Politik Dan Bisnis

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 30 November 2014:
Tahun 2014 akan segera berakhir, bagi banyak pengusaha ‘besar’ ini tahun perebutan kekuasaan, atau kasarnya investasi politisi. Dana dan kosentrasi bisnis banyak dialokasikan ke politik, yang tujuannya tentu saja untuk berbisnis di masa depan.

Polanya, bisa berupa ‘portpolio management’ dan atau ‘investasi baru’. Dalam ‘portpolio management’, untuk pengusaha yang dominan dalam struktur politik lama, tentu akan mencari posisi lindung nilai (hedging), yang dalam satu kalimat terkenal di teori investasi jurusnya ‘don’t put your egg in one basket’.

Jika kita punya telur ‘politik’ maka menempatkannya dalam ‘satu keranjang kekuatan politik’ akan menyebabkan semuanya pecah jika keranjangnya jatuh. Dalam posisi itu, tentu pengusaha dominan di keranjang lama, tetap akan berusaha mengalihkan isi telurnya ke keranjang lainnya.

Lalu, bagi pengusaha yang dalam keranjang kekuatan lama, proses pemilu juga saat ideal untuk menciptakan keseimbangan baru. Dimana, titik keseimbangan baru akan terjadi saat pemain dominan bergerak ke arah baru (Nash, 1994)

Game theory dari John Nash itu mendapatkan nobel. Dan cukup populer, setidaknya setelah kisah hidupnya difilmkan secara ciamik dengan judul Beautifull Mind. Intinya adalah Nash mengamati non-cooperative game antara dua atau lebih pelaku dalam melakukan strategi, sehingga muncul pemenang yang tercemin dalam sebuah keseimbangan (equilibrium).

Pemain dominan tentu saja menikmati keseimbangan yang tercipta, tapi berstrategi diam saja akan membuatnya kehilangan zona nyaman keseimbangan itu. Karena, pemain lain akan berusaha merebut zona nyaman itu.

Di ranah teori strategi, dinyatakan bahwa strategi itu adalah aksi. Jadi, jika anda tak melakukan aksi, maka anda tak punya strategi.

Ada pola monopoli, dimana melalui kekuasaan anda akan menjadi satu-satunya pemain dominan. Tentu, dalam iklim politik negara demokrasi pasar seperti Indonesia saat ini pola itu sudah usang.

Ada pula pola oligopoli, dimana anda bersepakat dengan pemain lain untuk ‘berbagi keuntungan’ tanpa saling menganggu, prinsipnya ‘kebersamaan’. Ini bisa saja terjadi dalam iklim demokrasi, yang kemudian dikuasai oleh beberapa pemodal yang bersepakat (oligarki).

Tapi, dalam oligarki sekalipun, dengan iklim demokrasi terbuka lebar, maka pasti ada saja pemimpin (dominan) dalam oligarki. Tentu, yang tak dominan akan berusaha merebut dominasi.

Singkat cerita, itulah kira-kira kaitan antara berpikir ‘dunia akademik soal strategi’ dalam melihat realita tahun 2014 di mata pengusaha besar. Bagaimana dengan pengusaha kecil dan menengah?

Tentu, ada yang berusaha mengekor ke salah satu kekuatan dominan yang ada. Entah itu aktif di partai politik dan atau kekuatan pemodalnya. Tapi, tak semua pengusaha berpikir pertumbuhan seperti itu. Banyak juga yang berpikir sustain (ajeg), yang ukurannya simpel aja ‘enak tidur’.

Bagi banyak enterpreuner akhir tahun seperti ini adalah saatnya merenung pencapaian tahun ini sekaligus melihat peluang di tahun akan datang (2015).

Demikian pula dengan saya, sehingga dalam minggu-minggu terakhir tentu saya sering ketemu juga dengan komunitas pengusaha, dari yang besar sampai yang prinsipnya yang penting ‘enak tidur’.

Setiap saya ketemu sesama pengusaha kecil-menengah seperti saya, semua seragam ‘tahun 2014 berat bener, cash flow rusak’. Variannya bermacam-macam, kalau yang masih ada ‘tabungan’ tentu keluhannya ‘dana cadangan devisa tergerus untuk mengatasi biaya operasional disaat pendapatan operasional negatif’

Dan, ada beberapa, bahkan juga teman baik saya tak seberuntung itu. Karena, bisnis dibiayai Bank, maka begitu skenario pendapatan tidak lancar yang terjadi pembayaran kredit pun macet. Bahkan, untuk yang skala pengusaha menengah kecil ruang restrukturisasi sempit, maka Bank bersiap akan mengeksekusi agunan dan sebagainya.

