-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 18 Januari 2019: Soal Pangan, keliatannya akan jadi isu berseri dalam debat… dari isu ham udah masuk soal hak asasi manusia bekerja layak (petani) dalam soal tatakelola birokrasi juga udah masuk soal “menteri vs menteri”….
Pas isu pangan dan ekonomi pasti akan diulang..
Agar punya kualitas liatlah data 10 tahun terakhir:
1. Harga Beras di pasar Internasional dan angka Inflasi Pangan di Indonesia polanya sejalan
2. Harga Beras di pasar Internasional dibandingkan Nilai Tukar Rupiah atas US Dolar, Trennya di atas pola harga beras. ARTINYA, harga beras di pasar internasional itu trennya Turun, sedangkan Kurs cenderung naik.
3. Asumsi bahwa impor price itu harga (dalam US Dolar) dikali Volume, maka grafik Impor Price di Indonesia yg berada di atas Harga beras internasional, sejalan dengan grafik poin 2 bahwa masalah inflasi ada di nilai tukar (kurs) nya bukan harga komoditi
4. Data harga pokok beras di petani Indonesia tinggi (lebih mahal) dari kawasan, penyebabnya biaya sewa lahan dan biaya buruh tani…
Dari 4 hal di atas, saya rasa soal ini bukan dalam tataran populisme, tapi ideologi, realita dan teknokrasi….
tentu, inflasi harga pangan di konsumen akhir juga ditentukan oleh harga pokok penjualan, yaitu harga pokok produksi (gabah petani + penggilingan jadi beras) ditambah harga pokok penjualan (marjin petani + ongkos distribusi logistik + marjin pedagang)…
Kalau harga pokok beras di petani sudah di atas daya saing harga internasional (impor), apa benar impor sebatas isu produksi? Padahal, dengan data tercanggih citra satelit BPS terakhir pun masih surplus…
Jangan-jangan, ini karena kita lebih “takut” harga tinggi di konsumen. Bicara tentu mudah, tapi dari data rasanya kita menghadapi dilema antara memberi marjin layak ke petani dengan food cost (inflasi) konsumen…
Makanya, hati-hati bicara menjanjikan ke duanya sekaligus dalam populisme kampanye, karena ada masalah di akarnya, daya saing produkai dan berisiknya konsumen…
Lalu, bagaaimana harga diluar harga pokok produksi?
Suka tidak suka, cara berpikir infrastruktur yang jadi perdebatan, akarnya adalah menurunkan biaya distribusi logistik…
pun demikian, soal redistribusi lahan baik itu perhutanan sosial dan atau bagi-bagi sertifikat tujuannya saya pikir karena melihat biaya sewa lahan yang menjadi biaya terbesar hpp petani sawah….
Terlepas tidak tepat sasaran, disitulah titik kritisnya… jadi diskusi di tataran detil akan membawa arah Teknokrasi dari kontestasi debat elektoral ini menarik… bedanya #01 dan #02 akan teruji di gagasan teknokrasinya…
Pun demikian, dari sisi akarnya secara ideologis menjaga inflasi dari sisi harga yang dikunci di tujuan stabitas nilai tukar rupiah (pasal 7 UU BI no. 23 tahun 1999)… apakah juga menyeleaikan cita-cita konstitusi soal hak kerja layak petani, di sisi lain?
Saya pikir itu akan menarik, jika KPU mampu mengemas dalam kobsep jaman now: infografik dan memberi ruang dinamis bagi para capres mengelaborasinya, mengedukasi masyarakat, dan mencari persatuan gagasan bagi bangsa ini.
Yaitu, gagasan yang membuat petani sejahtera dan rakyat berdaya beli, dimulai dari restrukturisasi kelembagaan negara (ideologi) dan teknokrasi bangsa yang membenahi daya saing sektor pertaniannya…
Ya tentu itu kata saya, kata anda yang baca boleh setuju boleh tidak setuju… tapi, bagi saya kalau debat populisme terus tak akan menyelesaikan apa-apa selain bangsa yang makin terpecah, adu nyinyir…
Sepanjang pemahaman saya, inilah warisan krisis 1998 yang harus dicari teknokrasinya… 20 tahun perjalanan, kita semakin asyik dengan pola stabilitas makro tapi tanpa pembenahan struktural di sisi mikro…
Tidak ada yang salah, semua benar, sepanjang #KWKI (Kaya Wacana Kaya Implementasi) bukan #KWMI (Kaya Wacana Miskin Implementasi) yang dibungkus populisme…
Salam #enjoyAja
-yanuar Rizky, WNI