Meraba Politik Ekonomi Indonesia Hari Ini dari Cermin Hari Kemarin

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 18 Januari 2015:
Tahun 90an Asia disebut-sebut sebagai macan pertumbuhan. Ada 2 negara yang disaat itu banyak mendapatkan arus masuk modal asing, rating yang bagus di pasar keuangan, prediksi para futurolog ekonomim.. yang dalam teori The Global Future Shock nya Alvin Tovler, saat itu ke 2 Negara, yaitu Indonesia dan Korea Selatan disebut sebagai negara dengan ciri ‘The Third Wave’

Ada yang menarik saat itu era tahun 1990 Korea Selatan menjadi negara demokratis, Presiden era demokratis itu namanya Roh Tae Woo… sedangkan Indonesia adalah negara otoriter dari kacamata demokratisasi Barat karena proses pemilu perwakilan yang menghasilkan Presidennya lagi-lagi Soeharto..

Tapi, kalau kita tarik garis waktu, ya bisa minta bantuan mbah Google lah untuk back track kondisi waktu itu… di tahun 1990-1994 boleh dibilang masa-masa emas bagi Indonesia dan Korea Selatan dalam gambar media terkait pusat pertumbuhan ekonomi dunia..

Jika kita mencatat lagi sejarah ke belakang, di tahun 1997-1998 saat krisis moneter dipicu krisis di Asia, menariknya Indonesia Rupiah dan Korea Won juga yang mengalami dampak pelemahan terbesar, setelah sebelumnya di era 1990-1994 menjadi mata uang yang kuat dengan arus modal asingnya.

Pembalikan arah arus uang moneter saat itu terasa sejak 1996, dan puncaknya di 1997-1998. Kalau dibaca referensi informasi pada saat itu, alasan global investor adalah dipicu oleh persepsi pemburukan resiko politik dalam negerinya. Mereka berkilah bukan karena ‘forecast positive’ mereka yang seolah ‘main-main’ bin ‘mancing dalam pujian’ di periode sebelumnya.

Yang menarik adalah di tahun 1995, Korea Selatan memasuki babak baru negara demokrasi yang baru tumbuh, yaitu ditangkapnya mantan Presiden Roh Tae Woo oleh penggantinya Presiden Kim Young Sam. Pokok perkaranya adalah Korupsi, yaitu menerima dana dari para kaum chebol (konglomerat dalam istilah Korea).

Di sisi lain, di negara yang Presidennya 4L (Lu Lagi Lu Lu Lagi) selama 3 dasawarsa, yaitu Indonesia sudah ada yang melakukan kritik keras terhadap suksesi dan reformasi sistem politik orba ala Soeharto. Amin Rais mungkin salah satunya yang muncul saat itu, disamping anggota DPR saat itu dari PPP Sri Bintang Pamungkas yang juga terang-terangan meminta suksesi Soeharto.

Bagi saya ada sesuatu yang tersirat namun tak tersurat, apakah benar sebuah economic forecast tidak menghitung politic risk?. Dalam arti, ketika arus modal dimasukan ke sebuah negara, apa benar mereka tidak menduga ada resiko instabilitas? Sehingga, begitu ada konflik politik di negara itu mereka menarik dananya dengan alasan seolah posisi kekinian dari politik bukan karena forecasting ekonominya.

Dari banyak literatur ilmiah yang pernah saya baca, daya tarik pasar yang masih berkembang (emerging market) adalah ketergantungan modal asing, dan bagi asing sendiri dalam banyak hal itu menarik karena potensi keuntungan tradingnya juga besar. Karena, dalam pasar yang mapan dan stabil arus isu cenderung stabil sehingga gerak fluktuasi pun terbatas.

Sebaliknya, di emerging market dengan isu yang besar dan posisi yang masih terus bergerak menyebabkan ruang fluktuasi pun lebar, artinya selisih keuntungan trading modal itu lebih terbuka lebar.

Itulah mengapa banyak kalangan di negara berkembang menempuh cara capital control dalam pengelolaan pertumbuhan modal asing, serta ekspansi modal lokalnya. Sebut saja, Tiongkok yang dalam 10 tahun terakhir ini menjadi kekuatan ekonomi global setelah melalui fase capital control dalam sistem pasar terbukanya.

Jadi, dunia ini dalam globalisasi, seperti dikatakan Toffler akan melahirkan ‘future shock’, dimana terjadi pergeseran model pertumbuhan yang dipicu oleh perubahan gaya hidup dan geo politik.

Rasanya, sebagai bangsa saat ini kita sudah memulai era baru paska krisis 1998, yaitu negara demokratis. TAPI, kita patut berhati-hati juga terhadap gejala resiko politik internal yang belum mapan terkonsolidasi ke era baru, sehingga gesekan antara politik struktural (elit) dan politik persepsi publik terasa terus menjadi isu “api dalam sekam” dalam era demokratisasi ini.

Saya rasa posisi kita saat ini persis seperti Korsel di tahun 90an. Meski belum ada antar Presiden saling tangkap seperti di Korsel, tapi isu korupsi yang saling lempar antar rezim juga terasa di Indonesia saat ini, dan di sisi lain kita juga mulai merasa ada sesuatu dalam arus modal asing yang mulai ‘bertingkah’, yang seolah tersirat lagi cari momentum juga untuk “pulang kampung” dengan keuntungannya.

Ya, ini sekedar orat-oret, yang semoga saja Presiden Jokowi mampu mengatasinya dengan baik. Beliau harus diingatkan juga bahwa dunia globalisasi dengan ‘sihir pasarnya’, juga melahirkan era geo politik yang terlalu cair, dan mudah bergeser-geser.

Rasanya, konsolidasi persatuan dan kesatuan bangsa memang harus menemukan perekatnya, entah dari sisi nilai ‘kawan bersama’ atau kesamaan sikap dalam memberantas korupsi sebagai “musuh bersama’ tanpa pandang bulu secara efisien, efektif dan ekonomis.

Kalau kita liat Korsel, krisis 1998 melahirkan negara yang saat ini kita lihat, yaitu pertumbuhan kelas menengahnya. Itu terjadi, karena koreksi sistem chebol dan rekonsiliasi politik, ditandai diselesaikannya kasus korupsi elitnya. Jadi, kadang saya pikir mungkin untuk maju kita memang harus belajar jatuh dulu…

Tapi, saya yakin dengan kepemimpinan yang kuat. Yaitu, menurut Bung Hatta ‘syarat terjadinya revolusi adalah pemimpinnya tahu kemana arah bangsanya akan dibawa dan bertanggungjawab untuk melaksanakannya’. Indonesia gemah ripah loh jinawi bukanlah mitos, tapi tujuan yang harus kita capai bersama! Semoga saja….

-yanuar Rizky, WNI biasa saja, tulisan ini menuliskan apa yang terpikir dari apa yang terasa dalam ingatan #enjoyAja

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.