Hidup ini adalah seni memilih….

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 2 Mei 2014: Hidup ini soal memilih! Dulu, saya waktu kerja dipandang ‘kaku’ dalam menerapkan ‘aturan main’. Tapi, saya anggap itulah ‘tipikal dari pemeriksa’..

waktu kuliah dulu di Akuntansi UGM, kami pernah buat kos ‘not just bean counters anymore’… karena tren-nya tahun 90 an, tren Balance Scorecard, Activity Based Costing, singkat cerita yang laku adalah Akuntan yg merancang system (Akuntansi Manajemen) sehingga citra ‘kaca mata kuda’ dari Akuntansi Keuangan yang kaku dan angka-angka dipatahkan oleh naik daunnya Akuntansi Manajemen

Tapi, ketika masuk dunia kerja, saya ada di area auditor… nasib yang saya syukuri Alhamdulillah (karena ini yang banyak memberi bekal ilmu pengetahuan bagi saya ke arah lebih luas, pasar keuangan, moneter dan politik ekonomi) yaitu saya jadi pemeriksa transaksi bursa disaat krisis moneter pun menerpa tahun 1998

Saya belajar bagaimana standar audit dan judgement itu pada akhirnya limitatif kepada unsur-unsur dalam hukum tertulis, berani keluar dari SOP (standar pemeriksaan) lepas terhadap taat azas hukum tertulis, hanya soal waktu saja saya sebagai pemeriksa akan dikorbankan…

Soal korban mengorbankan dalam politik birokrasi adalah soal ‘kesejajaran posisi tawar’… saya ini pernah juga kemudian ngurus Serikat Pekerja, dipilih teman-teman… saya jalani itu, karena kata Ibu saya kata-kata baik dari orang lain adalah do’a, saya jaga pilihan orang banyak itu..

Dalam perjalanan, saya jalani pembelaan (advokasi) yang tentu saja ada strateginya, termasuk mengelola networking ke luar yang lebih luas, karena itu tadi ‘Perjuangan kesejajaran’…

Tekanan datang, dari mulai karyawan kunci dan manajemen tidak boleh urus Serikat, saya waktu itu ya karyawan kunci karena di unit kerja strategis fungsi perusahaan dan juga manajemen sbg Pimpinan unit kerja.. saya berpikir agar tak ada Efek domino, saya harus bertahan dan menghidupkan eksternal networking… apa yang saya terima? saya dicap politisi bukan profesional…

Ya, singkat cerita sampai saya resign keluar dari dunia buruh (apapun level anda sepanjang menerima upah, itu definisi UU soal buruh), saya memulai usaha saya (menghasilkan sendiri dan sebisa mungkin membawa manfaat bagi lingkungan usaha yang saya rintis, bisa sejahtera barengan, tapi tentu harus saya akui entrepreuners se sosialis apapun akan ambil resiko lebih besar dari investasinya, wajar jika ada pembagian yang sifatnya ‘pay back’ dari investasinya)

Saat usaha baru dirintis, saya malah ditunjuk lagi jadi Presiden Federasi SP Nasional… lagi-lagi, saya pegang nasihat Ibu saya jangan lari dari amanah…. saat itu, saya bersepakat dengan kawan-kawan saya tak digaji Federasi, saya tetap jalanan janji saya pada istri dan anak saya utk jadi pengusaha, shg saya minta saya satu periode saja

Kepemimpinan di Federasi SP membuat saya bersentuhan banyak dengan dunia politik. Banyak yang bilang, terbukti kan emang politisi… Tawaran nyaleg ke saya pun ada, tapi istri saya selalu bilang mau keluar kan jadi pengusaha, bukan dunia kita jadi politisi…. saya pegang janji saya itu, saya tak akan jadi politisi, saya tetap setia dengan pilihan jadi pengusaha

Tadi, saya ketemu seorang anggota DPR yang terpilih lagi, dia bilang “kau boleh aja hebat, tapi kalau belum merasakan dunia nyata bersentuhan rakyat dengan nyaleg dan terpilih, itu belum lengkap”…. saya jawab siaaap komandan! dalam hati saya bilang, apa hidup berarti itu harus jadi politisi, saya rasa tidak. Dan, saya pegang pilihan saya sendiri, jadi pengusaha di bidang analisa investigasi yang independen.

Banyak orang menduga saya politisi, tapi saya rasa itu tidak sepenuhnya benar tapi juga tidak salah… tidak salahnya, karena saya memang juga suka bicara soal ‘hak publik’ sebagai sebuah analisa publik untuk merubah keadaan ke arah yang lebih baik. Kita tak boleh apolitis, tapi bukan berarti harus jadi politisi disaat kita tidak siap untuk hidup dalam tata nilai ‘dunia persilatan politik praktis itu sendiri’..

So, #enjoyAja … dalam agama Islam yang saya yakini, tugas kita yang disunahkan Rasulullah yang dibawa mati hanya 3 hal: (1) Amal; (2) Ilmu yang bermanfaat; dan (3) Anak yang shaleh… apapun pilihan kita jadi buruh, politisi, pengusaha, atau apapun semoga kita menghargai pilihan kita sendiri untuk menjaga pilihan itu jadi jalan mencari bekal 3 perkara yang dibawa mati… iiih serem ah, ngomong mati, tapi yang pasti datang kan itu ya? heheheehe

yanuar rizky, sebuah catatan pengalaman sendiri (note to my self) dari WNI Indonesia biasa aja yang lahir dan hidup di Indonesia :)

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.