-Yanuar Rizky-
Kompas, 20 Januari 2020: Mantan Menteri Keuangan, Muhamad Chatib Basri (MCB), dalam tulisannya di Kompas 5 Desember 2019 menyatakan bahwa hubungan antara defisit anggaran dengan likuiditas perbankan tidak linier.
Dimana, jika penerbitan SUN terlalu besar, dengan bunga yang lebih tinggi dari deposito, akan membuat arus keluar (crowding out) dana masyarakat di perbankan (DPK, M1). Kemudian berdampak kepada berkurangnya likuiditas kredit investasi perrbankan.
Pola uang beredar dalam perekonomian Indonesia sejak pemulihan paska krisis moneter (2002) sampai hari ini (2020) menunjukan pertumbuhan uang masyarakat di perbankan (M1) berada di atas peredaran uang fisik di masyarakat (M0), dengan tren sejajar.
Uang beredar dalam arti luas (M2), yang didalamnya ada M1 dan uang beredar lain, termasuk peredaran uang di pasar keuangan, tren pertumbuhannya jauh di atas M1 maupun M0.
Artinya, agresifitas pertumbuhan instrumen keuangan di pasar keuangan telah menjadi kemudi utama uang beredar dalam perekonomian Indonesia paska Reformasi.
Suku Bunga, Inflasi dan Likuiditas
Mandat Bank Indonesia di Undang undang adalah menjaga inflasi dan nilai tukar Rupiah.
Kebijakan bunga acuan yang ditetapkan BI (rate) bertujuan mengendalikan arus uang beredar M0, serta menjaga likuiditas perbankan dalam menghadapi tekanan inflasi dari ekses ekspor-impor (nilai tukar).
Saya menguji peran BI rate tersebut, dari bulan ke bulan sejak Januari 2002 sampai Desember 2014. Hasilnya BI rate mampu menjaga inflasi dan nilai tukar, serta pertumbuhan uang beredar (M0 dan M1).
Hanya saja, ekses ketergantungan impor memang nyata. Dimana, BI rate berkorelasi negatif terhadap pertumbuhan neraca perdagangan (net ekspor atas impor).
Faktai riset data ini menunjukan faktor eksternal berpengaruh terhadap psikologis tumbuh agresifnya M2.
Pasar Keuangan dan Stabilitas Makro
Riset yang saya lakukan, juga menguji ekses likuiditas yang tersisa dari penyerapan BI rate ke dalam faktor-faktor yang mempengaruhi M2.
Yaitu, nila aset (harga) instrumen keuangan dan transaksi jual belinya di pasar modal (saham, obligasi) dan pasar uang Rupiah atas US Dolar.
Uji data dalam jangka waktu saat terjadi tekanan di pasar keuangan (event analysis) menunjukan BI rate secara konsisten lebih banyak digunakan untuk menjaga gejolak (volatilitas) nilai tukar Rupiah.
Atas dasar itu, saya juga menguji pengaruh kebijakan The Fed yang mencetak dan mengedarkan US Dolar. Baik itu, kebijakan bunga (Fed rate) maupun operasi moneter aktif dalam mengatur perputaran neraca (aset-hutang) US Dolar (QE: Quantitative Easing) terhadap pertumbuhan M2.
Hasil uji analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan M2 dari bulan ke bulan (Januari 2002 – Desember 2014) menunjukan faktor kebijakan The Fed lebih kuat pengaruhnya dibandingkan BI.
Fakta lain, sebelum pemerintah aktif menggunakan pasar modal dalam penerbitan SUN komersil (2002-2008), arus uang asing didominasi melalui instrumen saham.
Dimana, volatilitas transaksi saham menjadi faktor yang berimbas ke gejolak pasar nilai tukar rupiah. Volatilitas antar pasar ini, mampu diredam dengan BI rate yang menjaga selisihnya di atas Fed rate, sehingga arus tekanan uang keluar dari Perbankan tidak terjadi.
Respon BI rate yang akomodatif dalam menyerap ekses Fed rate mampu tetap menumbuhkan M1 meski saham tengah bergejolak. Harga yang dibayar tentu saja, operasi pasar terbuka BI dalam menjaga volatilitas pasar uang Rupiah-US Dolar meningkat.
