Kedaulatan Pangan dan Industri Pupuk

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 29 Mei 2016:
Berbicara pupuk sebagai sebuah industri, maka kita akan punya dimensi masa lalu, masa kini dan masa depan. Dan, jika berbicara dari sisi produk, maka kita akan berbicara tentang peran pupuk untuk memastikan ketahanan pangan terjadi, yaitu pupuk sebagai salah satu unsur yang memastikan panen dapat tercapai.

Kunci sukses ketahanan pangan, maka kita akan sampai kepada persoalan strategis sebuah bangsa. Karena, bangsa yang selesai dengan persoalan dasarnya, pangan, akan memiliki tingkat kedaulatan.

Apakah ketahanan pangan sama dengan kedaulatan? Bisa sama, bisa so-so, atau tidak sama sekali. Secara konservatif, Kedaulatan pangan hanya akan terjadi jika negara tersebut mencapai ketahanan pangannya dengan swasembada pangan. Yaitu, kebutuhan pangan diperoleh dari panen raya di negaranya. Pendeknya, semakin besar ketergantungan impor akan semakin sulit juga kedaulatan pangan dicapai.

Dulu, waktu saya kecil, dalam pendidikan kurikulum klasik bagi kami anak-anak kelahiran tahun 70an adalah mata pelajaran PMP (Pendidan Moral Pancasila), mata pelajaran yang terus ada dari SD sampai SMA dan ditutup penataran P4 selama 100jam dalam masa Ospek di perguruaan tinggi (yang jadi nilai mata kuliah pancasila, 3 SKS).

PMP identik dengan doktrin, setidaknya itu yang kebanyakan dari saya dan kawan-kawan anak kelahiran 70an sering membahas soal PMP, disamping joke lain di masa puber kami dulu menjadi Pren Makan Pren :)

Di buku PMP selalu dikatakan negeri gemah ripah loh jinawi… negara yang subur tanahnya… bahkan Koes Plus dalam lagunya berdendang “… kayu juga jadi makanan..” itulah singkong.

Begitu suburnya, swasembada pangan pun menjadi salah satu pilar “wawasan nusantara” yang selalu jadi doktrin.

Lalu, kalau udah subur kenapa butuh pupuk?

Soal ini, tentu ahli ilmu tanah (pertanian) yang lebih fasih menjelaslan, sepanjang yang saya pahami dari setahun menjadi Komisaris Independen di Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC, BUMN holding Pupuk) itu karena unsur hara, perlu pupuk. Ya, seperti kita juga butuh makanan bergizi untuk tumbuh, gitu juga kira-kira tanaman butuh Pupuk.

Karena itulah, industri pupuk tanah air dibangun di negeri ini. DIMANA, saat dibangunnya pabrik-pabrik pupuk di masa lalu kondisi bahan baku utama (Gas) pun ada di perut Bumi Indonesia. Pendek kata, kita begitu optimistis di masa lalu akan mencapai kedaulatan pangan yang mencapai ketahanan pangan dari swaswembada.

Kalau dalam ilmu strategic management, aliran RBV (Resources Based Value) dalam penguasaan sumber daya juga tercapai disisi internal. Aliran Porterian (I/O, Input Output) juga optimis, karena rantai nilai tambah dari mulai bahan baku, tanah, semua juga menjadi faktor terkontrol karena “gemah ripah loh jinawi”…

Lalu, sekarang kenapa cerita kekinian kita berbeda dengan doktrin anak-anak 70an? Singkong yang didendangkan Koes Plus pun datang dari impor. Beras juga impor.. dan seterusnya kita hari ini berdebat selalu buka keran impor pangan, antara data surplus panen dan juga data inflasi harga pangan.

Dari sisi makro ekonomi, harga pangan tidak mungkin naik (inflasi), jika surplus (logistik) terjaga. Orang-orang dari fakultas ekonomi, seperti saya tentu akan kembali ke hukum “suply-demand”, dimana harga adalah keseimbangannya. JADI, harga naik (inflatoir) pasti karena “suply-gap” atau barang pasokan kurang ditengah permintaan tinggi.

