Pengantar:
Tulisan ini dimuat di Kompas 28 Agustus 2006. Dimana saat itu, Kompas memberikan kesempatan kepada saya untuk menanggapi pidato nota RAPBN 2007 yang diajukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tempat yang diberikan Kompas pun saya rasa strategis untuk dibaca karena ditempatkan di Analisa Ekonomi di Halaman utama (halaman satu) harian tersebut. Saya merasa waktu itu, SBY-JK yang memerintah di 2004 menerima APBN 2005 dari pemerintahan sebelumnya, meski ada ruang di APBNP 2005. APBN 2006 adalah saat pertama bagi kabinet ini memulai politik anggarannya.
Untuk RAPBN 2007 saya anggap ruang politik anggaran sudah lebih tune in karena sudah penuh dalam ruang pemerintahannya. Saya usul ketika itu penggunaan ruang pasar keuangan yang jadi pilihan pemerintah dalam penerbitan surat berharga negara sebagai sumber pembiayaan, tapi difokuskan ke pembiayaan sektor infrastruktur ketahanan pangan dan energi.
Saat ini, defisit dibiayai SUN naik terus dalam stok hutang negara tapi alokasinya banyak ke belanja negara. Ya, singkatnya ide saya di tulisan Kompas 28 Agustus 2006 ini ngak laku Sekarang ramai lagi pilpres 2014, saya kembali mengangkat tulisan lama ini sebagai tawaran terbuka (yang telah hampir sepuluh tahun saya usulkan sebagai anak bangsa biasa saja). Didengar atau tidak itu kan urusan politik, tapi setidaknya sebagai anak bangsa saya berpartisipasi meski sebatas ide #enjoyAja
_____________
-Yanuar Rizky-
ANALISA EKONOMI KOMPAS, 28 Agustus 2006: Bahasa Finansial, Memerlukan Kata Riil
Kps:28-08-06
Yanuar Rizky
Seandainya pemerintah cerdik, yang akan terdengar dari pidato kenegaraan Presiden Yudhoyono (nota RAPBN 2007) adalah semangat budaya investasi lokal. Mengapa? Realisasi investasi Januari – Mei 2006 dibanding periode yang sama 2005, menunjukan peningkatan modal lokal (PMDN). Meski bukan dari kebijakan terstruktur pemerintah, rasanya sisi tersebut lebih elegan dibandingkan data “basi” kemiskinan.
Pemerintah seperti terjebak percaya diri berlebihan atas efektivitas bantuan langsung tunai (BLT) dan bantuan operasional sekolah (BOS). Terlebih, didukung perbaikan parameter makro berupa tren turunnya inflasi dan suku bunga, serta tumbuhnya perekonomian (PDB), diiringi meningkatnya pendapatan per kapita (Rp. 1,5juta).
Lalu, secara mikro, mengapa Upah Minimum sulit mencapai indeks hidup layak? dan juga bagaimana dengan fakta bertambahnya pengangguran baru (PHK) yang meningkat 0,4% (BPS, Oktober 2005)?.
Angin Palsu
Missing link makro-mikro, mengarahkan halusinasi pemerintah untuk menggunakan data kemiskinan sebelum kenaikan BBM (inkonsistensi). Teori ekonomi disusun dari rangkaian asumsi yang mendasarinya. Berarti, benang merah yang hilang adalah tidak tercapainya asumsi pemerataan pendapatan sebagai perekat sistem ekonomi.
Setelah kenaikan BBM, buruh di Jabotabek (upah $< Rp.1 juta), untuk konsumsi primer saja, pendapatannya nombok rata-rata 48% (AIR Inti, Oktober 2005). Faktanya, mereka (1) tidak memiliki tabungan; dan (2) meski marjinal, bukan kelompok yang berhak ngantre BLT.
Naiknya PDB Juni 2006 (YOY:5,2%), salah arah untuk digunakan sebagai asumsi berkurangnya kemiskinan. Karena, kenaikannya ditopang bukan dari sektor produksi (NTS: non tradable sector), yang tidak menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Terlebih, pertumbuhan NTS ditopang sektor keuangan, dengan pencapaian tertinggi dari sub sektor jasa transaksi finansial (YOY:7,4%).
Tidak mengherankan, RAPBN 2007 mengandalkan membaiknya "angin" di pasar keuangan. Dimana, sejak Mei 2006, tren kembali menunjukan arah perbaikan sebagaimana pernah terjadi Januari 2002, yaitu mulai tampaknya arah penurunan BI rate secara konsisten.
BI rate penurunannya terkait dengan inflasi. Yang menjadi catatan serius, meski inflasi dapat ditekan untuk mendorong konsistensi penurunan BI rate dari kisaran 17% (Januari 2002) ke kisaran 7% (Januari 2004, sampai awal 2005), saat bersamaan angka pengangguran bertambah. Berarti, tidak nyambungnya angka inflasi (makro) dengan pemerataan pendapatan (kesempatan kerja) di sisi mikro, jelas tidak terselesaikan hanya oleh kebijakan teknikal pasar keuangan.
Jika rakyat mayoritas adalah investor pasar keuangan, maka persoalan inflasi tertutupi capital gain perdagangan surat berharga dan kurs. Sayangnya, beragam survey menunjukan kebebasan finansial (sisa pendapatan setelah konsumsi) baru terjadi di kelas upah di atas Rp15juta/bulan, itupun sebagian besar disimpan di tabungan.
Tak teralakan, pendapatan kelompok mapan ($<5% penduduk) meningkat berkali-kali lipat menutupi penurunan drastis daya beli upah kelompok menengah-bawah (statistical neting).