Yang menarik, sejak pemerintah aktif menempuh pembiayaan dengan SUN komersil di pasar keuangan sejak tahun 2008, peran likuiditas dana tidak lagi di pasar saham, tapi beralih ke SUN pemerintah, diikuti obligasi korporasi.
Saat itu, bersamaan pula dengan era QE The Fed yang menseting bunga rendah Fed rate ke arah uang beredar US Dolar di pasar keuangan. Ini juga merubah faktor selisih BI rate atas Fed rate bukan lagi faktor tumbuhnya M1, tapi QE lah yang menjadi kunci pengganti.
Tekanan setelah itu, sangat ditentukan volatilitas SUN di pasar sekunder, yang polanya menjadi faktor penggerak gejolak nilai tukar.
Artinya, saya juga mengaris bawahi apa yang ditulis MCB, mengandalkan SUN dari dana asing memiliki resiko eksternal yang perubahannya diluar kendali kita.
Tekanan pasar keuangan direspon dengan akomodasi operasi moneter BI. Fleksibelitas ruang gerak di pasar uang masih membuat dana M1 tetap tumbuh, meski terjadi perlambatan
Disisi lain, kita juga tertolong bumerang Kebijakan The Fed itu sendiri.
Posisi Offside Trade War
Tekanan pasar keuangan terjadi ketika The Fed menghentikan QE di 2012, yang diikuti keinginan normalisasi kebijakan kembali ke arah Fed rate yang tinggi.
Kita cukup beruntung disaat tekanan di pasar obligasi global terjadi, termasuk SUN, kekhawatiran cadangan devisa BI kehabisan bensin di pasar uang Rupiah-US dolar tidak terjadi
Faktornya adalah ketika Yellen sebagai Chaiman The Fed saat itu (Februari 2014) memberikan testimoni di kongres untuk menghentikan sementara rencana normalisai kebijakan QE Agar, memberi jeda ke 5 negara berkembang yang terdampak di nilai tukar, termasuk Indonesia.
Setelah itu, M1 kembali dapat aliran pertumbujan karena posisi volatilitas SUN kembali dalam posisi tenang (akumulasi dana asing).
Sampai kemudian, megalomania Trump terpilih sebagai Presiden dengan sikap tidak mau tau urusan negara lain. Skenario dramanya ditambah trade war berdampingan dengan normalisasi kenaikan fed rate.
Akan tetapi, meski kita mengalami tekanan di pasar keuangan, tampaknya dalam 2 tahun terakhir umpan trade war juga hanya berbuah potensi resesi global
Saya pun melakukan perhitungan atas data pendapatan rumah tangga Amerika Serikat, (data The Fed per September 2019).
Hasilnya trade war dalam posisi offside. Dimana, pertumbuhan aset warga Amerika bertumpu ke utilisasi aset keuangan. Aset non keuangan (industri) proporsinya tak bertumbuh.
Artinya, daya tahan pendapatan warga Amerika bertumpu ke pendapatan instrumen keuangannya.
Hal ini tercermin dari testimoni Chairman The Fed saat ini (Powell) yang memberi sinyal kembali mengumpan ke pertahanan sendiri (back pass). Eksekusi aliran bola dari gelandang menyerang trade war terjebak offside.
Lagi-lagi, kita beruntung. Sinyal The Fed kembali ke era aktivasi modelan operasi QE. Hal itu mulai tampak kembali di neraca moneternya serta dihentikannya rencana naiknya Fed rate.
Kondisi ini, kalau kita baca survey-survey, misalnya Bloomberg, menempatkan pasar obligasi, saham dan pasar uang di Indonesia menduduki posisi teratas dalam outlook alokasi portpolio tahun 2020.
Waspada Hostile Take Over
Saya khawatir kita mengalami kegagalan mencapai konsensus politik ekonomi ditengah ketidakpastian geo politik global.
Kalau persoalan hasrat ekspansi, barangkali dengan outlook beragam survey global menempatkan kita dalam posisi teratas akan kembali menemukan ruang gerak.
