Sinyal Perang? Dan, sejarah pemulihan ekonomi yang berulang

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 10 Oktober 2016:
Apakah krisis besar yang dipicu crash bursa New York 1929, yang kemudian menjadi krisis di Amerika Serikat dan juga kemudian (konon) menjalar jadi krisis ekonomi Dunia, terselesaikan dengan paket kebijakan New Deal Franklin D. Roselvelt (Presiden AS yang terpilih pada Pilpres tahun 1934)?

Era New Deal yang dikenal juga era Ekonomi Keynesian, intinya memperbesar peran negara untuk mengendalikan kegagalan pasar. Apa itu terapinya?

Banyak scholar mengatakan dalam beberapa Jurnal bahwa New Deal hanya mampu mengantatkan ke sinyal pemulihan, tapi keseimbangan baru terjadi setelah Perang Dunia terjadi. Ya, perang dunia ke 2 yang menghasilkan “kembali ke 4L: Lu Lagi Lu Lagi” sebagai pusat ekonomi politik dunia.

Dari sisi analisis “otak-atik gathuk: history repeat on itself 》stock repeat on itself”, krisis besar yang berulang di tahun 2008 yang juga diawali crash bursa New York. Hal yang berulang juga saat ini, yaitu menjalar ke pelemahan ekonomi dunia.

Lagi-lagi sama halnya dengan “cerita sihir new deal”, konon katanya ekonomi AS juga sudah memberi sinyal pulih. Ditandai keinginan The Fed menormalisasi kebijakan Quantitative Easing (QE), berupa dinaikan kembali bunga rendah (stimulus) ke jalur normal pertumbuhan ekonomi AS yang juga membutuhkan inflasi dalam batas tertentu.

QE sendiri menjadi diskusi seru di kalangan scholar, apakah itu Keynesian? Ataukah cara Monetaris (pasar) yang dikendalikan negara (keynesian)?

Satu yang pasti, normalisasi berupa kenaikan bunga itu sampai saat ini masih cerita “konon”. Artinya, QE sendiri tidak sepenuhnya berhasil, hanya sebatas sinyal seperti cerita New Deal.

Lalu, apakah praduga beberapa scholar benar “bukan new deal yang memulihkan ekonomi paska krisis besar 1929, tapi perang dunia ke 2”? … kalau iya, bakalan perang lagi dong ke depan ini?

Karena, perang dunia lah yang “memaksa” dunia kembali ke keseimbangan baru yang diinginkan oleh pemain dominan lama untuk tetap menjadi pemenang.

JADI, siaga, sinyal perpecahan yang mengarah ke perang sudah mulai tampak di banyak negara yang mengarah ke suasana dunia yang memanas.

Berbeda dengan zaman dulu di era “perbudakan”, penjajahan fisik, saat ini antar negara seolah secara fisik saling bekerjasama, tapi saling menyerang di lapangan perang moneter global.

Dalam pledoi Bung Karno di pengadilan Hindia Belanda tahun 1930 dengan judul “Indonesia Menggugat Menggugat”, era krisis 1929 digambarkan dalam kalimat Bung Karno “kami disuruh kerja paksa, menanam rempah-rempah di tanah air kami, yang hasilnya dibawa untuk membiayai krisis industri di negara-negara barat”

Tahun 2008-2009 di beberapa media, saya sudah menulis alert ON subtansi “Indonesia Menggugat” berulang, tapi lahannya tidak lagi rempah-rempah. Ya, berpindah ke pasar keuangan negara berkembang yang ditanam oleh QE negara-negara maju. Melenakan, yang hasilnya sama saja membiayai krisis negara maju.

JADI, mungkin ada benarnya pendapat profesor di Australia yang dikenal Indonesianis diliat di sisi “pengaruh” saat ini di dunia yang bergejolak akan sulit bagi Indonesia jadi kekuatan baru.

Marahkah kita? Pujian selangit dengan masuknya kita di G-20 apa tidak cukup sebagai bukti kekuatan ekonomi dunia? Kalau kepala dingin, rasanya pakta-pakta kerjasama adalah basa-basi di era saat ini. Yang nyata adalah aksi masing-masing negara untuk mempengaruhi keseimbangan baru yang akan terjadi.

Rasanya, kalau kita mau merefleksi diri, ingatan Profesor Australia dan juga banyak kritik membangun di dalam negeri, adalah bertujuan untuk membangunkan kita semua untuk melakukan aksi.

Strategi adalah aksi, bukan persepsi dalam berita dan rating yang melenakan. Jadi, tanpa aksi, ya tak akan mencapai kelas bangsa berpengaruh. Sesimpel itu!

Kalau kita menyadari hal itu, hati-hati perang isu yang kata orang “proxy war” sudah terasa meski tak terpegang. Boleh saja bilang … ‘aaah itu mah orang-orang berhalusinasi dengan teori konspirasi”… terserah anda, tapi sinyal pertikaian, perselisihan dimana-mana.

Bahkan di media sosial kita, nyata betul kita semakin senang berselisih…

Pemimpin yang tegar mempersatukan musuh bersama bangsanya, seperti era Indonesia Menggugat (Bung Karno, 1930) dan Ekonomi Daulat Rakyat (Bung Hatta, 1931). Itu yang kita tunggu, dalam proses biaya politik mahal, sejak reformasi 1998.

DAN, tentu kita juga harus jadi rakyat yang rasional, bukan senang berantem ama bangsa sendiri, betul apa betul?

Inilah dunia yang hidupnya dari cari selisih (marjin) dari operasi moneter membiayai negara maju (fiskal) di pasar keuangan. KALAU, hidup dari selisih, ya kita akan masuk era perselisihan. Itu fakta empiris sejarah peperangan di dunia.

Ayo kita kompak, dipersatukan oleh Nasionalisme politik ekonomi. Bukan, malah saling menjelek-jelekan pribadi dan atau membangun politik idola di satu sisi dan politik benci di sisi mata uang lainnya. Kalau itu terus yang kita pilih, kita akan semakin sibuk dan hilang kosentrasi ditengah gejolak dunia.

Pilihan strategi negara ada di pemimpin, itu benar. TAPI, memilih untuk menjadi bangsa rasional dan dewasa juga ada pada diri kita semua sebagai Warga Negara Indonesia (WNI).

Salam #enjoyAja,
-yanuar Rizky, WNI biasa aja

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.