetapi pada pola manajemen kebijakan itu sendiri yang terkadang tidak memiliki integrasi antara kebijakan yang satu dengan lainnya serta masalah kesenjangan dalam berinteraksi antara aspek regulasi-external (kebijakan) serta regulasi-internal (isme-profesional dalam mengatur dirinya sendiri).

MobNas: Diantara produk dan mobilitas masyarakat

Yang menarik dari masalah kinerja perekonomian (neraca berjalan), prilaku produsen serta prilaku konsumen dalam menanggapi kondisi industri otomotif tanah air adalah suatu sudut pandang pergerakan masyarakat (mobilitas). Masalah produksi kendaraan dari industri dalam negeri sebenarnya sangatlah ditunggu-tungu, akan tetapi ketika inpres tersebut dikeluarkan reaksi yang ditimbulkan masyarakat cukup beragam, terutama pada aspek kesempatan memproduksinya yang menguntungkan salah seorang pengusaha.

Terlepas dari itu semua, sebenarnya persoalan mendasar yang menarik adalah terletak dari motivasi mobilitas masyarakat kita saat ini terhadap suatu program rekayasa produksi yang menunjukkan adanya kesenjangan antara orientasi dan kesempatan. Dimana, orientasi sangat dipengaruhi oleh (1) pola acuan (industialis dan agraris) (2) perkembangan tehnologi dan (3) tranformasi kemasyarakatan (pengetahuan masyarakat), sedangkan kesempatan dibentuk oleh (1) pergeseran tingkat kebutuhan dan (2) struktur perekonomian.

Apabila kita telaah dalam persoalan perdebatan negara industri acuan dari industri otomotif kita yang saat ini mengacu kepada industri Korea Selatan dibandingkan Jepang. Banyak pihak menghawatirkan ketimpangan kinerja perekonomian akan terjadi, dimana hal tersebut dikaitkan kepada keterikatan yang cukup signifikan terhadap Jepang. Dari hal tersebut tampak sekali bahwa sebenarnya kita masih senjang dalam hal orientasi. Artinya, indikasi terbesar tentang belum kuatnya konsep industri kita, sementara warisan nenek moyang (agraris) mulai kita tinggalkan. Betapa tidak, jika komitmen terhadap konsep industrialis telah cukup kuat kita rekayasa dengan potensi konsep agraris yang dimiliki, tampaknya konsukuensi dari suatu norma harapan yang telah melekat dalam mobilitas masyarakat kita ikut terpacu pula.

Hal tersebut telah menjadi suatu argumentasi menarik yang berlandaskan pertanyaan terhadap orientasi dan perumusan kebijakan, dimana keadaan ini telah menjadi kesenjangan persepsi tersendiri pada dekade negara industri.
Jika kita menelaah Korea Selatan yang menikmati kemerdekaan hampir sama dengan negara kita, bahkan sama-sama pernah dijajah Jepang, dimana pada saat ini berhasil membangun industrinya dengan melalui salah satu program pembuatan kendaraan roda empat, tampaknya cukup berhasil meningkatkan kinerja perekonomian mereka. Dari diskusi informal saya dengan teman-teman mahasiswa dari Korsel baru-baru ini, ada suatu mata rantai menarik yang terkait antara program memproduksi kendaraaan roda empat mereka dengan pemacuan mobilitas masyarakatnya. Dimana, menurut mereka walaupun tehnologi kendaraan mereka tertinggal satu langkah dari Jepang dan Eropa, mereka tetap bangga menggunakan kendaraan buatan negaranya. Yang lebih menarik ternyata secara explisit terungkap dari produk yang pada awalnya terjangkau (biaya) serta dapat memenuhi pergeseran tingkatan kebutuhan secara fungsional, telah mampu memotivasi pergerakan masyarakat yang industrialis akan tetapi tetap bernuansakan agraris asia (nasionalisme).

