Lira Turki, Argentina Peso, Infrastruktur dan Copras-Capres: Rupiah dan Peta Jalan Bandarnomics (5)

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 12 Agustus 2018:
Masalah kita (Indonesia) adalah soal Ekonomi…. begitu kira-kira salah satu narasi yang dibangun dalam menyambut pemilu Raya 2019….

Lalu, Ekonomi seperti apa yang ingin kita anggap (sebagai masalah)….

Jumat kemarin (10/8/2018) Lira (mata uang Turki) jatuh ke titik terendah…. hiruk pikuk kita sedang copras capres… tapi, di luaran (media barat) banyak yang menciptakan framing “turki bisa memicu pecahnya balon krisis di emerging market”…

Sebelum Turki, framing yang sama juga sempat ramai ketika Argentina juga mengalami masalah di mata uang Peso…

Saya menulis sebuah seri yang maunya sih nulis santai tapi ada bobot sharing sekolah (di ruang) publik…

4 seri saya tulis pelan-pelan merangkum kembali semua apa yang saya pikirkan dan tuliskan sejak tahun 2002 ketika dunia mengatakan pemulihan krisis moneter asia 1998 telah pulih, seiring bergairahnya kembali arus modal (portpolio: hot money) dari ekses likuiditas di negara maju ke (calon) negara yang berkembang menjadi maju (emerging market)…

Tapi, saya tidak terlalu bersemangat menulis kelanjutannya… karena tampaknya ruang puiblik kita lebih senang dalam pola “lover vs hater”… mungkin saya salah, maafkan daku…

TAPI, izinkan saya mengajak (bagi yang tertarik) untuk melihat grafik hasil penelitian perubahan neraca bank bank sentral dunia yang ada dalam tulisan ini http://rizky.elrizky.net/rupiah-dan-peta-jalan-bandarnomics-rupiah-4
Dalam grafik itu, kalau kita mau belajar dari kejadian Turki (liat TUR di grafik dalam tulisan sebelumnya). Maka, posisi Bank Sentral Turki berada dalam posisi tidak terlalu menabung US Dolar (foreign asset) dalam neraca nya, berbeda dengan Bank Indonesia yang berstrategi “sedia payung sebelum hujan’. Sehingga, itu yang menurut pendapat saya yang mendasari “PeDe” nya BI.

Di kuadran liabilitas, Bank Sentral Turki, pun lebih berada ke arah hutang swasta (private debt) dibanding hutang pemerintah (surat utang negara. Berbeda dengan posisi BI, yang cenderung ke government debt.

Jadi, Turki mengalami masalah yang mirip postur Indonesia saat menjelang krisis 98, yaitu beratnya beban hutang swasta dan pervankan (di tangan kuali asing). Sedangkan, kita sebenernya sudah berubah polanya ke arah pembiayaan fiskal (negara) oleh pasar keuangan (moneter)

Bagaimana dengan Bank Sentral Argentina? Sama dengan BI, mereka lebih banyak menabung US Dolar dan surat utang pemerintahnya. Bedanya, BI lebih agresif menabung US Dolar, sedangkan Bank Sentral Argentina lebih Agresif menyerap surat utang negaranya.

Saya menduga Argentina juga menerapkan kontrol devisa, sedangkan kita full devisa bebas.

Observasi ini saya peroleh ketika menghadiri acara asosiasi pupuk dunia (IFA) bulan maret 2018 di Buineos Aires.

Dari mulai mengurus visa argentina, ketatnya terhadap kunjungan asing sangat terasa. Saya sempat berpikir ini negara terbelakang, tapi pas sampai ternyata kotanya indah seperti Eropa di Amerika Latin. Instagramable buat turis, tapi visa ketat.

Selanjutnya dari imigrasi antrian panjang karena pertanyaan bawa US Dolar berapa? Lebih jauh, US Dolar sama sekali ngak laku, semua bilang pemerintah melarang.

Bahkan di hotel berbintang jaringan internasional mereka menolak ketika kami ingin deposit dan membayar dalam US Dolar. Mereka bilang aturan kami asing harus transaksi dalam kartu kredit dalam mata uang peso dan atau uang peso.

Kagetnya lagi, di pasar rakyat yang ada setiap akhir pekan dan saat kami akan pulang dan tidak punya peso, mereka bilang hanya kartu kredit dalam peso tidak US Dolar. Hebatnya, kaki lima ada donggle ke smartphone untuk gesek kartu kredit.

Saya menduga masalah di Argentina, kalau bagi kawan kawan ekonom aliran pasar (devisa bebas: true bellievers of market mechanism) akan bilang itulah celakanya capital control..

