Ketahanan Pangan, Revolusi Mental, dan ‘5W+1H’

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 12 Mei 2014:
Soal pertanian dan peternakan.. topik tak pernah selesai di solusi tapi selalu menarik dibicarakan sbg ‘program ketahanan pangan di Indonesia’

Saya pernah terkaget-kaget ketika seorang kawan mengajak investasi di Myanmar.. dia bilang banyak orang Indonesia (OKB) berinvestasi di sana..

Lalu, berkenalan dengan beberapa orang ini, ternyata beberapa adalah orang yg menjual lahan batubara warisannya di Indonesia, kemudian dananya mrk investasi beli lahan pertanian di Myanmar…

Saya tanya kenapa tidak di Indonesia saja kan sama2 agraris? Mereka jawab, di Indonesia soal iklim Investasi kemudahan berusaha hanya utk asing yg mau masuk ke tambang (SDA) sedangkan investasi lokal cenderung dianggap kecil, padahal soal pertanian ada di area itu…

Dan, yang membuat saya belajar juga dari pelaku yang rata-rata org dari daerah ini… Soal Pertanian, harga lahan yang infrastruktur jalannya bagus, itu sudah jadi tinggi harganya karena ‘digoreng sama bisnis properti’ siklus marjin properti jangka pendek ya akan mengalahkan marjin pertanian yg durasinya ‘butuh waktu tanam, panen (bisa gagal panen) dan distribusi

Lalu, mereka cerita kalau pertanian masuk ke lahan yg belum tersentuh ‘properti’ harga lahan murah, tanah subur… tapi ada masalah, akan banyak ‘bajing luncat’ ketika akan didistribusi karena rusak dan buruknya infrastruktur..

Kemudian, kawan-kawan saya ini ngomong yang disuruh jadi buruh tani itu di daerah ngak gampang…. sebagian besar maunya ‘jadi tenaga keamanan’ bukan penggarap… ini karena mental (kan lagi ngetren omongan revolusi mental hahaha) masyarakat kita sejak reformasi ‘pragmatis’ liat org punya duit ya ‘beli suara’ atau jaga keamanan

Di Myanmar soal ini sama seperti orde baru di Indonesia bayar aja wereng coklat dan wereng hijau utk keamanan, dan mental masyarakatnya bertani masih ada karena bisnis preman adalah ‘preman dinas’…

Ini jadi masalah ‘mental’ karena di Indonesia soal keamanan menjadi banyak yg diurus, bukan hanya ‘preman dinas’ tapi juga ‘preman komunitas’, yang disuruh untuk kerja buruh tani sudah susah… singkat cerita, secara bisnis ‘sunk cost’ nya ketinggian… Ini yang terjadi di Myanmar secara comparative advantage lebih menguntungkan dari sisi ‘struktur laba’

Lalu, saya nanya, dikemanakan hasil tanamnya, mereka bilang ‘suantai aja bro kita ekspor ke Indonesia, makanya di Indonesia kita harus buka perusahaan importir’…. salahkah mereka? mental mereka salah? Ya, susah juga, dalam teori strategik management soal ‘growth or die’ yang dibangun pemilik dana di Indonesia muter dana di lahan negara lain yang punya comparative lebih baik dari sisi ‘cost’ dibanding Indonesia, dan melemparnya dari sisi ‘revenue’ ke negara dengan competitive advantage penduduk yang besar seperti Indonesia adalah sah-sah saja…

Jadi, siapapun Capres harus mampu membaca apa yang perlu dibenahi secara sistem dan revolusi paradigma mental kebijakan juga kan akarnya? Ya, akarnya soal ‘restrukturisasi’ buah reformasi harus dilakukan ‘terapi mental’ terlebih dahulu…

Soal tata ruang lahan, itu urusan Pemda (buah otonomi daerah). Maka, Capres harus menjawab pertanyaan penting ini ‘bagaimana dia sebagai Kepala Negara kelak, mampu efektif dan efisien melakukan harmonisasi politik ekonominya dengan para Kepala Daerah otonom yang merasa pula dipilih otonom lewat pilkada masing-masing?’

Soal mental masyarakat yang sudah enggan ‘kerja’ karena tumbuhnya bisnis ‘preman komunitas’, bagaimana terapinya? Penyuluh pertanian yang masif, cerita suksesnya di Indonesia, bahkan di negara berkembang seperti juga myanmar, adalah dipadupadankan dengan jalur ‘territorial dari tentara dan atau polisi’.. ABRI masuk desa dan Transmigrasi adalah padu padan tenaga Penyuluh pertanian yang pernah berjalan di republik ini

Kita mereformasi TNI kembali ke barak, sehingga usulan lama membawa program ‘dwifungsi’ melalui merger program Penyuluh dengan program ketentaraan pasti ditentang secara iklim demokrasi. Kalau itu mental model yang kita sepakati, bagaimana Capres memiliki teknokarasi pemberdayaan masyarakat sipil yang menjalankan Penyuluh ini? Gimanapun, itu harus dilakukan ‘growth or die’, berwacana terus ya ujungnya mulai kita rasakan (die) jadi importir terus…

Soal dana, saya kok merasa pikiran monetaris yang berpikir ‘saving gap’ atau rasio tabungan masyarakat kita yang rendah (di perbankan) serta durasi dana tabungan yang ‘jangka pendek’ harus kita revolusi mentalnya :) Karena, kalau itu terus paradigmanya, kita selalu berpikir ‘untuk tumbuh kita perlu investasi asing’

Faktanya, beberapa OKB orang lokal kita punya duit kok, salah satunya cerita pemain lahan pertanian di Myanmar ini… bahkan, jangan kaget kalau kita googling BUMN pun pernah mau ekspansi beli lahan pertanian di Luar Negeri, dimana yang dibidik Myanmar…. Dan kemudian, mental kita terbangun ketika CIC (BUMN Cina) dan Khasanah (BUMN Malaysia) berniat investasi besar-besaran di lahan sawah Indonesia…

Kita tak cukup hanya populis ‘revolusi mental’ atau di kutub satunya ‘ketahanan pangan, kita bukan kuli dan kulinya bangsa-bangsa’. Yang paling siap adalah Capres yang tak hanya ‘populisme’ tapi yang bisa menjelaskan idenya dalam ‘struktur tata negara yang ada’ serta ‘demografi penduduk yang tersedia’ ke dalam 5W + 1H (What, When, Where, Which, Who + How to).

Kita tunggu deh, semoga negeri ini akan jadi negara merdeka yang lebih baik bagi anak bangsanya. Karena, tiba saatnya kerinduan kita akan bangsa ‘gemah ripah loh jinawi’ negeri agraris dan maritim ini bisa fokus memberikan manfaatnya bagi meratanya akses kesejahteraan rakyatnya secara adil. Semoga saja, tiba waktunya dalam sisa umur kita dalam perjalanan saksi sejarah Indonesia :)

-yanuar Rizky, WNI biasa aja, lahir, sekolah, kerja dan usaha di Indonesia

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.