Membakar Duit (daripada) BBM?

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 1 September 2014:
Seringkali kita dengar ‘uang subsidi bbm dibakar’, terakhir inipun tampaknya (kembali) diyakini oleh Presiden terpilih Jokowi sebagai filosofi politik anggaran di APBN soal ‘konsumtif digeser ke produktif’

10 tahun era Presiden SBY misalnya, alokasi subsidi BBM yang menjadi dasar untuk ‘rakyat miskin’, dialihkan ke belanja sosial ‘BLT’. SBY dikritik abis, karena itujuga bisa tidak tepat sasaran. Salah satu alasan ‘tidak ke produktifitas’.

Barangakali, berangkat dari dasar yang sama ‘merelokasi anggaran subsidi BBM’, serta prinsip subsidi ‘langsung tepat sasaran’. Maka, dua hal itu sama saja pilihan Presiden terpilih Jokowi dengan Presiden SBY. Bedanya, kalau SBY ke belanja sosial (BLT), Jokowi ke insentif langsung produktifitas (Kartu Usaha Produktif).

Ada yang juga mendasar dilupakan oleh keduanya, bahwa BBM itu energi untuk berproduktifitas juga. Artinya, tak mungkin masyarakat (individu dan atau korporasi) akan ‘berusaha produktif’ tanpa berpergian (transportasi), tanpa distribusi, tanpa energi menghidupkan mesin-mesin di pabrik.

Jadi, persoalan ‘BBM sebagai inflatoir’ (pemicu inflasi) itu dikarenakan oleh ketiadaan ‘transportasi publik’ di sisi ‘intervensi mengurangi volume konsumsi BBM’ dan atau ‘energi alternatif’ di sisi menggantikan energi fosil yang semakin mahal (karena suply nya menipis).

Transportasi publik yang tidak tersedia, menyebabkan beramai-ramai memiliki transportasi pribadi. Jadi, menurut hemat saya, ‘dibakar’ itu bukan karena tidak produktif tapi dikarenakan inefisiensi alat transportasi.

Kalau itu cara berpikirnya, maka realokasi subsidi BBM misalnya harusnya diarahkan ke pembangunan transportasi publik sebagai variable intervensi untuk efisiensi alat transportasi (produktif) publik.

Coba berpikir tenang, wira-wiri masyrakat itu benar ada yang kerja (produktif), dan juga yang jalan-jalan (konsumtif). Jadi, dengan produktifitas mereka akan berpenghasilan (objek PPh: Pajak Penghasilan) yang memungkinkan mereka jalan-jalan untuk belanja (Objek PPn: Pajak Pertambahan Nilai). Jadi, ‘membakar energi’ itu adalah ‘sumber pertumbuhan kan’?

Yang salah adalah marjin biaya mendorong ‘sumber energi’ (subsidi) tidak efisien secara rasio dengan pertumbuhannya. Diliat dari realokasi pajak (di penerimaan APBN) semakin hari semakin habis oleh subsidi BBM (di sisi pengeluaran APBN).

Kalau itu masalahnya, apakah karena ada tikus di lumbung padi kita bakar lumbungnya? Dalam konteks ini, menurut saya inefesiensi rasional terjadi dikarenakan ‘investasi infrastruktur transportasi publik’ tidak pernah jadi pilihan politik anggaran.

Dimana, Investasi adalah transaksi hari ini untuk masa depan, maka kalau kita mau lepas dari ‘sandera polemik subidi BBM’ maka tawarannya berinvestasilah ke infrastruktur transportasi publik, agar di masa depan terjadi pergeseran barang publik dari ‘BBM’ ke ‘transportasi publik’.

Adalah juga benar, dampak kebijakan BBM juga akan kena ke yang paling terdampak. Yaitu, masyarakat yang terkena inflatoir BBM. Itu mengapa, cara berpikir BLT terjadi, yang terbukti tak efektif. Kritiknya, tentu karena BLT tidak menjadikan si Miskin terdampak tidak dikasih ‘alat produktifitas’. Tampaknya, pemerintah baru berpikirnya baru ke sisi pandang yang sama, tapi beda caranya saja.