Kawan-kawan aliran kendali negara pasti menyanggah… saya sendiri ngak tau pasti apa cuman sekedar observasi berkunjung valid sebagai kesimpulan? Tentu saja, terlalu cepat menyimpulkan. Perlu riset lebih dalam untuk membandingkan capital control (argentina) dan devisa bebas (Indonesia)

Lalu, apa sih kok media barat memframing “penyakit menular emerging market?”..

Di awal, saya menyampaikan awal muasal arus ombak tensi makro di emerging market selalu baper bin sensitif dari nilai tukar mata uang, adalah karena driver arus di neraca pembayaran (CA:current account) berawal dari inflow portpolio dari ekses likuiditas di negara maju.

Dus, dalam tulisan sejak 2007-2009 (bisa liat lagi ke belakang di blog saya ini), saya mengingatkan permainan “inflasi” negara maju adalah sesuatu yang akan menjadi persoalan bagi emerging market.

Kenapa? Permainan inflasi rendah di negara maju, akan mendorong harga komoditas di drive rendah oleh aksi aksi operasi moneter bank sentral negara maju dengan pelaku pasar keuangannya.

Turunnya harga komoditas akan memukul ekspor yang jadi andalan emerging market seperti Indonesia.

Namun, eksesnya ke CA dapat seolah tidak Defisit (CAD). Karena, inflasi rendah akan membuat bunga rendah di negara maju dan emerging market secara mid-long term inflasinya cenderung dari nilai tukar (harga bahan baku dan atau konsumsi impor) dan keperluan likuiditas (barang modal) yang selalu rindu asing.

Aliran outflow dari negara maju ke inflow negara berkembang di pasar keuangan (swasta dan pemerintah) akan menguatkan nilai tukar. Sehingga, barang impor menurun harganya dan arus dana portpolio mampu menutupi penurunan nilai ekspor.

Pada saat periode berhentinya kebijaka Quantitative Easing (The Fed) di 2013. Semua media barat mengatakan struktur CA di emerging market akan defisit kembali (CAD). Karena fragile (mudah pecah) mata uangnya.

Kendali arus inflow asing akan membuka penyakit fundamental CAD dari sisi impor bahan baku, barang konsumsi dan modal.

Jadi, tataran makro dimanapun akan bergerak ke ukuran inflasi, suku bunga. Dan itu berbahaya, kalau rentan terhadap arus modal asing dalam mata uangnya.

Kubu oposisi mengatakan pemerintah terlalu ambisius belanja infrastruktur?

Saya rasa 3 tahun saya terlibat dalam manajemen holding BUMN pupuk. Saya membaca data harga di level konsumen akhir di negara kepulauan Indonesia ada di biaya distribusi dan logistik.

Itu tak bisa dipungkiri karena kesenjangan infrastruktur. Dan, saya rasa siapapun pemimpin negeri ini akan menghadapi isu mendasar ini, sesuai amanat konstitusi keadilan sosial di seluruh wilayah NKRI.

Masalah tomat (tobat tapi suka kumat) CAD kita bukan hanya soal infrastruktur logistik distribusi, tapi juga industrialisasi proses daya kerja kita dalam mengisi bahan baku, konsumsi dan modal yang tidak ketergantungan asing.

Kebijakan substitusi impor, konsolidasi modal nasional dan revitalisasi pertanian dan energi adalah masalah struktural penyebab CAD.

Semua itu kadang kita lupa saat asing memanjakan kita dengan politik inflasi global rendah dan inflow portpolio. Kemudian, kita adu berisik lagi saat asing balik arah.

Ini, saya rasa beberapa agenda masalah politik ekonomi kita… Lalu, apa kita serius menjadikan ini narasi kebangsaan kita? Atau sibuk berdebat seperti tomat?

Soal prioritas dan cara kita bisa berdebat, memang masalah terbesar adalah mana lebih dahulu dengan cara (implementasi) yang mendahului kurva….

Waktu yang akan berpacu dalam melodi… hanya saja, benar saat ini BI menggunakan amunisi “pragmatis” nabung US Dolar yang saat ini dipakai bertahan angka psikologis Rupiah…

TAPI, ibarat lari maraton menjaga stamina dan bersatu adalah semangat dari penonton… mampukah, kita bersatu untuk mencari musuh berasama dan atau kawan bersama sebagai bangsa?

Saya juga hanya bisa berharap, semoga negara ini selalu bergeral seperti sepeda kata Einstein “teruslah bergerak untuk menjaga keseimbangannya”…

Salam #enjoyAja,
-yanuar Rizky, WNI biasa aja

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.