Bagaimanapun masalah dengan negara mana kita bekerjasama bukanlah masalah pokok. Yang menjadi inti persoalan adalah bagaimana kita mampu mengoptimalkan potensi bangsa, misalnya sebuah filosofi (warisan nenek moyang) yang mengatakan: ‘hujan emas di negeri orang tidaklah seindah hujan air di negeri sendiri’, dari filosofi sederhana tersebut sebenarnya produk mobil nasional merupakan salah satu wujud nyata pemacuan mobilitas masyarakat yang adaptif terhadap persaingan era global. Usaha dari Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie dengan turut mengembangkan industri otomotif sebagai difersifikasi pengembangan industri pesawat terbang merupakan usaha yang perlu diberikan penekanan makna tertentu. Betapa tidak, ketika sedan ‘Timor’ dikatakan dengan harga jual sekitar Rp. 35 Juta banyak orang mengatakan murah, ini berarti adanya indikasi kuat pergeseran tingkatan kebutuhan masyarakat yang memerlukan kendaraan (secara fungsional) dari kebutuhan mewah menjadi sekunder atau bahkan primer!.

Tentu banyak pihak mengerutkan dahinya melihat realitas reaksi masyarakat jika dikaitkan dengan tingkat kebutuhan, atau tingkat kesejahteraan. Jika kita melihat standar gaji pegawai negeri sipil sarjana baru (sebagai sumber daya potensial masyarakat menengah) yang berkisar antara Rp. 150.000,00/bulan rasanya angka 20-35 Juta masih sulit dibayangkan, akan tetapi kenyataan menunjukan motivasi mobilitas kelas menengah untuk mengatasi kesenjangan antara kebutuhan dan kesempatan tampaknya merupakan pasar potensial industri mobil nasional. Relevansi terkuat yang perlu diberikan tekanan makna kondisi tersebut adalah masalah memberikan dorongan yang kuat terhadap mobilitas masyarakat dalam persaingan era global (industri yang kuat) melalui pemenuhan kebutuhan dalam kondisi transisi kelas menengah. Rasanya dengan menggunakan produk mobil dengan biaya terjangkau serta sesuai fungsi optimasi individu akan turut pula mengembangkan perilaku manusia industri kita yang kokoh, kreatif serta adaptif tetapi tetap gotong royong, dalam artian tetap menyumbangkan kontribusi secara bersama-sama terhadap kinerja perekonomian.

Penutup

Masalah kesenjangan orientasi dan kesempatan merupakan dimensi yang dibentuk oleh etos kinerja individual dan struktur masyarakat merupakan isu pokok yang perlu dipikirkan oleh pihak-pihak terkait disamping masalah pangsa pasar. Sehingga, sudah saatnya kebijakan kita lebih diarahkan dalam mendorong terpenuhinya kebutuhan masyarakat sebagai akibat dari mobilitas masyarakat yang belum sempurna untuk mendorong pula pola manajemen kesempatan yang interaktif dari kondisi berusaha di tanah air.
Kondisi multidimensi dalam suatu paket kebijakan selalu menjadi topik hangat, karena keenganan dari unsur-unsur dalam struktur perekonomian kita, baik itu pemerintah, produsen atau bahkan masyarakat luas untuk berinteraksi secara kreatif dan terbuka. Sehingga, ada baiknya suatu paket deregulasi diikuti oleh paket regulasi yang mendorong motivasi pergerakan masyarakat yang sejalan dengan misi deregulasi itu sendiri. Memang kondisi ini kelak akan mengalami kondisi sempurna setelah masa tranformasi idealisme pembangunan pasca transisi menengah mencapai kondisi puncak. Hanya saja masalahnya sebera cepat, tepat dan akurat kondisi tersebut tercapai. Tentunya masalah terbesar dari suatu kebijakan adalah faktor perilaku dari unsur struktur tersebut, sehingga masalah pertimbangan aspek perilaku yang multi dimensi harus mulai digali dari potensi bangsa ini. Apakah pola ini yang terbaik, wallahu’alam.

-yanuar rizky, mahasiswa jurusan akuntansi fakultas ekonomi universitas gadjah mada yogyakarta

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.