Soal usaha produktif, sebenarnya pemerintahan SBY juga mengenalkan KUR (Kredit Usaha Rakyat) dengan ‘saluran perbankan’, serta PNPM (Program Nasional Pendampingan Masyarakat) dengan saluran dana program (APBN) di kementrian.

Benar bahwa KUR dan PNPM daya geraknya ‘lamban’ dan kurang masif, maka yang harus dibenahi adalah birokrasinya serta efektifitas programnya.

Misal KUR, harusnya ditetapkan dulu program unggulan ‘Usaha Produktif Rakyat’ itu apa? Maka, subsidi bunga, atau suku bunga KUR dibawah pasar itu diberikan ke sektor unggulan yang telah ditetapkan, yang diyakini pemerintah akan jadi pemicu produktifitas di masa depan (tambahan potensi pajak).

Di beberapa negara menerapkan bunga rendah, bahkan ‘negative spread’. Yaitu, bunga ke sektor unggulan lebih kecil dari bunga komersil kredit dan atau bahkan bunga deposito.

Misalnya saja, di tahun 2012 dalam sebuah perjalanan bisnis ke Malaysia, saya bertemu kawan lama di negeri jiran tersebut yang beralih dari bisnis IT ke bisnis pakan ternak. Dalam pembicaraan itu, kawan ini bilang ini dikarenakan ada subsidi bunga dari kementerian keuangan Malaysia.

Pola di negeri Jiran itu adalah insentif bunga, negative spread di perbankan untuk pembiayaan usaha menengah yang membangun pabrik pakan. Selisih bunga yang jadi ‘kerugian bank’ ditutup oleh dana subsidi dari Kementerian Keuangan negara itu.

Apa dasarnya, kata kawan saya ini dikarenakan ada riset harga ‘ternak untuk konsumsi’ itu jadi naik terus (inflatoir) dikarenakan pakan ternak harganya dikartel. Sehingga, pemerintah Malaysia (menurut kawan saya ini) mengintervensi harga pakan dengan menyiapkan ketersediaan pakan itu sendiri.

Jadi, mendorong usaha menengah ke arah sektor tujuan strategik pemerintah. Dimana, untuk distribusi nya akan ikut aturan ‘kartel pemerintah’ dalam menjaga harga pakan itu sebagai imbal hasil dapat subsidi bunga.

Sungguh, cerita kawan saya ini masih terus terngiang-ngiang di pikiran saya. Seandainya, saya punya pemerintah ada keberpihakan ke UKM secara nyata, serta tau kemana arah (strategik) produktifitas bangsa ini akan dibawa, maka itulah yang disebut ‘indeks kemudahan dalam berusaha’.

Jadi Pak Jokowi (Presiden Terpilih), saya sebagai rakyat biasa tentu berharap banyak hal-hal strategik dirumuskan. Soal BBM harus kita tuntaskan polemiknya, maka perlahan kita harus bangun transportasi publik.

Soal produktifitas, sesederhana saya berpikir rasanya yang harus dilakukan adalah revitalisasi program ‘KUR’, ‘PNPM’ dan juga ‘Dana Desa’ di APBN agar lebih efektif ke sektor unggulan. Bapak Presiden terpilih, jika ingin terasa bedanya rancang lah sektor unnggulan ini yang akan jadi dasar pijakan efektifitas program.

Kalau semua dana dari APBN, percayalah tak akan pernah cukup. Saya pikir, misalnya saja subsidi bunga bisa diartikan seperti ini misalnya saja, Bank yang memberi kredit ke sektor unggulan akan dapat diskon PPh untuk kompensasi bunga lebih rendah lagi ke KUR sektor unggulan.

Sebaliknya, Bank yang cuma ‘ngegoreng duit’ untuk untung cepet tanpa ada multiplier ke ekonomi kenakan disintif dengan tarif pajak lebih tinggi.

Itu juga bisa diterapkan untuk pembiayaan infastruktur publik oleh perbankan. Jadi, uang fiskal tak selamanya yang ada di APBN, ada juga dana perbankan dan BUMN seperti pernah saya tulis sebelumnya.

Semoga saja, ada cara baru yang lebih strategik dari pemerintahan baru ini, agar kita terus #moveON menuju Indonesia yang semakin lebih baik lagi. Selamat memilih kebijakan, semoga bijak!

-yanuar Rizky, WNI biasa saja

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.