TPID Kukejar, TPID Kutangkap

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 17 Juni 2014:
Saya melalui ‘isu TPID dalam debat Capres’ ingin melakukan penelitian sederhana, menggunakan model Eksperimental Ekonomi. Mudahnya, seperti labotarium di biologi yang menguji melalui eksperimen. Bedanya, di ekonomi eksperimennya dilakukan di labotarium sosial, yaitu di komunitas Masyarakat. Dalam hal ini, saya memilih komitas yang terkoreksi di internet.

Sebelum terlalu rumit :) .. kita ke intinya aja deh… pagi kemarin saya menulis tentang ‘TPID’ (http://rizky.elrizky.net/umpan-tpid-dari-jokowi-dan-blunder-prabowo). Saya memulainya dari sisi sentimen, yaitu blunder Prabowo atas umpan Jokowi di debat. Darisana, saya kemudian membahasnya ke arah fundamental (yang juga tak tereksplorasi di debat Capres nya) tentang peran struktural Kepala Negara dalam harmonisasi Pemerintah Pusat – Pemerintah Daerah dan Otoritas Moneter. Luar biasa, blog saya dalam 4 jam saja untuk tulisan itu sudah dibaca 7 ribu orang dan di share ke medi sosial sebanyak 350 kali oleh pembacanya. Bahkan, data pagi ini setelah 24 jam diposting dibaca 23 ribu pembaca dan di share lebih dri seribu pembacanya ke medsos.

Lalu, siang kemarin, saya mencoba mengukur hipotesis saya, apakah ini karena isu teknikal ‘sentimen’ karena ada capres di atas angin dalam pertunjukan debat, ataukah karena memang pembaca mendapatkan esensi fundamental yang ingin saya tuju? Dari ribuan pembaca, tentu yang tak berkomentar saya tidak bisa tau. Tapi, dari yang komentar, saya hanya membaca seorang pembaca yang mengaku apolitis tapi dia jadi tau apa itu TPID. Selebihnya, menjadikan tulisan saya sebagai ‘alat kampanye’ bagi preferensi pembaca itu sendiri.

Disana, saya membaca ada ketidakseimbangan, terutama di Fesbuk. Saya ‘dipuji’ kubu Jokowi dan saya ‘dikecam’ kubu Prabowo. Sekali lagi, saya selalu mengatakan sebagai warga negara, saya punya pilihan tapi tidak akan saya sampaikan terbuka, dan setiap kesempatan di ruang publik saya akan berusaha untuk berimbang dan proporsional. Untuk itulah, saya sore hari kemarin, saya memposting status untuk ‘menyeimbangkan keadaan'(https://www.facebook.com/yanuar.rizky/posts/10203284274961862?notif_t=like). Dalam game theory, jika aksi diikuti reaksi, maka keseimbangan baru akan mengarah ke posisi saling berbagi keuntungan (50:50). Tapi, jika tidak ada reaksi maka keuntungan menjadi milik pemain dominan yang melakukan aksi (100:0).

Ibarat sepakbola, ketika kita nonton debat, blunder dengan mudahnya terlihat. Tapi, kalau rekamannya diputar ulang, maka akan terlihat di yang menciptakan blunder pun ada blunder, entah itu off side atau handball. Itu yang saya lihat, beberapa komentator, kemudian menunjukan Jokowi dan juga saya salah dalam mengurai kata ‘P’ dalam akronim ‘TPID’, dimana di web BI (http://www.bi.go.id/id/moneter/koordinasi-pengendalian-inflasi/pokjanas/Contents/Default.aspx) itu Pemantauan, bukan pengendalian.

Reaksi saya sebagai komentator, menerima masukan tersebut dan mengkoreksi betul legal formal yang ada sekarang ‘pemantauan’, meski saya jelaskan jangka panjang itu akan jadi ‘pengendalian’ Ini menarik bagi saya, artinya yang saya tulis lebih ditangkap sebagai ‘sentimen’ bukan isunya, dan soal sentimen ada yang dirugikan, yaitu kubu Prabowo.

