-Yanuar Rizky-
elrizkyNet, 26 April 2014 Ini adalah catatan di akhir pekan, dimana di awal pekannya publik dikejutkan oleh penetapan tersangka mantan Dirjen Pajak Hadi Purnomo atas kapasitasnya sebagai DirjenPajak di rahun 2002-2004. Kasusnya adalah soal diberikannya persetujuan Dirjen Pajak saat itu terhadap pengurang biaya (yang diakui pajak) dari proses hapus buku (write off) hak tagih piutang macet BCA (NPL: Non Performing Loan).
Saat itu, di awal pekan (Senin, 21 April 2014), saya sedang rapat rutin (perencanaan Kuartal 2 – tahun 2014) di kantor kami (BIG: Bejana Investidata Globalindo) yang berlokasi operasionalnya di Bandung. Beberapa media menanyakan ke saya background-nya, juga ada beberapa kawan yang kemudian dengan baik hati mengirim BBM terkait rilis KPK di sore itu. Dua stasiun TV sore itu meminta saya untuk ke studio, tentu saja saya tak bisa penuhi karena sedang di Bandung. Sehingga, malam itu saya berikan resferensi seorang kawan yang saya yakini lebih mengamati pajak dibandingkan saya.
Dalam perjalanan pulang dari kantor ke rumah di tol Cipularang, saya mulai membaca substansi yang dipersangkakan oleh KPK. Cukup menarik, dan lalu saya pahami mengapa beberapa kawan-kawan di media nanya background kondisi perbankan paska BLBI akibat krisis 1998. Karena, memang kejadiannya terkait tanggal-tanggal penting saat itu.
Dari kasusnya sendiri, ini adalah “kebijakan akuntansi”, dimana jika terjadi “write off” maka itu akan dikeluarkan dari Neraca (aset) dan dijadikan komponen biaya tahun berjalan. Penambahan biaya, tentu saja akan mengurangi pajak yang harus dibayarkan. Dalam aturan perpajakan, biaya yang dapat diakui (dalam akuntansi dikenal sebagai standar pengakuan) sebagai pengurang dalam laporan rugi-laba adalah melalui penetapan Dirjen Pajak.
Manajemen BCA kemudian menegaskan itu adalah “write off” tahun buku 1999 saat BCA menerima obligasi rekap (BLBI) sehingga dimiliki BPPN secara mayoritas (90%). Jadi, manajemen BCA meyakini bahwa aksi saat itu adalah “aksi negara” karena BPPN adalah lembaga negara. Kita kilas balik sedikit, saat itu juga ada LOI IMF dimana aset-aset terbail-out dari BLBI harus dijual kembali. Jadi, BPPN dibentuk untuk menjual kemnbali aset saham Bank-Bank tersebut.
Dalam menjual sebuah perusahaan, tentu saja harus buku bersih (sehat). Itulah tugas penyehatan dari BPPN. Yang jadi masalah, krisis perbankan saat terkena krisis moneter asia 1998 adalah diakibatkan macetnya kredit yang diberikan perbankan, yang sebagian besar tidak pruden (hati-hati) karena diberikan kepada afiliasi, baik langsung maupun tak langsung.
Saat itu, BPPN berupaya melakukan hak tagih, menagih hutang-hutang dari para pengambil kredit serta kewajiban pemegang saham pengendalinya. Kalau bisa ditagih, itu akan jadi pendapatan dan menambah laba (kena pajak), nah kalau tak bisa ditagih lagi (segala upaya telah dilakukan) maka ‘write off” yang tentu saja akan jadi biaya dan mengurangi laba (kena pajak).
Jadi, disini “motif” yang mengarahkan KPK kepada “tersangka”, karena saat itu yang kena krisis dan “write off” sebagai bagian strategi “bersih buku” agar siap dijual bukan hanya BCA. dalam statement di media, KPK menyatakan Bank lain tidak diberikan. Jadi, disini tak ada kebijakan “payung untuk semua” bebas pajak, tetap saja soal pajak menjadi kewenangan dikresi dirjen Pajak dalam penetapan.
Sisi lain, manajemen BCA juga tak bisa menyalahkan dan bersandar ke punggung BPPN (the shoulder giant), karena jelas terkait domain pajaknya masih bersifat dikresi bukan penetapan “bebas pajak” untuk semuanya. karena, BPPN sebagai penegang saham saat itu melandaskan aksi operasional kepada manajemen. Dimana laporan keuangan adalah tanggungjawab manajemen, jadi kalau dari sisi agency theory dalam standar akuntansi, maka tindakan meminta penetapan pajak adalah aksi manajemen atas laporan keuangannya.
kalau dilihat relasinya, write off ini terkait kredit macet, terkait penjualan kembali BCA setelah bukunya jadi bagus.. memang akan meluas sekali keterkaitan para pihak yang terlibat. Terlebih, yang terdengar setahun lalu di April 2013 justru KPK memanggil menteri-menteri dan BPPN di era penyelesaian krisis 1998, yaitu penyelidikan atas SKL (Surat Keterangan Lunas) dari BPPN.
SKL dan atau Write Off adalah kosmetik yang membuat Bank tersebut bisa dijual, disamping recovery rate yang rendah serta “turunnya potensi pajak” semua dalam domain keuangan negara. Juga sebenarnya, siapa yang beli bank itu, proses penjualan dst-nya… Itu kalau mau ditarik benang kusutnya, jauh sampai ke ujung batas waktu antar rezim.. kemanakah KPK akan membawanya, ya menarik kita tonton sebagai rakyat biasa..
Soal ini ijinkan saya meminjam istilah “revolusi mental” dari Capres PDIP Jokowi bahwa rakyat yang pesimisme harus diubah jaddi optimisme agar negara ini maju. Hal yang sama, juga sering saya dengar dari kawan satu alma mater saya di FE UGM yang ikut konvensi capres PD Anis Baswedan di tahun 2009 dia aktif ngomong soal “positivism”. Agar positif di generasi baru terjadi, saya rasa Presiden (Kepala Negara) yang baru harus bergerak dengan cara baru, yaitu hukum yang tak pandang bulu (rermasuk lingkungan sendiri) dan pemerataan distribusi kesejahteraan.
Karena itu, segala hal dari generasi terdahulu harus kita dorong KPK selesaikan semua agar ada “kepastian hukum” dengan pedang hukum yang tak tebang pilih, rasanya kita yakin generasi baru akan percaya dan memberi “trust” agar pemerintahan ini efektif, dan itu akan menjamin lahirnya pemain baru dari generasi baru (redistribusi kesempatan berusaha yang lebih fair dan sehat, sebagaimana cita-cita Reformasi 1998). Semoga saja!
-yanuar Rizky, WNI biasa saja