Kreatifitas Stimulus Fiskal
Melemahnya kembali parameter makro tahun 2005, harus menjadi hikmah terbesar, dimana asumsi yang hanya mengandalkan kondisi psikologis pasar keuangan sangat rentan dan membahayakan stabilitas fiskal (APBN) itu sendiri. Sampai saat ini, polanya masih dipengaruhi berpindah-pindahnya dana antar pasar keuangan, sebagaimana tampak di korelasi arah terbalik antara BI rate, indeks BEJ dan kurs Rp-USD.
Sejatinya peran pemimpin adalah mendorong pemerataan kemakmuran (financial literate). Disamping membangun infrastruktur pasar, peran pemerintah yang tak bisa dilupakan adalah menggerakan kesetaraan siklus ekonomi rakyatnya. Tanpa balancing tersebut, kita akan terjebak di "budaya kambing hitam", bukan "budaya investasi lokal"
RAPBN 2007 harus menangkap harapan rakyat atas kerinduan hadirnya investasi ke sektor riil. Sayangnya, pidato Presiden Yudhoyono belum meninggalkan kesan yang mendalam terkait hadirnya terobosan program kreatif dan konkrit untuk menggerakan sektor riil.
RAPBN 2007 terjebak di transaksi sosial di satu sisi (andalkan "model BLT"), namun di sisi lain untuk mengerakan transaksi ekonomi masih terjebak paradigma "memanjakan" pelaku pasar keuangan. Tanpa sedikitpun terobosan untuk menggeser kesadaran kelas mapan dalam menggerakan intermediasi (Pasar Modal: IPO, Perbankan: Kredit Investasi).
Kalau pemerintah mau jujur dan belajar dari sejarah teknikal tahun 2002-2004, pola berulang yang terjadi saat ini, jika tanpa diiringi berjalannya intermediasi hanya akan menambah lebarnya jarak pemerataan, yang akan menyulitkan stabilitas itu sendiri. Persoalan fundamental tersebut belum terjawab oleh RAPBN 2007, dengan masih "standarnya" paradigma stimulus fiskal.
Yang dibutuhkan adalah berjuang dengan kekuatan sendiri, sebagaimana tampak dalam stabilnya sektor agraria dalam komponen pertumbuhan PDB. Betapa tidak, (1) pemain sektor agraria dikuasai skala usaha UKM (94,8%); serta (2) Saat penurunan sektor manufaktur (penopang tradable sector), terdapat tren mampu ditutupi sektor agaria.
Sudah bukan saatnya saling menyalahkan tanpa solusi. Dan itu, harus dimulai dari fungsi pemerintahan sebagai inspirator (stimulus fiskal), yang memancing pergerakan dana di perbankan dan pasar modal, sebagai darah intermediasi sektor unggulan. Visinya "mengantarkan transisi masyarakat kultural ke industrialis, tanpa mengorbankan budaya agraris".
Kalau itu pilihannya, taktik pemerintah "bicara sektor riil dengan bahasa pasar keuangan". Konkretnya, pemerintah dalam jangka pendek harus mendorong sekuritisasi sektor yang dekat dengan masyarakat kebanyakan (UKM). Misalnya saja, jarak untuk energi alternatif, saatnya pemerintah segera melakukan legalisasi lahan agar dapat disekuritisasi menjadi produk keuangan.
Kalau diterbitkan sektor swasta dinamakan produk EBA (efek beragun aset), sedangkan kalau pemerintah akan diterbitkan obligasi retail (ORI-Sektoral), dengan prospektus terfokus ke sektor unggulan (agraria). Logika yang sama, juga dilakukan untuk mensekuritisasi sektor pendukung, yaitu infrastruktur fisik untuk distribusi produk agraris. Faktanya, sektor konstruksi juga berada diantara rakyat kebanyakan (UKM: 66,4%). Kurang apa lagi?, sinyal budaya investasi lokal sudah cukup terlihat.
Sepanjang tidak mengulang kesalahan ORI yang telah beredar, diterbitkan (1) tanpa kejelasan arah; serta (2) tidak diikuti kampanye investasi lokal secara masif, maka kita cukup optimis akan terjadinya konversi tabungan dan investasi dari kelompok mapan bangsa ini.
Kalaupun tidak terserap perorangan, andalkanlah pembeli siaga, yaitu (1) Perbankan, dengan insentif dihitung dalam komponen LDR dan keringanan pajak; dan atau (2) Dana sosial, asuransi dan pensiun, dengan segera mewujudkan konsep wali amanah menuju sistem alokasi investasi untuk Obligasi menjadi lebih terarah, bukan terjebak di pembelian Obligasi di pasar sekunder yang manipulatif.
Sempitnya ruang stimulus fiskal (defisit) selalu menjadi alasan. Padahal, rendahnya realisasi APBN 2006, justru menunjukan indikasi masalahnya bukan defisit, melainkan ketiadaan "dirijen" ekonomi.
Kita mampu berbudaya investasi lokal, asalkan fokus ke solusi intermediasi. Tentukanlah sektor unggulan, biayai dengan penerbitkan ORI-Sektoral, dorong energi kelompok mapan keluar dari persepsi kotak kenikmatannya. Agar kita lupakan defisit dan kemiskinan, dengan menggerakan sektor riil.
-yanuar Rizky, Analis
[…] ps: Soal bagaimana derasnya aliran uang pasar di SUN agar dingin jadi Fundamental Ekonomi pernah saya tulis dalam Analisa Ekonomi Kompas 28 Agustus 2006 klik http://rizky.elrizky.net/bahasa-finansial-memerlukan-kata-riil […]