Lalu, saya ingin menguji jika kita lihat blunder sebagai aksi, maka reaksi pun akan ditimbulkan dari blunder pula. Sore-sore, saya masuk ke situs pemantauan harga pangan, aplikasi yang dibuat BI kemudian diserahkan kep Pemda untuk dioperasionalkan berupa update harga pangan. Di pemda DKI (dimana Jokowi masih Gubernur nya) data http://infopangan.jakarta.go.id diupdate terakhir per hari kemari (16 Juni 2012) pukul 14:00 adalah terakhir tanggal 20 Mei 2014. Lalu, saya klik pesaingnya, pemda tetangganya (Jabar) di http://priangan.org di waktu yang sama data menunjukan terakhir di update tanggal 13 Juni 2014.

Eksplorasi ini, melahirkan hal substantif yang ingin saya kejar di isu ‘TPID’, kalau di tulisan pertama saya ingin mengangkat substansi strategis visi kepala negara dalam harmonisasi antar pusat-daerah-moneter, maka disini gap (kesenjangannya) di masalah operasional, yaitu bagaimana pemda di seluruh propinsi bisa melakukan manajemen operasional aparaturnya agar konsisten dan seluruh daerah sama standarnya, yaitu rajin update data. Maka, saya capture dua fakta di dua TPID ini untuk diangkat melalui labotarium sosial Fesbuk :), yang isu subtansinya adalah satu masalah yaitu harmonisasi dan standarisasi aparatur pemda yang berbeda-beda garis komando.

Sama dengan tulisan di blog, di status fesbuk saya juga menonjolkan blunder, dalam hal ini jika di tulisan blog dibaca ‘blunder milik Prabowo’ maka di status (sebagai reaksi atas tulisan di blog) dibaca ‘blunder milik Jokowi. Dan, faktanya lagi-lagi menarik, status saya di share oleh banyak fesbuker, dan sejak sore kemarin sampai pagi ini saya mendapat permintaan pertemanan dari banyak teman-teman baru. Jadi, dari sisi game theory, saya membuktikan satu hal aksi-reaksi akan menyebabkan keseimbangan (50:50) kecuali memang aksi terjadi dalam kesempurnaan sehingga sulit diberikan reaksi untuk berbagi keuntungan.

Dari model Eksperimen Ekonomi ini, saya menemukan fakta sedehana:

(1) Soal Pilpres 2014, isu sentimen lebih dominan dari substansi sebagai penggerak komunikasi politik di pemilih

(2) karena pemilih dapat diganggu ketergerakannya dari sentimen, kandidat Capres terjebak ke eksplorasi sentimen atas lawannya dan atau pencitraan terhadap dirinya. Menariknya, dalam sentimen yang diambil pada dasarnya masing-masing punya kelemahan yang sama, sehingga dominasi selalu dapat ditarik ke titik berbagi (50:50).

(3) membahas isu substantif akan memancing ‘keingintahuan’ masyarakat jika dimulai dengan pendekatan ‘sentimen’. Ini artinya, siapapun Presiden terpilih akan menjalankan ‘agenda propaganda’, tapi apakah sentimen akan jadi alat memperbaiki hal fundamental dalam ‘mental accounting’ masyarakatnya, disitulah Kepemimpinan (saat memerintah) diuji.

Ini hanya riset kecil-kecilan yang saya lakukan, melakukan game theory dan bereksperimen di labotarium dunia maya untuk ‘testing the water’. Boleh setuju, boleh tidak…. yang penting tetap dalam koridor ‘diskusi sehat wal’afiat tanpa sakit hati. Selamat memilih Indonesia, meski berbeda-beda pilihan Capres, tapi kita punya Pekerjaan Rumah yang sama, yaitu membuat struktur politik ekonomi (Pemerintah Pusat – Pemerintah Daerah – Otoritas Moneter) dapat bekerja. Itulah agenda terbesar dari Presiden (Kepala Negara) yang kelak akan terpilih, yaitu mempersatukan bangsanya dan tidak merasa diri dan atau kelompoknya benar sendiri. Semoga, Indonesia menjadi negara yang lebih baik. Salam #enjoyAja

-yanuar Rizky, WNI biasa aja

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.