Ada banyak alasan bisa kita bedah, kenapa soal “gemah ripah loh jinawi” begitu saja hilang… ada yang bilang ini soal “pengendalian penduduk”. Dimana, jumlah penduduk terus bertambah, sementara lahan pertanian cenderung menyempit dikarenakan alih fungsi lahan.

Kalau sedikit ilmiah, mungkin ini juga kegagalan pembangunan jangka panjang kita di masa lalu. YAITU, budaya agraris sudah kita tinggalkan akantetapi masyarakat industri belum kita pegang penuh. DIMANA, krisis moneter asia 1998 yang menghantam dan membuka keroposnya fundamental ekonomi (yang didoktrinkan).

Alasan lain, menurut pemahaman saya, karena saat itu kita berambisi jadi negara industri setelah merasa “zona nyaman” di agraris, terlampau optimis oleh doktrin swasembada. INDUSTRI dibangun dari swasta (konglomerasi) yang dekat kekuasaan, memiliki Bank, mengambil pinjaman modal untuk membangun industri.

Sekali sentuh, dari sisi gejolak Kurs semua ambrol, industri yang menyebabkan bank gagal dengan hutang swasta yang default secara besar besaran, menyebabkan negara menalangi dengan BLBI dan menandatangani LOI IMF.

Itulah awal dari runtuhnya kedaulatan. Kita terperangkap kebijakan yang “diatur”. Kondisi krisis juga melahirkan miskin kota. Pengangguran dari PHK industri yang tak tuntas terbangun, skill buruh pabrik yang telah urbanisasi meningggalkan lahannya sebagai petani (dan atau buruh tani).

Aset-aset lahan menjadi murah karena krisis, menjadi awal banyaknya alih fungsi lahan dari pertanian menjadi bisnis properti.

Dalam posisi situasi lingkungan global yang berubah cepat (competitive strategic dynamic), kita kehilangan kosentrasi. Transisi politik yang panjang dalam demokratisasi, melahirkan industrialisasi politik di atas industrialisasi produktif.

Itulah awal dari cerita hari ini, pelan tapi pasti keunggulan sumber daya (RBV) maupun siklus mata rantai (I/O) kedaulatan pangan lambat laun habis, terdilusi oleh negara-negara lain yang tadinya sumber sasaran ekspor pangan kita, lambat laun berbalik jadi negara tempat kita mengimpor pangan.

Kondisi industri pupuk pun berubah. Hari ini, pabrik pupuk kita membeli gas (bahan baku utama pupuk, 70% dari komponen harga pokok pupuk) jauh lebih mahal dari negara lain.

Dari cerita masa lalu, pabrik-pabrik pupuk BUMN kita ini yang bahkan ada yang usianya melebihi umur saya pernah berjaya saat harga gas murah dibeli pabrik pupuk, suply pupuk juga di internasional sedikit.. kita mengalami dulu masa jaya industri pupuk yang menjual pupuk dengan marjin yang besar…

Hari ini cerita itu sirna, sebagai gambaran harga internasional pupuk ada di USD180, sementara harga pokok produksi (at cost di pabrik) BUMN kita paling efisien di USD210 dan paling boros USD324.

Apa sebabnya? Banyak yang bilang inefisiensi pabrik pupuk. Satu tahun saya didalam sebagai Komisaris Independen, ternyata dalam struktur biaya soal pabrikasi itu 30%, sedangkan yang besar adalah harga gas yang memakan 70%.

Pabrik pupuk beli Gas USD6.2-11/mmbtu. Di negara lain USD1-3/mmbtu, Malaysia yang paling dekat USD4/mmbtu. Jadi, perpres yang baru keluar untuk gas bagi pupuk diratakan menjadi USD6/mmbtu, pada dasarnya memberi sinyal “sunset industry” pupuk tanah air, karena harganya yang tidak kompetitif karena harga gas.

