Uang Beredar, Dominasi Asing dan Pengelolaan Isu Copras Capres

“Orang-orang yang suka berkata jujur mendapatkan tiga hal, kepercayaan, cinta, dan rasa hormat.” (Ali Bin Abi Thalib)

-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 12 Juni 2014:
Dalam hidup ini, saya termasuk orang yang bersyukur kepada Allah atas bumi yang saya pijak, negara tempat saya menjadi Warga Negara, ya Warga Negara Indonesia (WNI). Saya sepanjang hidup dari lahir, sekolah, kerja dan berwirausaha di Indonesia. Semuanya produk “Indonesia Asli”, dan saya bersyukur kepada Allah SWT meski produk lokal tapi saya pernah menerima pekerjaan dalam usaha saya dari pihak asing, dan mendapat bayaran dalam US Dolar, yang setara dengan tarif Global Advisory papan atas :) .. itu semua (yang saya rasakan) dikarenakan saya memegang teguh independensi yang menjadi positioning saya di bisnis analisa, atau sederhanannya non politik (keberpihakan).

Kalau Ekonom dan atau Analis papan atas di Republik ini cerita pertemuannya dengan investor-investor asing akan negatif jika si A yang terpilih dan “cabut dari Indonesia” kemudian mengguncang ekonomi Indonesia, pasar modal kurs rupiah dan sebagainya. Tidak kurang, sering pula disadur pendapat dari institusi asing di bidang keuangan.
Ucapan-ucapan seperti itu sering saya baca, juga dengar dalam banyak pertemuan dengan pimpinan otoritas moneter di Republik ini. Saya mengatakan saat pertemuan terakhir di BI, kenapa kita menyandera diri kita oleh sebuah peristiwa politik? Kita harus membentuk persepsi yang tidak menjadi amunisi pemain dominan (asing) “cari-cari alasan”. Kenapa kita tidak mencoba bermain “persepsi” kepada asing itu, secara netral saja.

Jujur, ini bukan karena saya berpihak ke si A yang dikecam, ataupun saya tidak suka si B. Sekali lagi, dalam profesi yang saya geluti, saya (rasanya) sudah makan asam-garam cukup lama. Saya pernah kalah bersaing karena saya cuman anak lokal. Saya juga pernah kehilangan klien, karena saya menyerang idolanya. Tapi, saya (rasanya) tak pernah kehilangan respek, bahwa semua yang saya katakan bukan karena “pilihan politik saya”.

Dan, rasanya demi negara ini tempat kita sama-sama berbangsa, di hadapan pihak asing kita harus bersatu menunjukan bangsa yang kuat. Maaf, bukan bangsa yang selalu menunjukan ketakutan kepada mereka. Ini bukan berarti saya tidak tau datanya, tidak saya sangat tau datanya dalam 10 tahun terakhir dibalik kenaikan Devisa dan pertumbuhan Ekonomi tampak jelas dominasi asing dalam uang beredar (devisa) perekonomian membesar.

uangberedarmei2014

Data di atas sangat jelas, asing mengusai perekonomian dengan terus dominan. Sementara, peran ekonomi domestik terus tergerus. Aktiva domestik adalah uang primer (yang berputar di masyarakat) dikurangi aktiva luar negeri bersih. Jelas, asing adalah dominan. Tapi apakah kita akan “lempar handuk putih” dengan menekan suasana persatuan berbangsa kita secara terbuka? Bukan saya sok nasionalis, tapi di ruang publik kita harus menahan diri, berstrategi.

Bersaing di dalam, dan bukan berarti untuk itu kita sah menggunakan tenaga pihak lain sebagai penentu kemenangan. Silahkan saja punya preferensi, nyatakan secara terbuka adalah sah, tapi jangan pula terlalu berlebihan yang membuat kita semakin tak ada nilainya dalam percaturan global itu sendiri.

Mungkin sikap saya tak terlepas dari yang saya yakini bahwa tugas analis adalah “imparsial” (tidak memihak), agar dapat memotret keadaan dengan baik. Itu integritas bagi saya. Dan, saya kemudian mereview pekerjaan yang saya terima sebagai seorang profesional, pada akhirnya kesimpulan saya memiliki kepercayaan (basic belief) bahwa mereka datang ke saya dikarenakan indepedensi yang saya jaga.