Dimana, pengusaha kecil-menengah itu terkait aset pribadi, baik itu agunan ke bank maupun cadangan devisanya. Dalam diskusi, ada kawan yang ‘off side’ karena pekerjan dengan pemerintah ‘delay’ bahkan ‘macet’ karena peristiwa politik (B2G: Business to Government).

Dan, ada juga, termasuk unit-unit usaha kami, yang terkena dampak menyempitnya uang beredar di dunia usaha diakibatkan sektor swasta besar memperkecil ruang belanjanya di tahun 2014.

Transaksi B2B (Business to Business) antar swasta yang mengering ini, saya pikir diakibatkan oleh 2 hal: (1) pengusaha menengah yang belanja ke perusahaan kecil menengah lainnya terhenti dikarenakan transaksinya dengan pemerintah juga terdelay; dan atau (2) pengusaha besar sedang sibuk mengalokasikan dana untuk investasi politisi, sehingga belanja ke sektor swasta lainnya berkurang.

Itu analisa soal 2014. Lalu,banyak kawan-kawan sesama enterpreuner optimis berlalu juga ini tahun politik. Tahun depan, kita haru segera rumuskan strategi. Pertanyaan diskusi seragam ‘gulanya di tahun 2015’ ada dimana? Karena, peribahasa klasik mengatakan ‘ada gula ada semut’.

Kalau dilihat, peta politik pemain dominan dari sisi bisnis jelas menciptakan keseimbangan baru.Yaitu, lahirnya pemain lama yang kemarin tidak dominan, dalam realita hari ini merekalah yang dominan.

Di titik ini, alokasi belanja fiskal dari realokasi APBN dari subsidi BBM harus bisa dilihat sebagai representasi dari ‘titik keseimbangan baru’ yang coba ditarik oleh pemain dominn baru.

Otak enterpreuner tentu saja, kalau tidak bisa jadi dominan, ya mengekor saja dengan pemain dominan. Saya sendiri termasuk yang berpikir ‘long term’ dan ‘enak tidur’. Tentu, saya juga sulit jika usaha defisit, tapi langkah pragmatis mengekor ‘keranjang politik bisnis’ selalu saya gariskan kepada manajemen kami untuk dihindari.

Saya termasuk yang percaya ‘menciptakan produk’ dan ‘meningkatkan kualitas jasa’ adalah pull demand factor dalam pilihan strategi. Yaitu, menarik permintaan pelanggan dikarenakan memang produk dan jasa yang kami hasilkan sebagai magnetnya.

Itu tentu melelahkan dan butuh stamina, yaitu antara cadangan modal dengan time frame waktu. Semakin panjang,tentu semakin butuh stamina. Karena itu, memilih strategi ini tentu saja butuh tim yang solid yang dapat efisien dan efektif dalam waktu.

Di sisi lain, teman pengusaha saya yang lain mengajak saya bisnis ke sektor lain, yang lagi rame sinyalnya di isu ‘APBN’. Kawan saya membawa investor asing yang punya perangkat power plant yang diruning dengan sampah (bio mass).

Di negaranya itu berjalan, yang dibutuhkan per hari minimal sampah 200 ton. Saya bilang ke kawan saya, waduh rumit lah harus berhubungan dengan pemerintah, baik di soal sampahnya (pemda) maupun jualan listriknya (karena distribusi listrik di PLN).

Lalu, saya ditunjukan aturan pembelian listrik yang baru. Menurut asing, ini kan terbuka. Kemudian, saya bilang ke teman saya. Gini petanya, harga batubara itu rontok karena di Amerika pakai shale gas dan Eropa go green (bio mass). Sementara alat mesin pembangkit itu arah industri Tiongkok, dimana alat tiongkok jalannya pakai batubara.

Saya katakan ke kawan ini ‘kalau menurut gue, ini power plant akan menyerap banyak batubara yang dipunya bohir dan mereka sinergi ama Tiongkok. Jadi, power plant yang dimaksud itu kebijakan kayaknya yang itu. Kalau kita investasi ke Bio Mass, saingannya kan itu, dan tidak mudah juga’

Itulah yang disebut pemain dominan dan keseimbangan baru. Semua itu pilihan berbisnis, kalau saya sih memilih yang bisa dikerjakan aja lah, daripada berpikir rumit malah jadi ngak enak tidur #enjoyAja

-yanuar Rizky, WNI Biasa aja.
posting artikel ini hanyala sebuah catatan pribadi dari seorang pengusaha kecil yang mencoba merintis perusahaan yang berdikari :)

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.