Seperti ditulis MCB kegagalan belanja dalam penyerapan dana ekspansi fiskal dari dana berbiaya tinggi seperti SUN adalah penyebnya.
Tentu, barangkali, ini juga merupakan pengalaman empiris MCB yang juga pernah menjadi Menkeu.
Kalopun kita akan memanfaatkan arus dana portpolio asing yang mungkin akan mengalir, jangan pernah lupakan nasihat Bung Karno tentang masa depan harus dilihat dari cermin benggala. Yaitu, jadikan masa lalu untuk melihat masa depan.
Saya juga ingin mengingatkan bahwa dana asing selalu pisau bermata dua. Pengalaman menunjukan setelah masuk, kemudian permainan mereka kocok-kocok. Dan, itu membuat situasi makro tertekan arus pasar keuangan.
Riset rasio-rasio laporan keuangan seluruh Bank Umum dari bulan ke bulan (Januari 2002-Desember 2014), yang saya uji. Hasilnya menunjukan stabilitas perbankan dari rasio kecukupan modal (CAR) sudah tak bertumpu ke faktor linier intermediasi deposito masyarakat ke kredit (LDR).
Pertumbuhan CAR lebih diakibatkan kepada upaya efisiensi biaya bank sebagai korporasi (BOPO) dan kemampuan keuangannya dalam membiayai pinjaman jangka panjang (Leverage).
Tumpuan leverage ini, dalam setiap tekanan M1 disaat pasar keuangan bergejokak, bertumpu kepada nilai surat berharga dan pinjam meminjam antar bank.
Itu yang bisa menjelaskan, ketimpangan likuiditas dana masyarakat di tiap Bank melahirkan Bank gagal seperti Century. Karena, surat berharganya bodong dan tidak mendapatkan pinjaman dari bank lain.
Cermin benggala itu cukup untuk kita belajar, tumpuan aset keuangan adalah investasi masa lalu yang berpotensi jadi masalah di masa depan.
Kisah Jiwasraya hari ini pun sama, penyenbabnya kejatuhan nilai aset keuangan.
Saya ingin menekankan candu berlebihan instrumen keuangan akan jadi bumerang, nilai aset bisa dibuat jatuh oleh kondisi ekternal.
Tahun 2020, disamping outlook positif kemungkinan aliran dana portpolio. Jangan membuat percaya diri berlebihan.
Karena, tahun 2020 korporasi Indonesia akan menghadapi standar akuntansi baru (PSAK 71, 72 dan 73), ratifikasi dari standar akuntansi internasional.
PSAK 71 akan lebih tegas dan konservatif dalam menilai aset keuangan, dan mencadangkan resiko gagal bayar sejak awal.
Belajar dari apa yang terjadi di Jiwasraya, kita harus sedia payung sebelum hujan.
Jika 2020 pasar keuangan dialiri dana asing (lagi), maka kebijakan mitigasi harus melangkah di depan kurva 2021.
Karena, kemungkinan skenario penurunan nilai aset paksa (hostile take over) kembali jadi resiko. Apalagi, standar akuntansi yang berlaku pun lebih keras.
Inilah tantangan sesungguhnya konsolidasi elit (pemimpin) negeri, yaitu fokus ke konsensus konstitusi menciotakan rakyat sejahtera (bekerja penuh).
Ke depan, kebijakan belanja sebagai peran APBN untuk pertumbuhan harus sinkron dengan kebijakan BI dalam neraca moneter.
Peran ekspansi terukur di BUMN pun harusnya jadi pilihan, sebagaimana Cina melakukan di awal reformasi struktural ekonominya.
Khususnya, terkait energi dan pangan.
Korsel juga mengajarkan aktivasi pasar keuangan sebagai tumpuan LOI-IMF diikuti strategi kampanye budaya investasi lokal.
Kita harus berkomunikasi ke dalam. Cara berlebihan dalam paradigma investasi asing harus direm. Guna, menghindari bom waktu di pasar keuangan yang terus diikuti deindustrialisasi.
Ini soal momentum. Bukan drama, tapi kerja yang didasari kebijakan terukur sebagai bangsa berdaulat yang tak lupa cermin benggala.
[…] Klik Disini […]