Seorang klien bilang kepada saya “anda masih tidak berpolitik kan?” .. Saya jawab “sebagai warga negara saya punya pilihan, tapi sebagai analis saya akan menjaga kualitas profesional saya, dimana saya memahami dunia politik tanpa harus melakukan politik praktis” .. kemudian dia menjawab “baguslah, karena saya ingin mendengar yang netral, bagaimanapun what if scenario selalu harus dilihat sebagai ancaman di sisi lain dan peluang di sisi lainnya”.

Atas dasar hal itu, mungkin saya memang tidaklah seseleb dalam dunia global dibanding yang “papan atas”. Mereka selalu bilang, jika si A atau B yang menang kata investor-investor asing akan begini begitu. Dalam pertemuan yang saya alami dengan apa yang disebut asing, mereka tidak seperti itu. Kebanyakan yang mereka tanyakan kepada saya “jika A atau B yang menang bagaimana basis kebijakannya, dan akar politiknya”

Dalam diskusi itu, sepanjang pemahaman saya, mereka selalu bilang ini soal justifikasi cara berbisnis di Indonesia. Jadi, saya memahaminya, siapapun yang menang mereka tetap akan berbisnis, karena masa mau bakar duit.

Data yang saya pahami menunjukan, dana asing terbesar masuk ke Surat Utang Negara (SUN). Dimana, SUN yang dibeli mayoritas berdurasi jangka panjang 5-30 tahun. Itu karena imbal hasilnya tinggi di tengah negara maju menjalankan politik bunga rendah. Logika saya sederhana, kalau ketidakpastian adalah “hal utama” kenapa asing memborong surat utang berdurasi jangka panjang?

banyak yang bilang “cobalah tebar aura postif soal negara ini, agar hasilnya positif” Saat ini orang-orang beraliran seperti itu (saat yang ini masih berkuasa) mengapa tidak melakukan hal yang sama? Kalau saya memilih “siapapun Presiden terpilih sudah dihitung dengan baik oleh investor-investor, dan mereka percaya dengan Indonesia rerbukti dengan terus dibelinya surat utang negara berdurasi jangka panjang”.

Sekali lagi, anda percaya atau tidak, saya tak membela siapapun. Saya hanya membela “rasa berdaulat” sebagai bangsa, meski hanya kecil. Saya tidak terlampau suka pihak diluar kita dibesar-besarkan sebagai pihak yang harus diikuti.
Saya rasa kedua Capres kita pun cita-citanya sama “ekonomi konstitusi”, yaitu ekonomi yang melindungi dan mensejahterakan seluruh anak bangsanya. Dan, tantangannya bagaimana anda (sebagai Presiden saat terpilih) mengangkat peran ekonomi domestik (aktiva domestik bersih) membesar. Dimanapun di setiap negara, pemerintah yang bekerja untuk rakyatnya adalah mendorong pelaku ekonominya sejajar dengan negara lain di kancah global, apalagi di negerinya sendiri.

Itu kata saya, saya sih #enjoyAja. Tapi boleh kan saya berpendapat dan berharap. Saya ini hidup dan tinggal di Indonesia yang saya impikan sederhana saja negara ini tidak konflik, dan terus bergerak. Karena, kata Einstein “hidup itu seperti mengayuh sepeda teruslah bergerak untuk menjaga keseimbangan”

Saya ada pilihan, ya saya punya. Dasarnya, saya akan memilih yang menurut saya akan memberikan banyak manfaat bagi rakyat kebanyakan yang miskin, berpendidikan rendah, dan menganggur. Saya alhamdulillah bukan kelompok itu, tapi saya berpendapat pemerintah dibutuhkan oleh rakyatnya yang tidak mampu. Jika mereka terangkat harkatnya, maka pondasi perekonomian bagi kelompok mampu pun akan bergerak dalam poros yang terus bergerak seperti kayuhan sepeda :) Dan itu, yang akan menolong keberlanjutan kita bersama.

Pilihan itu akan saya lakukan di TPS, dan tidak akan saya kemukakan terbuka. Karena, saya mencintai negeri ini dengan cara yang sederhana, yaitu menjaganya dalam kseimbangan… Boleh tak sependapat… ini sekedar curahan seorang WNI saja.. meski berbeda kita tetap berkawan kan :)

-yanuar Rizky, WNI biasa saja

Sebelumnya elrizky.net

Teknokrasi, Politisi, dan Penumpang Gelap

Copy Protected by Chetans WP-Copyprotect.