Selama ini, karena peran kunci pupuk bagi ketahanan pangan, maka industri pupuk mendapatkan kue “terproteksi” kebijakan subsidi pupuk dari pemerintah ke petani. DIMANA, harga pupuk Rp4000 dibeli Petani Rp1800, selisihnya dari subsidi.

Ditengah defisit fiskal dan arah kebijakan kita yang menghapuskan subsidi, ini jadi ancaman. Posisi ini jelas menambah sinyal “sunset industry”, karena jika pemerintah berpikir harga pupuk murah tanpa subsidi bisa, kenapa harus subsidi?

Itu benar, karena saat ini pupuk di internasional over stock, terutama kelebihan produksi pupuk dari cina yang harga ongkos produksinya juga murah, karena gasnya murah.

Jadi, pupuk murah tanpa subsidi ya sama artinya membuka keran impor produk pupuk. Lalu, apa pabrik pupuk kita harus berhenti (deindustrialisasi) karena beralih fungsi jadi trader / importir? Itulah, pertanyaan kunci buat kita semua….

Apa itu cita-cita kemerdekaan kita? Terapi inflasi jangka pendek, buka impor pupuk murah, mematikan industri pupuk tanah air bukanlah jawaban menanam kembali akar ekonomi yang berdaulat.

Ini soal penataan kembali sumber daya kita dan ranti nilai tambah, upaya holdingnisasi BUMN menuju super holding adalah salah satu cara korporasi dalam mengatur rantai harga pasokan dan bahan baku, tentu itu butuh waktu dan stamina. Itulah, peran kebijakan fiskal-moneter-bumn harus menjadi agenda penting dan mendesak.

Pupuk ini salah satu contoh saja, banyak contoh lain yang jika kita biarkan akan berbahaya bagi kedaulatan ekonomi negeri. DAN, itu tidak akan selesai dengan saling menyalahkan dan memikirkan urusan masing-masing sektor. Sungguh, ini alert wake up call untuk kita semua sebagai bangsa.

Sunset industry Pupuk tidak hanya milik kita saja, banyak negara juga merasa bahwa kondisi persaingan komoditas yang terlalu dinamis menguntungkan bagi produsen di negara yang ditopang kebijakan gas murah dari pemerintahnya, sisanya menjadi tekanan besar disaat pemerintahnya pun dalam tekanan fiskal. Indonesia salah satunya, inilah panggilan untuk generasi 70an mengembalikan cerita doktrin dalam pelajaran PMP di masa kanak-kanaknya.

Tulisan ini saya tulis dalam waktu luang di pesawat Jakarta-Moscow dalam perjalanan menghadiri Konferensi IFA (asosiasi internasional produsen pupuk) di Moscow. Dalam undangannya, Presiden IFA mengatakan konferensi tahun ini dilakukan disaat kondisi pasar pupuk tidak mengembirakan, dengan harga yang diguyur turun terus.

Sebuah kesempatan dan kepercayaan dari negara (sebagai pemegang saham) atas amanah bagi saya menjadi Komisaris Independen PIHC.

Pupuk dan pangan dunia baru bagi saya, tapi setahun ini saya merasa Ketahanan pangan adalah soal kedaulatan.

SEMOGA dari konferensi ini saya meraih banyak info dan ilmu tentang dunia industri pupuk, yang semoga berguna dalam penugasan serta semoga dapat menjadi sharing lewat menulis sebagai bagi yang tertarik membacanya… Kedaulatan pangan, yuk mari kita perjuangkan!

Salam #enjoyAja,
YANUAR RIZKY
WNI, saat ini Komisaris Independen PT Pupuk Indonesia (Persero)
[Pendapat dalam tulisan ini adalah pendapat pribadi, yang tidak mencerminkan pendapat institusi PT Pupuk Indonesia]

…dalam perjalanan Jakarta-Moscow, untuk menghadiri 84th IFA conference

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.